Sabtu, 16 Agustus 2014

Skripsi Syariah: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MEKANISME PENGALIHAN KEPEMILIKAN SAWAH DALAM JUAL SENDE (STUDI KASUS DI DESA KALORAN KECAMATAN NGRONGGOT KABUPATEN NGANJUK)


BAB I  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang  Setiap manusia hidup bermasyarakat dan saling tolong-menolong dalam  menghadapi berbagai macam persoalan untuk menutupi kebutuhan antara yang  satu dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan  memberikan andilnya kepada orang lain, saling bermuamalah untuk memenuhi  hajatnya untuk mencapai kemajuan dalam kehidupannya. Kenyataan ini tidak  dapat dipungkiri bahwa manusia dimana-mana dan zaman apapun juga selalu  hidup bersama, hidup berkelompok dan manusia makhluk sosial (zoon policon)  yang berarti bahwa manusia itu pada dasarnya tidak dapat hidup tanpa bantuan  manusia lainnya.
Ketergantungan seseorang kepadayang lain dirasakan ada ketika  manusia itu lahir. Setelah dewasa, manusia tidak ada yang serba bisa. Seseorang  hanya ahli dalam bidang tertentu saja, seperti seorang petani mampu menanam  ketela pohon dan padi dengan baik, tetapi dia tidak mampu membuat cangkul.

Jadi petani mempunyai ketergantungan kepada seorang ahli pandai besi yang  pandai membuat cangkul, juga sebaliknya, orang yang ahli pandai besi tidak  sempat menanam padi, padahal makanan pokoknya adalah beras. Jadi seorang  yang ahli dalam pandai besi memiliki ketergantungan kepada petani.
 Untuk mencapai kemajuan dan tujuan hidup manusia diperlukan  kerjasama dan tolong menolong. Sebagaimana firman Alla@h SWT:  ( Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam(mengerjakan) kebajikan dan  takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan  pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Alla>h, sesungguhnya  Alla>h amat berat siksa-Nya.”(QS. al-Ma>idah 5: 2)  Ayat di atas menyatakan bahwa Alla>h SWT menyerukan kepada setiap  manusia untuk saling tolong-menolong dalam melakukan kebaikan dan taqwa.
Akan tetapi jika tolong-menolong tersebut digunakan untuk berbuat dosa dan  melanggar ketentuan-Nya, maka Alla>htelah menyiapkan siksaan yang amat  pedih untuknya.
Diantara aspek kerjasama dan interaksi antar manusia, salah satunya  ialah bentuk gadai. Agar tata hubungan tersebut dapat berlangsung secara wajar,  aman, serta saling menguntungkan secara timbal balik dan terhindar dari hal-hal  yang tidak diinginkan, oleh karena itu, Islam menetapkan tuntunan termasuk  dalam gadai tersebut, sebagaimana firman Alla>h SWT dalam Al Qur’an  tentang gadai:  ْ Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 156   Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)  sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada  barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan  tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka  hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan  hendaklah ia bertakwa kepada Alla>h Tuhannya; dan janganlah kamu  (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang  menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang  berdosa hatinya; dan Alla>h Maha mengetahui apa yang kamu  kerjakan.” (QS. al-Baqarah 2: 283)  Ayat tersebut menunjukkan bahwa rahnboleh dilakukan dalam  perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa  langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh penerima gadai. Maksudnya,  karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang/dikuasai oleh penerima  gadai secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat  menjamin bahwa barang dalam status marhu>n (menjadi agunan hutang).
Misalnya apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang  dikuasai adalah surat jaminan tanah itu. Kemudian dalam sebuah riwayat  dikatakan bahwa: Artinya: “Dari Siti Ä€isyah r.a. bahwa Rasu>lulla>h SAW, pernah membeli  makanan dengan waktu tertentu (tempo) kepada seorang Yahudi, dan  beliau memberikan agunan berupa baju perisai besi kepadanya.” (HR. Bukha>ri dan Muslim)   Ibid, h. 87   Abi>> H}usain Muslim bin Haja>j ibn Muslim al-Qusairi, Ja>mi’uss}ah}i>h}, Juz V, h. 55   Hadis tersebut disebutkan bahwa Rasu>lulla>h SAW pernah  menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah untuk meminta  darinya (Yahudi) makanan. Para ulama’ fiqh sepakat mengatakan bahwa akad  rahnitu diperbolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di  dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata:  Rasu>lulla>h SAW,  bersabda: “Jika binatang itu digadaikan maka punggungnya boleh  dinaiki, karena dia memberi makanan kepadanya, jika binatang itu  digadaikan, maka susunya yang memancar boleh diminum, karena ia  memberi makanan kepadanya, dan terhadap yang naik dan yang  minum harus memberi makanan.” (HR. Jama>’ah kecuali Muslim dan  Nasa>’i)  Berdasarkan hadis di atas bahwa diperbolehkannya pihak penerima  gadai (murtahin) untuk memanfaatkan serta mengambil hasil dari barang  jaminan tersebut dengan ijin pemilik barang jaminan (ra>hin), sampai pihak  ra>hintelah melunasi hutangnya kepada pihak murtahin, karena sebagai ganti  biaya perawatan selama itu.
Jika masanya sudah habis, orang yang menggadaikan barang (ra>hin)  berkewajiban melunasi hutangnya, jika tidak dapat melunasinya dan dia tidak  mengizinkan barangnya dijual untuk kepentingannya, hakim berhak memaksa  untuk melunasi atau menjual barang yang dijadikan jaminan (borg). Jika hakim   Abi> Abdillah Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri, S}ah}i>h}} Bukha>ri>, Juz III, h.
116   telah menjual barang tersebut kemudianterdapat kelebihan (dari kewajiban  yang harus dibayar oleh orang yang menggadaikan), maka kelebihan itu  menjadi milik si pemilik (orang yang menggadaikan), dan jika masih belum  tertutup, maka si penggadai (ra>hin) berkewajiban menutup sisanya.
Pada zaman Jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak bisa membayar  hutang pada waktunya, maka barang gadainya lepas dari pemiliknya dan  menjadi hak milik penggadai. Tetapi kemudian Islam melarang praktek gadai  semacam ini, berdasarkan hadis Rasu>lulla>h SAW:  َ ( Artinya: Dari Sai>d bin Musayib, beliau berkata: Rasu>lulla>h SAW,  bersabda: “Tidak tertutup barang jaminan gadai (borg) bagi  pemiliknya yang mengadaikannya. Baginyalah faedahnya dan dia  pula yang menanggung hutangnya (sebelum pembayarannya). (HR.
Baihaqi>)  Hadis di atas menyebutkan bahwa menurut Islam, jika sudah jatuh  temponya membayar hutang, maka pemilik barang gadai wajib melunasinya dan  penggadai wajib menyerahkan barang (yang dijadikan jaminan) itu dengan  segera.
Transaksi gadai yang dimaksud oleh warga masyarakat Desa Kaloran,  biasanya mereka menyebutnya dengan jual sende.
 Yang mana dalam transaksi  jual sende ini, jika ada salah satu warga yang membutuhkan dana cepat serta   Abi> Bakar Ah}mad bin H}us}ain Ibn Ali Baihaqi>, Sunan Al-Kubra>, Juz VI, h. 66   Hasil wawancara dengan Bapak Sutarto, selaku Tokoh Masyarakat Dusun Bulakmiri,  (12/11/2008)   dengan keadaan yang sangat mendesak, sehingga dia menjual sendekan  sawahnya ke orang lain yang mempunyai uang yang dibutuhkan oleh orang  yang menjual sendekan sawahnya itu, dengan jaminan si pembeli sende (pemberi gadai) mengelola sawah serta mengambil hasil panen penjual sende (penggadai) sampai si penjual sendeitu bisa melunasi hutangnya, jika suatu saat  si penjual sendetidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang telah menjadi  kesepakatan bersama, maka sawah jaminan tersebut bisa menjadi milik pihak  pembeli sende.
Berdasarkan pengamatan sementara ada dua cara dalam pengalihan  kepemilikan sawah, dikarenakan pihak penjual sendetidak dapat melunasi  hutangnya, yakni dengan pengambil alihan secara otomatis dan secara jual beli.
Pengambil alihan secara otomatis artinya jika pihak penjual sendetidak dapat  melunasi hutangnya dengan tempo yang telah ditetapkan diawal perjanjian,  maka sawah tersebut menjadi milik si pembeli sendesecara langsung,  sedangkan pengambil alihan kepemilikan sawahnya melalui jual beli, berarti  jika si penjual sendetidak dapat melunasi hutangnya, dalam tempo yang telah  ditetapkan dengan perpanjangan waktu, maka pihak pembeli sendemembeli  sawah dengan harga jual yang sesuai dengan harga pasaran pada saat itu. Oleh  karena itu, dari dua cara pengalihan kepemilikan sawah dalam jual sendeyang  terjadi di Desa Kaloran, manakah yang sesuai dengan hukum Islam.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis merasa perlu  mengadakan penelitian, sehingga warga Desa Kaloran Kecamatan Ngronggot   Kabupaten Nganjuk khususnya dan pembaca pada umumnya bisa  mempertimbangkan mana kegiatan yang dianjurkan oleh agama serta tidak  diperbolehkan agama. Karena mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kebanyakan warga Desa Kaloran Kecamatan Ngronggot Kabupaten  Nganjuk khususnya para petani, beranggapan bahwa menjual sendekan  sawahnya lebih mudah, daripada ia harus mencari pinjaman di Bank, pegadaian,  maupun koperasi, karena tanpa harus melalui prosedur yang rumit, hanya  dengan kesepakatan dan rasa kepercayaanantara kedua belah pihak, kemudian  membuat surat perjanjian tertulis yang menyatakan bahwa kedua belah pihak  melakukan transaksi jual sendetersebut. Namun ada juga yang tidak  menggunakan surat perjanjian, dengan rasasaling percaya dari masing-masing  pihak.
Masih merasa sulitnya untuk mendapatkan pinjaman dana dari lembaga  perbankan yang sifatnya kecil, konsumtif dan dengan waktu yang cepat.
Kesulitan ini disebabkan karena lembaga perbankan sangat menerapkan prinsip  kehati-hatian (prudential principle) dalam menyalurkan kreditnya dengan  prosedur yang cukup rumit, membutuhkan waktu dengan jaminan barangbarang tertentu.
B.  Rumusan Masalah  Berdasarkan pokok masalah diatas, dapat dibuat rumusan masalah  sebagai berikut:   1.  Bagaimana mekanisme pengalihan kepemilikan sawah dalam jual sendedi  Desa Kaloran Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk?  2.  Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap mekanisme pengalihan  kepemilikan sawah dalam jual  sendedi Desa Kaloran Kecamatan  Ngronggot Kabupaten Nganjuk?  C.  Kajian Pustaka  Mengenai masalah gadai sawah sudah banyak yang membahasnya,  namun dalam kasus pengalihan kepemilikan sawah dalam jual sendebelum ada  yang membahasnya. Oleh karena itu, penulis akan membahas masalah tersebut.
Dalam skripsi Sdra. Wahyuddin, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam  Terhadap Jual Sendedi Kabupaten Jombang” jurusan Muamalah jinayah, tahun  1986. Dalam judul ini lebih menekankan pada jaminannya, mulai dari benda  apa saja yang digunakan untuk jaminan, berapa besar pengambilan manfaat dari  barang yang dijaminkan.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi