BAB I.
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang.
Pesatnya perkembangan
informasi, komunikasi dan
teknologi adalah salah satu implementasi
dari era globalisasi.
Perkembangan ini telah
membawa perubahan besar
terhadap kehidupan masyarakat
dalam banyak segi.
Kemajuan yang ditimbulkan ini
sekaligus menimbulkan kegelisahan dikalangan masyarakat, karena telah membawa perubahan besar terhadap
perilaku manusia yang menjadi wilayah
moral. Hal ini terlihat dari banyaknya perilaku masyarakat yang kian hari tidak lagi memegang nilai moral dan etika
bahkan nilai sakral agama sekalipun.
Bila kita cermati secara jujur
dan objektif, sikap-sikap tersebut telah merambah ke dalam
berbagai lini kehidupan
masyarakat yang salah
satunya adalah kedalam ranah ekonomi.
Euforia
ekonomi Islam di
dunia dan khususnya
di Indonesia diharapkan mampu
memberikan kontribusi positif
bukan hanya pada
bidang ekonomi saja namun dampak
positifnya diharapkan mampu
memasuki semua lini
kehidupan masyarakat.
Ekonomi Islam
berbeda dengan sistem ekonomi yang lain karena sistem ini bersentuhan langsung dengan nilai-nilai
keyakinan dalam arti mendalam. Sistem ini
diyakini sebagai derivasi nilai-nilai
illahiyah yang berkaitan langsung
dengan masalah ubudiyah
bahkan ketauhidan. Kegagalan dalam menunjukkan kelebihan Muhammad Djakfar, Agama, Etika dan Ekonomi,
(UIN Malang Press, 2007) hal.3- 1 atau keunggulan
sistem ini dapat
berakibat serius dalam
aspek dakwah Islam secara luas.
Gerakan ekonomi Islam di Indonesia dimulai oleh kehadiran Bank
Syari’ah pada awal 1990-an, dan dari
tahun ke tahun jumlah bank syari’ah terus bertambah terutama setelah keluarnya UU No. 7 Tahun
1992, yang kemudian diperkuat oleh munculnya
UU No. 10 Tahun 1998.
Apabila
kita kaitkan dengan
keadaan Indonesia dewasa
ini yang tengah memacu
pembangunan ekonomi, dimana
lembaga keuangan mempunyai
peran yang sangat
strategis dalam upaya
pengembangan ekonomi kerakyatan.
Tetapi, justru
masih banyak pelanggaran
moral yang berakibat
merugikan keuangan negara dan hal
ini juga secara
tidak langsung akan
berdampak pada kehidupan rakyat.
Maraknya Lembaga
Keuangan Syari’ah (bank
dan non bank)
dewasa ini ditandai
dengan semangat yang
tinggi dari berbagai
kalangan yaitu: ulama, akademisi dan praktisi untuk mengembangkan
Lembaga Keuangan Syari’ah (bank dan non
bank) tersebut dengan mengacu pada ajaran Al Qur’an dan Hadits serta pemaknaan bahwa bunga adalah riba.
Baitul Mal
Wa Tamwil (BMT)
merupakan salah satu
Bentuk Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah. Dimana mulai dikenal
pada sekitar awal Tahun 80-an, yakni dengan
berdirinya BMTTeknosa di
Bandung dan BMT
Ridho Gusti di Muslim
H. Kara, Bank Syari’ah di Indonesia:
Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap
Perbankan Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2005) Muhammad Djakfar, Op.cit. hal Nurhidayati
Setyani, Economica: Jurnal
Pemikiran dan Penelitian
Ekonomi Islam, I, (Mei,
2010), hal.
Muhammad Djakfar,loc.cit.
Jakarta.
Namun sayang, kedua
lembaga keuangan tersebut
tidak bertahan lama sebelum sempat
berkembang. Meskipun dengan
bentuk yang berbeda
namun memiliki persamaan dalam
tatakerjanya, pada bulan agustus 1991 berdiri BPRS, yang
sepenuhnya menggunakan pola
Perbankan Syari’ah. Kelahirannya
terus diikuti dengan
beroperasinya BMI pada
bulan Juni 1992
dan pada tahun
yang sama lahirlah BMT.
Kontribusi
ekonomi Lembaga Keuangan
Syariah terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional sangat ditentukan
oleh kemampuan lembaga
tersebut yang secara
efektif melakukan produksi
maupun manajerial. Sedangkan
kinerja produksinya sangat
ditentukan oleh seberapa
besar lembaga tersebut
mampu menyalurkan dana
kepada masyarakat sehingga
mampu menggerakkan perekonomian
secara optimal. Disamping
itu lembaga keuangan
syari’ah, termasuk bank
syari’ah secara inherent.
Merupakan lembaga yang
seharusnya amanah dan
karenanya harus profesional,
transparan, fair dan
adil (termasuk dalam
berbagai keuntungan) terhadap
stakeholder, khususnya kepada
para nasabahnya.
Praktek moral hazard dan korupsi di berbagai
lembaga keuangan (bank dan nonbank), baik
bank BUMN maupun
bank swasta nampaknya
sudah menjadi rahasia umum. Berbagai kejadian korupsi
tersebut, harus menjadi perhatian serius bagi
para stakeholders lembaga
keuangan (bank dan
non bank) Syari’ah.
Baik pemilik/ pemegang saham,
komisaris, direksi, karyawan, DPS, nasabah dan para akademisi ekonomi syari’ah lainnya. Meskipun
di lembaga tersebut terdapat DPS, Muhammad
Fauzi, Jurnal Penelitian Walisongo, XVIII,(Mei, 2010), hal.
www. Google. Com. Irfan Syauqi
Beik, MSc, Problematika Perbankan Syari’ah, diakses tanggal 12 Januari 2010 dan
simbol agamapun tidak
mampu menjamin sebuah
lembaga menjadi bersih dari perilaku korupsi.
Fenomena
moral hazard dan
korupsi di berbagai
lembaga keuangan tersebut,
juga bisa berdampak
negatif terhadap kelangsungan
perkembangan Lembaga Keuangan
Syari’ah. Dan ini
adalah salah satu
tantangan intern bagi pihak lembaga
keuangan khususnya Lembaga
Keuangan Syari’ah. Karena Lembaga
Keuangan Syari’ah harus
berbeda yaitu dengan
tetap mengedepankan kesyari’ahannya.
Melalui
etos atau etika
kerja yang terekspresikan dalam
bentuk syari'ah yang terdiri dari Al Qur'an, Sunnah, Ijma' dan
Qiyas. Dan didasarkan pada sifat keadilan. Etika
syari'ah bagi umat
Islam berfungsi sebagai
sumber serangkaian kriteria-kriteria untuk
membedakan mana yang
benar dan mana
yang buruk.
Dalam
etos kerja terkandung
ghiroh atau semangat
yang amat kuat
untuk mengerjakan sesuatu
secara optimal, lebih
baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai
kualitas kerja yang
sesempurna mungkin. Sehingga
setiap pekerjaan yang dilakukan diarahkan untuk mengurangi
bahkan menghilangkan sama sekali cacat
dari hasil pekerjaannya.
Islam
menjadikan bekerja sebagai hak dan kewajiban individu. Rasulullah menganjurkan
bekerja dan berpesan
agar melakukannya sebaik
mungkin yaitu dengan
penuh rasa ikhlas
dan tetap memegang
amanah meskipun tanpa Nurhidayati Setyani. Op. Cit. hal.
Muhammad,
Metodologi Penelitian Ekonomi
Islam: Pendekatan Kuantitatif
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008),
hal. 3 www. Google.com. Sri Anik,
Arifudin, Etika Kerja Islam, 2 Des 20 Toto
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta, Gema Insani, 2004), cet ke
4, hal.15 pengawasan dari atasan karena meskipun tanpa
pengawasan pada hakikatnya kita secara
langsung terus mendapatkan pengawasan dari Allah SWT. Rasulullah juga berpesan
untuk berlaku adil
dalam menentukan upah
kerja dan menepati pembayarannya.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis tertarik dengan etos kerja karyawan di KJKSBMTMarhamah sehingga
penulis mengambil judul
“ URGENSI ETOS KERJA
ISLAMI KARYAWAN SEBAGAI PENGENDALI PRAKTEK MORAL HAZARD (STUDI KASUS DI KJKSBMTMARHAMAH
WONOSOBO)”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan Latar belakang
tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :.
1. Apa
upaya atau langkah-langkah yang
digunakan untuk meminimalisir terjadinya praktek moral hazard di
KJKSBMTMARHAMAH WONOSOBO
2. Mampukah
karyawan KJKSBMTMARHAMAH menerapkan etos kerja Islami dalam kehidupan sehari-hari di tempat kerja?
C. Tujuan Penelitian.
1. Untuk
mengetahui langkah-langkah yang
digunakan untuk meminimalisir terjadinya praktek moral hazard di
KJKSBMTMARHAMAH.
2. Untuk mengetahui
apakah pengaruh etos
kerja Islami karyawan KJKSBMTMARHAMAHmampusebagai pengendali
terjadinya praktek moral Hazard.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi