Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: URGENSI ETOS KERJA ISLAMI KARYAWAN SEBAGAI PENGENDALI PRAKTEK MORAL HAZARD

BAB I.
PENDAHULUAN .
A.  Latar Belakang.
Pesatnya  perkembangan  informasi,  komunikasi  dan  teknologi  adalah  salah  satu  implementasi  dari  era  globalisasi.  Perkembangan  ini  telah  membawa  perubahan  besar  terhadap  kehidupan  masyarakat  dalam  banyak  segi.  Kemajuan  yang ditimbulkan ini sekaligus menimbulkan kegelisahan dikalangan masyarakat,  karena telah membawa perubahan besar terhadap perilaku manusia yang menjadi  wilayah moral. Hal ini terlihat dari banyaknya perilaku masyarakat yang kian hari  tidak lagi memegang nilai moral dan etika bahkan nilai sakral agama sekalipun.

Bila kita cermati secara jujur dan objektif, sikap-sikap tersebut telah merambah ke  dalam  berbagai  lini  kehidupan  masyarakat  yang  salah  satunya  adalah  kedalam  ranah ekonomi.
 Euforia  ekonomi  Islam  di  dunia  dan  khususnya  di  Indonesia  diharapkan  mampu  memberikan  kontribusi  positif  bukan  hanya  pada  bidang  ekonomi  saja  namun  dampak  positifnya  diharapkan  mampu  memasuki  semua  lini  kehidupan  masyarakat.
Ekonomi  Islam  berbeda dengan sistem ekonomi yang lain karena sistem ini  bersentuhan langsung dengan nilai-nilai keyakinan dalam arti mendalam. Sistem  ini diyakini sebagai derivasi nilai-nilai  illahiyah  yang berkaitan langsung dengan  masalah  ubudiyah  bahkan ketauhidan. Kegagalan dalam menunjukkan kelebihan   Muhammad Djakfar, Agama, Etika dan Ekonomi, (UIN Malang Press, 2007) hal.3- 1   atau  keunggulan  sistem  ini  dapat  berakibat  serius  dalam  aspek  dakwah   Islam secara luas.
Gerakan ekonomi Islam  di Indonesia dimulai oleh kehadiran Bank Syari’ah  pada awal 1990-an, dan dari tahun ke tahun jumlah bank syari’ah terus bertambah  terutama setelah keluarnya UU No. 7 Tahun 1992, yang kemudian diperkuat oleh  munculnya UU No. 10 Tahun 1998.
 Apabila  kita  kaitkan  dengan  keadaan  Indonesia  dewasa  ini  yang  tengah  memacu  pembangunan  ekonomi,  dimana  lembaga  keuangan  mempunyai  peran  yang  sangat  strategis  dalam  upaya  pengembangan  ekonomi  kerakyatan.
 Tetapi,  justru  masih  banyak  pelanggaran  moral  yang  berakibat  merugikan  keuangan  negara  dan  hal  ini  juga  secara  tidak  langsung  akan  berdampak  pada  kehidupan  rakyat.
Maraknya  Lembaga  Keuangan  Syari’ah  (bank  dan  non  bank)  dewasa  ini  ditandai  dengan  semangat  yang  tinggi  dari  berbagai  kalangan  yaitu:  ulama,  akademisi dan praktisi untuk mengembangkan Lembaga Keuangan Syari’ah (bank  dan non bank) tersebut dengan mengacu pada ajaran Al Qur’an dan Hadits serta  pemaknaan bahwa bunga adalah riba.
Baitul  Mal  Wa  Tamwil  (BMT)  merupakan  salah  satu  Bentuk  Lembaga  Keuangan Mikro Syari’ah. Dimana mulai dikenal pada sekitar awal Tahun 80-an,  yakni  dengan  berdirinya  BMTTeknosa  di  Bandung  dan  BMT  Ridho  Gusti  di   Muslim H. Kara,  Bank Syari’ah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia  Terhadap Perbankan Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2005)  Muhammad Djakfar, Op.cit. hal   Nurhidayati  Setyani,  Economica:  Jurnal  Pemikiran  dan  Penelitian  Ekonomi  Islam,  I,  (Mei, 2010), hal.
 Muhammad Djakfar,loc.cit.
 Jakarta.  Namun  sayang,  kedua  lembaga  keuangan  tersebut  tidak  bertahan  lama  sebelum  sempat  berkembang.  Meskipun  dengan  bentuk  yang  berbeda  namun  memiliki persamaan dalam tatakerjanya, pada bulan agustus 1991 berdiri BPRS,  yang  sepenuhnya  menggunakan  pola  Perbankan  Syari’ah.  Kelahirannya  terus  diikuti  dengan  beroperasinya  BMI  pada  bulan  Juni  1992  dan  pada  tahun  yang  sama lahirlah BMT.
 Kontribusi  ekonomi  Lembaga  Keuangan  Syariah  terhadap  pertumbuhan  ekonomi  nasional  sangat  ditentukan  oleh  kemampuan  lembaga  tersebut  yang  secara  efektif  melakukan  produksi  maupun  manajerial.  Sedangkan  kinerja  produksinya  sangat  ditentukan  oleh  seberapa  besar  lembaga  tersebut  mampu  menyalurkan  dana  kepada  masyarakat  sehingga  mampu  menggerakkan  perekonomian  secara  optimal.  Disamping  itu  lembaga  keuangan  syari’ah,  termasuk  bank  syari’ah  secara  inherent.  Merupakan  lembaga  yang  seharusnya  amanah  dan  karenanya  harus  profesional,  transparan,  fair  dan  adil  (termasuk  dalam  berbagai  keuntungan)  terhadap  stakeholder,  khususnya  kepada  para  nasabahnya.
 Praktek moral hazard dan korupsi di berbagai lembaga keuangan (bank dan  nonbank),  baik  bank  BUMN  maupun  bank  swasta  nampaknya  sudah  menjadi  rahasia umum. Berbagai kejadian korupsi tersebut, harus menjadi perhatian serius  bagi  para  stakeholders  lembaga  keuangan  (bank  dan  non  bank)  Syari’ah.  Baik  pemilik/ pemegang saham, komisaris, direksi, karyawan, DPS, nasabah dan para  akademisi ekonomi syari’ah lainnya. Meskipun di lembaga tersebut terdapat DPS,   Muhammad Fauzi, Jurnal Penelitian Walisongo, XVIII,(Mei, 2010), hal.
 www. Google. Com.  Irfan Syauqi  Beik, MSc, Problematika Perbankan Syari’ah, diakses  tanggal 12 Januari 2010   dan  simbol  agamapun  tidak  mampu  menjamin  sebuah  lembaga  menjadi  bersih  dari perilaku korupsi.
 Fenomena  moral  hazard  dan  korupsi  di  berbagai  lembaga  keuangan  tersebut,  juga  bisa  berdampak  negatif  terhadap  kelangsungan  perkembangan  Lembaga  Keuangan  Syari’ah.  Dan  ini  adalah  salah  satu  tantangan  intern  bagi  pihak  lembaga  keuangan  khususnya  Lembaga  Keuangan  Syari’ah.  Karena  Lembaga  Keuangan  Syari’ah  harus  berbeda  yaitu  dengan  tetap  mengedepankan  kesyari’ahannya.
 Melalui  etos  atau  etika  kerja  yang  terekspresikan  dalam  bentuk  syari'ah  yang terdiri dari Al Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dan didasarkan pada sifat  keadilan.  Etika  syari'ah  bagi  umat  Islam  berfungsi  sebagai  sumber  serangkaian  kriteria-kriteria  untuk  membedakan  mana  yang  benar  dan  mana  yang  buruk.
 Dalam  etos  kerja  terkandung  ghiroh  atau  semangat  yang  amat  kuat  untuk  mengerjakan  sesuatu  secara  optimal,  lebih  baik  dan  bahkan  berupaya  untuk  mencapai  kualitas  kerja  yang  sesempurna  mungkin.  Sehingga  setiap  pekerjaan  yang dilakukan diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali  cacat dari hasil pekerjaannya.
 Islam  menjadikan bekerja sebagai hak dan kewajiban individu. Rasulullah  menganjurkan  bekerja  dan  berpesan  agar  melakukannya  sebaik  mungkin  yaitu  dengan  penuh  rasa  ikhlas  dan  tetap  memegang  amanah  meskipun  tanpa   Nurhidayati Setyani. Op. Cit. hal.
 Muhammad,  Metodologi  Penelitian  Ekonomi  Islam:  Pendekatan  Kuantitatif  (Jakarta:  Rajawali Pers, 2008), hal. 3  www. Google.com. Sri Anik, Arifudin, Etika Kerja Islam, 2 Des 20  Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta, Gema Insani, 2004), cet ke 4,  hal.15   pengawasan dari atasan karena meskipun tanpa pengawasan pada hakikatnya kita  secara langsung terus mendapatkan pengawasan dari Allah SWT. Rasulullah juga  berpesan  untuk  berlaku  adil  dalam  menentukan  upah  kerja  dan  menepati  pembayarannya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik dengan etos kerja karyawan di  KJKSBMTMarhamah  sehingga  penulis  mengambil  judul  “  URGENSI  ETOS  KERJA ISLAMI KARYAWAN SEBAGAI PENGENDALI PRAKTEK MORAL  HAZARD (STUDI KASUS DI KJKSBMTMARHAMAH WONOSOBO)”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan Latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini  adalah sebagai berikut :.
1.  Apa  upaya  atau  langkah-langkah  yang  digunakan  untuk  meminimalisir  terjadinya praktek moral hazard di KJKSBMTMARHAMAH WONOSOBO 
2.  Mampukah karyawan KJKSBMTMARHAMAH menerapkan etos kerja Islami  dalam kehidupan sehari-hari di tempat kerja?
 C.  Tujuan Penelitian.
1.  Untuk  mengetahui  langkah-langkah  yang  digunakan  untuk  meminimalisir  terjadinya praktek moral hazard di KJKSBMTMARHAMAH.
2.  Untuk  mengetahui  apakah  pengaruh  etos  kerja  Islami  karyawan  KJKSBMTMARHAMAHmampusebagai  pengendali  terjadinya  praktek  moral  Hazard.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi