BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang
atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan
ibadat atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran
Islam.
Wakaf
pada mulanya hanyalah keinginan seseorang
yang ingin berbuat
baik dengan kekayaan
yang dimilikinya dan dikelola
secara individu tanpa
ada aturan yang
pasti. Namun Setelah masyarakat Islam
merasakan manfaatnnya lembaga
wakaf, maka timbullah keinginan untuk
mengatur wakaf untuk
perwakafan dengan baik.
Kemudian dibentuk lembaga yang
mengatur wakaf untuk
mengelola, memelihara, dan menggukan
harta wakaf, baik
secara umum seperti
masjid atau secara
individu atau keluarga.
Dan
wakaf merupakan salah
satu lembaga ekonomi
Islam yang memainkan peran
penting dalam pembangunan
masyarakat selain zakat,
infaq dan shodaqoh. Wakaf
sangat berpengaruh dalam
membangun sebuah kebersamaan, memelihara, indentitas serta
pempersatu umat.
Wakaf yang
disyariatkan oleh Allah
SWT. melalui Rasulullah
SAW.
ditujukan kepada
umat Islam. Umarlah
yang pertama kali
mewakafkan tanah di Khaibar,
yang kemudian tercatat
sebagai tindakan wakaf
pertama dalam sejarah
Kompilasi Hukum Islam, Pasal Derektorat Pemberdayaan
Wakaf Derektorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Depatemen Agama RI, Fiqih Islam, Jakarta , 2006, cet 4, hlm 6 Islam.
Pada dasarnya wakaf
merupakan tindakan sukarela
(tabarru’) untuk mendermakan sebagai
kekayaan, maka derma
wakaf ini bernilai
jariah (kontinyu), artinya pahala
akan senantiasa diterima
secara berkesinambungan selama
harta wakaf tersebut di manfaatkan untuk kepentingan umum.
Para
ulama telah mengemukakan
berbagai gagasan inovatif
tentang wakaf, agar sesuai
dengan perkembangan zaman.
Dalam sejarah Islam,
ajaran wakaf yang diajarkan
oleh Nabi didasarkan
pada salah satu
riwayat yang memperintahkan Umar
bin Khattab agar
tanah di Khaibar
yang dimilikinya untuk disedekahkan. Perintah
Nabi itu menekankan
bahwa subtansi (keberadaan)
kebun tersebut tidak
boleh dijual belikan,
dihibahkan, ataupun untuk
diwariskan, dan dapat
dimanfaatkan serta disedekahkan untuk kepentingan umat.
Wakaf yang
dilakukan oleh Umar
bin Khattab tersebut
diikuti oleh Abu Thalhah
yang mewakafkan kebun.
Kemudian disusul oleh
sahabat Nabi SAW lainnya,
seperti Abu Bakar
yang mewakafkan sebidang
tanahnya di Mekkah yang diperuntukan kepada
anak keturunannya yang
datang ke Mekkah.
Utsman menyedekahkan
hartanya di Khaibar
dan mewakafkan sumur
Raumah di Madinah untuk
keperluan umat muslim.
Ali bin Thalib
mewakafkan tanahnya yang
subur.
Mu’adz bin
Jabal mewakafkan rumahnya
yang populer engan
sebutan Dar al Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta :
PT. Raja Grafindo
Persada, 1998, cet.3, hlm .483 Anshar.
Bani Najjar yang
memberikan sebagian kebunnya
untuk pembangunan masjid di
Madinah.
Pelaksanaan
wakaf yang dianjurkan
oleh Nabi yang
dicontohkan oleh Umar bin
Khattab dan diikuti
oleh beberapa sahabat
Nabi yang lain
sangat menekankan pentingnya menahan
eksistensi benda wakaf,
dan diperintahkan untuk menyedekahkan
hasil dari pengelolaan
benda tersebut. Pemahaman
yang paling mudah untuk
dipahami dari maksud
Nabi adalah bahwa
substansi ajaran wakaf itu
tidak semata-mata terletak
pada pemeliharaan bendanya
(wakaf). Tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana
mengelola dan dapat
memberikan nilai manfaat dari
benda tersebut untuk membantu kepentingan
umum.
Dalam
rangka mendukung perwakafan
maka diterbitkan pembaruan sistem Hukum
Agraria dengan Undang-undang
Agraria No. 5
Tahun 1960 didalam pasal 49 terdapat masalah tentang wakaf yang mendapat perhatian khusus “hak milik
atas tanah-tanah badan
keagamaan dan sosial
sepanjang dipergunakan untuk usaha
dalam bidang keagamaan
dan sosial diakui
dan dilindungi, badanbadan
tersebut dijamin pula
akan memperoleh tanah
yang cukup untuk
bangunan dan usahanya dalam
bidang keagamaan dan
sosial.” Kemudian ditindaklanjuti dengan PP
No. 28 Tahun
1977 tentang perwakafan
tanak milik. Peraturan
Menteri Agama No. 1
Tahun 1978 tentang
pelaksanaan PP No.
28 tahun 1977.
Instruksi Derektorat Pemberdayaan
Wakaf, Derektorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf, Jakarta : Departemen Agama RI,
2006, hlm. 11- Abdul Halim,
Hukum Perwakafan di
Indonesia, Ciputat :
Ciputat Press, 2005,
cet.1, hlm. 99 Presiden RI
No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Dan dikeluarkan Undang-undang
No. 41 Tahun
2004 tentang Wakaf
serta mengatur secara
khusus membahas tentang
Badan Wakaf Indonesia
(BWI) dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan
Nasional.
Dengan adanya
Undang-undang No. 41
tahun 2004 tentang
wakaf akan membuat wakaf
semakin berkembang dan
mempunyai dasar hukum
yang kuat.
Karena aturan-aturan sebelumnya
mengatur permasalahan wakaf hanya pada ruang lingkup tanah
ataupun benda yang
tidak bergerak lainnya,
yang menjadikan wakaf kurang
optimal dalam perkembangannya. Maka
dengan aturan didalam
Undangundang No. 41 tahun 2004 menjadi wacana baru dalam perkembangan
wakaf.
Pada dasarnya
ketentuan mengenai perwakafan
berdasarkan syari’ah dan peraturan
perundang-undangan yang dicantumkan
kembali di Undang-undang
No.
41 tahun
2004 tentang wakaf.
Namun terdapat pula
berbagai pokok aturan
yang baru. Diantaranya tentang
sistem administrasi wakaf
yang harus wajib
didaftarkan dan diumumkan pelaksanaannya sesuai
dengan tata cara
yang diatur oleh perundang-undangan, yang
berfungsi untuk melindungi
keberadaan benda wakaf.
Kemudian ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung
terbatas pada benda
wakaf yang tidak
bergerak dan Undang-undang
No.41 tahun 2004 telah
mengatur ruang lingkup
benda wakaf diperluas
yakni seluruh kekayaan baik
yang bergerak maupun
yang tidak bergerak,
yang berwujud dan
tidak berwujud, juga sudah
dikenal dengan wakaf
uang, logam mulia,
surat berharga, kendaraan transportasi, hak
kekayaan intelektual, hak
sewa, hak pakai,
dan sejenisnya yang
sifatnya produktif serta
dapat memberikan manfaat
untuk kepentingan umum.
Sehingga potensi
wakaf produktif sebagai
sarana untuk memajukan kesejahteraan umat
dapat mengasilkan hal
yang positif, apabila
dikelolanya serta diperdayagunakan secara maksimal
oleh masyarakat. Jika
harta wakaf bisa dikelola
secara baik dan
profesional, maka hasilnya
bisa dihimpun sebagai
faktor produksi untuk investasi
dari hasil asset
wakaf untuk dijadikan
modal finansial bagi kesejahteran umat. Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi