BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wakaf sebagai
sebuah pranata yang
berasal dari hukum
Islam memegang peranan
penting dalam kehidupan
keagamaan dan sosial
umat Islam. Oleh
karena itu, pemerintah
berupaya mempositifkan hukum
Islam sebagai bagian
dari hukum nasional.
Peraturan hukum wakaf
yang diberlakukan untuk
umat Islam Indonesia
dewasa ini, dapat
dijumpai dalam buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain
mengatur aspek teknis secara prosedural, buku
III Kompilasi Hukum
Islam pun memperdalam
aspek substantif mengenai
wakaf secara umum.
Serta dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf. Undang-Undang tersebut juga
menerangkan tentang wakaf,
baik dari pengertian
maupun ketentuan atau syarat
untuk nadzir.
Pengertian Wakaf
sebagaimana dirumuskan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 215 ayat 1, Wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum
yang memisahkan sebagian
dari benda miliknya
dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kepentingan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama.
Hal
tersebut berarti suatu
perbuatan hukum yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
dengan cara memisahkan sebagian harta
benda milik dan
dilembagakan untuk selamanya
bagi kepentingan ibadat
atau kepentingan umum
lainnya sesuai dengan
ajaran agama Islam. Benda milik
yang dimaksud, tidak hanya benda sekali pakai tapi juga
bernilai menurut ajaran
Islam. Ketentuan dalam
pasal 215 ayat 4
Kompilasi Hukum
Islam (KHI), menyatakan
bahwa benda wakaf
adalah segala benda
baik benda bergerak
atau tidak bergerak
yang memiliki daya tanah
yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, Pasal
1 Ayat 1,
Wakaf adalah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan
atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari‟ah.
Hal tersebut
merupakan salah satu
cara untuk beribadah
kepada Allah SWT
dan untuk mensyukuri
nikmat yang telah
diberikan-Nya. Tidak hanya itu, wakaf
merupakan amalan yang tidak akan
terputus ketika seseorang meninggal dunia. Sebagaimana sebuah hadits : Rahmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 65.
“Artinya
: Dari Abi
Hurairah, bahwasannya Rasulullah
bersabda: “(Seluruh pahala)
perbuatan manusia terputus
apabila telah meninggal, kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat dan anak sholeh yang
mendo‟akannya.” (HR. Muslim).
Menurut Asaf A. A. Fyee
yang dikutip oleh Rachmadi Usman, bahwa sebelum agama Islam datang, di Arabia tidaklah
dikenal lembaga wakaf. Tapi, telah ada
institusi yang serupa
dengan institusi perwakafan,
walaupun tidak memakai
istilah wakaf. Hal
ini pun diperkuat
oleh pendapat Abdul
Ghofur Anshori yang menyatakan bahwa,
umat Islam telah
terlepas dari agama
dan kepercayaan yang
mereka anut sebelumnya,
dan telah mengenal
beberapa bentuk praktik
pendayagunaan harta benda.
Substansinya tidak jauh
beda dengan batasan makna wakaf
di kalangan umat Islam. Hal ini didasarkan pada seluruh
umat manusia di
dunia yang telah
menyembah Tuhan melalui
ritual keagamaan sesuai dengan
kepercayaan mereka. Hal tersebut, mendorong umat manusia untuk membuat tempat peribadatan
mereka masing-masing.
Tata Cara Perwakafan Sebagaimana Pasal 223
KHI, dinyatakan sebagai berikut : 1.
Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pegawai
Pencatat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW) untuk
melaksanakan ikrar wakaf.
2. Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh
Mentri Agama.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Bandung: Syirkatul
Ma‟arif Littob‟i Wannasyri.t.th, hlm.14.
Rachmadi Usman, op.cit, hlm. 53.
3.
Pelaksanaan ikrar, demikian
pula pembuatan akta
ikrar wakaf (AIW) dianggap
sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
4. Dalam
melasanakan ikrar seperti
dimaksud ayat 1,
pihak yang mewakafkan
diharuskan menyerahkan kepada
pejabat yang tersebut dalan pasal 215 ayat 6, surat-surat sebagai
berikut: a. Tanda bukti pemilikan harta
benda.
b. Jika
benda yang diwakafkan
berupa benda tidak
bergerak, maka harus
disertai surat keterangan
dari Kepala Desa
yang diperkuat oleh
Camat setempat yang
menerangkan pemilikan benda
wakaf tidak bergerak dimaksud.
c. Surat
atau dokumen tertulis
yang merupakan kelengkapan
dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Selanjutnya mengenai pengelolaan
benda wakaf, ditentukan dalam pasal 227
Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan
secara bersama-sama oleh Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama
yang mewilayahinya. Ini
berarti pengawasan terhadap
benda wakaf tidak hanya dilakukan oleh pihak eksekutif
saja, tetapi bersama-sama antara pihak
eksekutif dan yudikatif.
Rachmadi Usman, ibid, hlm. 71.
Sebagaimana dikemukakan di atas, benda wakaf
bersifat kekal. Dalam arti, manfaat dari
benda wakaf boleh dinikmati, tapi benda wakafnya sendiri tidak
boleh ditiadakan. Timbul
masalah, bagaimana seandainya
harta wakaf tersebut
sudah tidak bermanfaat
lagi, ia akan
menjadi lebih bermanfaat
lagi apabila harta tersebut
diubah peruntukannya.
Menurut pendapat
Sayyid Sabiq, seperti
dikutip oleh Rahmadi
Usman dalam buku Hukum
Perwakafan di Indonesia,
bahwa apabila wakaf
telah terjadi maka tidak boleh
dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang
menghilangkan kewakafannya. Bila
orang yang berwakaf
mati, maka wakaf
tidak diwariskan. Sebab
yang demikian inilah
yang dikehendaki oleh wakaf
dan karena ucapan Rasulullah SAW, seperti yang disebut dalam hadits Artinya :
“Dari Ibnu Umar ra. berkata,
Umar telah menguasai tanah di Khaibar, kemudian
ia datang kepada
Nabi SAW guna
meminta instruksi sehubungan tanah tersebut. Ia berkata: “Ya
Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah
di Khaibar, yang
aku tidak menyenanginya
seperti padanya, apa
yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?” Beliau bersabda: “Jika kamu
menginginkan, tahanlah aslinya
dan sadaqahkan hasilnya.
Maka bersadaqahlah „Umar, tanah
tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan,
dan tidak diwariskan. Ia
mensadaqahkannya kepada orang-orang
fakir, budak-budak, pejuang di jalan Allah, ibnu sabil dan
tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya
memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang ma‟ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi