Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG NOMOR : 1521/Pdt.G/2008/PA.Sm. TAHUN 2008 TENTANG PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH WARGA DARI AHLI WARIS


 BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Wakaf  sebagai  sebuah  pranata  yang  berasal  dari  hukum  Islam  memegang  peranan  penting  dalam  kehidupan  keagamaan  dan  sosial  umat  Islam.  Oleh  karena  itu,  pemerintah  berupaya  mempositifkan  hukum  Islam  sebagai  bagian  dari  hukum  nasional.  Peraturan  hukum  wakaf  yang  diberlakukan  untuk  umat  Islam  Indonesia  dewasa  ini,  dapat  dijumpai  dalam  buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain mengatur aspek teknis secara  prosedural,  buku  III  Kompilasi  Hukum  Islam  pun  memperdalam  aspek  substantif  mengenai  wakaf  secara  umum.  Serta  dalam  Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Undang-Undang  tersebut  juga  menerangkan  tentang  wakaf,  baik  dari  pengertian  maupun  ketentuan atau syarat untuk nadzir.
Pengertian  Wakaf  sebagaimana  dirumuskan  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam (KHI), Pasal 215 ayat 1, Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau  kelompok  orang  atau  badan  hukum  yang  memisahkan  sebagian  dari  benda  miliknya  dan  melembagakannya  untuk  selama-lamanya  guna  kepentingan  ibadat atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama.

 Hal  tersebut  berarti  suatu  perbuatan  hukum  yang  dilakukan  oleh  seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan cara memisahkan  sebagian  harta  benda  milik  dan  dilembagakan  untuk  selamanya  bagi  kepentingan  ibadat  atau  kepentingan  umum  lainnya  sesuai  dengan  ajaran  agama Islam. Benda milik yang dimaksud, tidak hanya benda sekali pakai tapi  juga  bernilai  menurut  ajaran  Islam.  Ketentuan  dalam  pasal  215  ayat  4  Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI),  menyatakan   bahwa  benda  wakaf  adalah  segala  benda  baik  benda  bergerak  atau  tidak  bergerak  yang  memiliki  daya  tanah yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
 Sedangkan  dalam  Undang-Undang  Nomor  41   Tahun  2004  Tentang  Wakaf,  Pasal  1  Ayat  1,  Wakaf  adalah  perbuatan  hukum  wakif  untuk  memisahkan  dan  atau  menyerahkan  sebagian  harta  benda  miliknya  untuk  dimanfaatkan  selamanya  atau  untuk  jangka  waktu  tertentu  sesuai  dengan  kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut  syariah.
Hal  tersebut  merupakan  salah  satu  cara  untuk  beribadah  kepada  Allah  SWT  dan  untuk  mensyukuri  nikmat  yang  telah  diberikan-Nya.  Tidak  hanya  itu,  wakaf  merupakan  amalan  yang  tidak  akan  terputus  ketika  seseorang  meninggal dunia. Sebagaimana sebuah hadits :  Rahmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 65.
 “Artinya  :  Dari  Abi  Hurairah,  bahwasannya  Rasulullah  bersabda:  “(Seluruh  pahala)  perbuatan  manusia  terputus  apabila  telah  meninggal,  kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh  yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
 Menurut Asaf A. A.  Fyee  yang dikutip oleh Rachmadi Usman, bahwa  sebelum agama Islam datang, di Arabia tidaklah dikenal lembaga wakaf. Tapi,  telah  ada  institusi  yang  serupa  dengan  institusi  perwakafan,  walaupun  tidak  memakai  istilah  wakaf.  Hal  ini  pun  diperkuat  oleh  pendapat  Abdul  Ghofur  Anshori  yang  menyatakan  bahwa,  umat  Islam  telah  terlepas  dari  agama  dan  kepercayaan  yang  mereka  anut  sebelumnya,  dan  telah  mengenal  beberapa  bentuk  praktik  pendayagunaan  harta  benda.  Substansinya  tidak   jauh  beda  dengan batasan makna wakaf di kalangan umat Islam. Hal ini didasarkan pada  seluruh  umat  manusia  di  dunia  yang  telah  menyembah  Tuhan  melalui  ritual  keagamaan sesuai dengan kepercayaan mereka. Hal tersebut, mendorong umat  manusia untuk membuat tempat peribadatan mereka masing-masing.
 Tata Cara Perwakafan Sebagaimana Pasal 223 KHI, dinyatakan sebagai berikut : 1.   Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan  Pegawai  Pencatat  Akta  Ikrar  Wakaf  (PPAIW)  untuk  melaksanakan  ikrar  wakaf.
2.   Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Mentri Agama.
 Imam Muslim, Shahih Muslim, Bandung: Syirkatul Maarif Littobi Wannasyri.t.th, hlm.14.
 Rachmadi Usman, op.cit, hlm. 53.
 3.  Pelaksanaan  ikrar,  demikian  pula  pembuatan  akta  ikrar  wakaf  (AIW)  dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua  orang saksi.
4.  Dalam  melasanakan  ikrar  seperti  dimaksud  ayat  1,  pihak  yang  mewakafkan  diharuskan  menyerahkan  kepada  pejabat  yang  tersebut  dalan pasal 215 ayat 6, surat-surat sebagai berikut: a.  Tanda bukti pemilikan harta benda.
b.  Jika  benda  yang  diwakafkan  berupa  benda  tidak  bergerak,  maka  harus  disertai  surat  keterangan  dari  Kepala  Desa  yang  diperkuat  oleh  Camat  setempat  yang  menerangkan  pemilikan  benda  wakaf  tidak bergerak dimaksud.
c.  Surat  atau  dokumen  tertulis  yang  merupakan  kelengkapan  dari  benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Selanjutnya mengenai pengelolaan benda wakaf, ditentukan dalam pasal  227 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan  tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala  Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan  Agama  yang  mewilayahinya.  Ini  berarti  pengawasan  terhadap  benda  wakaf  tidak hanya dilakukan oleh pihak eksekutif saja, tetapi bersama-sama antara  pihak eksekutif dan yudikatif.
  Rachmadi Usman, ibid, hlm. 71.
 Sebagaimana dikemukakan di atas, benda wakaf bersifat kekal. Dalam  arti, manfaat dari benda wakaf boleh dinikmati, tapi benda wakafnya sendiri  tidak  boleh  ditiadakan.  Timbul  masalah,  bagaimana  seandainya  harta  wakaf  tersebut  sudah  tidak  bermanfaat  lagi,  ia  akan  menjadi  lebih  bermanfaat  lagi  apabila harta tersebut diubah peruntukannya.
Menurut  pendapat  Sayyid  Sabiq,  seperti  dikutip  oleh  Rahmadi  Usman dalam  buku  Hukum  Perwakafan  di  Indonesia,  bahwa  apabila  wakaf  telah  terjadi maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu  yang  menghilangkan  kewakafannya.  Bila  orang  yang  berwakaf  mati,  maka  wakaf  tidak  diwariskan.  Sebab  yang  demikian  inilah  yang  dikehendaki  oleh  wakaf dan karena ucapan Rasulullah SAW, seperti yang disebut dalam hadits Artinya : “Dari  Ibnu Umar  ra. berkata,  Umar telah menguasai tanah di  Khaibar,  kemudian  ia  datang  kepada  Nabi  SAW  guna  meminta  instruksi  sehubungan tanah tersebut. Ia berkata: “Ya Rasulullah, aku telah memperoleh  sebidang  tanah  di  Khaibar,  yang  aku  tidak  menyenanginya  seperti  padanya,  apa  yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?”  Beliau bersabda: “Jika  kamu  menginginkan,  tahanlah  aslinya  dan  sadaqahkan  hasilnya.  Maka  bersadaqahlah „Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual,  dihibahkan, dan tidak  diwariskan.  Ia  mensadaqahkannya  kepada  orang-orang  fakir,  budak-budak,  pejuang di jalan Allah, ibnu sabil dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang  mengelolanya memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang maruf dan  memakannya tanpa maksud memperkaya diri”. (HR. Bukhari dan Muslim).


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi