BAB II FIQH MENGHADAP ARAH KIBLAT
A.
Pengertian Kiblat Kata
kiblat berasal dari
bahasa arab al-qiblah
yang secara harfiah
berarti arah (Al-Jihah),
dan merupakan bentuk
fi‟lah dari kata
almuqolabah sehingga berarti
keadaan menghadap.
Menurut ulama
fiqh dalam kitab
fiqih‟ala Madzahib Al-Araba‟ah karangan Abdur Rahman Al-Jaziri hal 194, mengatakan bahwa arah kiblat adalah arah
ka‟bah atau wujud
ka‟bah. Maka barang
siapa yang berada
didekat ka‟bah tidak
sah salatnya kecuali
menghadap wujud ka‟bah
dan orang yang
jauh dari ka‟bah
(tidak melihat) maka baginya
berijtihad untuk menghadap kiblat (kearah kiblat).
Sedangkan
secara terminologi, maka
telah diketahui bersama
bahwa akan berbicara
tentang arah ke
Ka‟bah.
Para ulama
dan tokoh memberikan definisi yang bervariasi tentang arah kiblat,
meskipun pada dasarnya hal tersebut berpangkal
pada satu obyek kajian yang sama, yakni Ka‟bah.
Abdul
Aziz Dahlan mendefinisikan kiblat
sebagai bangunan Ka‟bah atau
arah yang dituju
kaum muslimin dalam
melaksanakan sebagian ibadah.
Majlis Tarjih
Dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyyah, Pedoman
Hisab Muhammadiyyah, (Yogyakarta
: Majlis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyyah), Cet.
II, 2009. Hlm.
Al-qur‟an
menyebut ka‟bah dengan berbagai nama, diantaranya “ Al-Bait (rumah), Baitullah (rumah allah), Al-Bait Al-Haram
(rumah suci), Al-Bait Al-Atiq(rumah pusaka), Dan Qiblat” .
Abdul
Aziz Dahlan, atau Muhammad Darwis yang merupakan sebutan atau nama beliau ketika masih kecil (ada literatur yang menulis
Darwisy), Beliau dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan
dengan tahun 1285 Hijriyah dan meninggal dunia Slamet
Hambali memberikan definisi
arah kiblat yaitu
arah terdekat menuju ka‟bah
melalui lingkaran besar
(great circle) bola
bumi. Lingkaran bola
bumi yang dilalui
arah kiblat dinamakan
lingkaran arah kiblat.
Lingkaran arah kiblat dapat
didefinisikan sebagai lingkarann
besar bola bumi
yang melalui sumbu kiblat. Sedangkan
sumbu kiblat adalah
sumbu bola bumi
yang melalui atau menghubungkan
titik pusat ka‟bah dengan titik dari kebalikan Ka‟bah.
Sedangkan menurut
Ahmad Izzuddin, arah
kiblat yaitu Ka‟bah
atau paling tidak
Masjidil Haram dengan
mempertimbangkan posisi lintang
bujur Ka‟bah, sedang yang
dimaksud menghadap kiblat
menurut Mukhyiddin Khazin adalah
arah atau jarak
terdekat sepanjang lingkaran
besar yang melewati
ke ka‟bah. Sehingga
dengan demikian pendefinisian
menghadap ke Kiblat
adalah menghadap kearah
Ka‟bah atau paling
tidak Masjidil Haram
dengan mempertimbangkan posisi
arah dan posisi terdekat dihitung dari
daerah yang kita kehendaki.
B. Dasar Hukum Menghadap Arah Kiblat Kiblat sebagai
pusat tumpuan umat
Islam dalam mengerjakan
ibadah.
Dalam
nash baik Al
Qur‟an ataupun Hadits
terdapat beberapa ayat
dan hadits yang menegaskan tentang perintah menghadap ke
arah kiblat, diantaranya: pada tanggal
23 Februari 1923
M/ 7 Rajab
1342 H, jenazahnya
dimakamkan di Karangkajen Yogyakarta. Dalam bidang ilmu Falak
beliau merupakan salah satu pembaharu,
yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung
Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H.
Slamet, Hambali,
Arah Kiblat Dalam
Perspektif NU dalam
seminar nasional Menggugat Fatwa MUI No 03 Th. 2010 tentang
Arah Kiblat. Semarang, 27 Mei 2010, hlm. 02 Ahmad Izzuddin, Menentukan Arah Kiblat
Praktis, (yogyakarta : logung pustaka, 2010), hlm. 4 1.
Dasar hukum dalam Al Quran tentang menghadap kiblat a. QS. Al BaqarahArtinya: “Sungguh
Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di
mana
saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke
arahnya. Dan sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi
Al Kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekalikali tidak
lengah dari apa
yang mereka kerjakan.”
(QS. Al Baqarah: 144)
b. QS. Al BaqarahArtinya: “Dan
dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan
itu benar-benar sesuatu yang hak dari
Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah:
149) c.
QS. Al Baqarah: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Quran, op.cit, hlm.
Ibid,
hlm. 23 Artinya: Dan
dari mana saja
kamu keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. Dan di
mana saja kamu
(sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar
tidak ada hujjah bagi manusia atas
kamu, kecuali orang-orang
yang lalim di
antara mereka. Maka
janganlah kamu takut
kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Dan agar
Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah: 150) 2.
Dasar hukum dalam Hadits tentang menghadap arah kiblat Selain didalam
al-qur‟an, perintah menghadap
arah kiblat dalam melakasanakan ibadah
juga di pertegas
didalam hadits. Sebagaimana
yang terdapat dalam hadits-hadits
Nabi Muhammad saw yang membicarakan kiblat antara lain : a. Dari
Tirmidzi wa Ibnu Maajah Artinya :" Dari
Abu Hurairah ra katanya : Sabda Rasulullah saw. Di antara Timur dan Barat terletaknya kiblat ( ka'bah )
".
b. Hadits Riwayat Artinya :Dari Annas Ibn Malik
r.a "Bahwasanya Rasullullah s.a.w (pada suatu hari) sedang mendirikan solat dengan
menghadap ke Baitul Maqdis.
Kemudian
turunlah ayat Al-Quran:
"Sesungguhnya kami selalu melihat mukamu menengadah ke langit
(berdoa mengadap kelangit).
Maka
turunlah wahyu memerintahkan
Baginda mengadap ke Baitullah (Ka'bah).
Sesungguhnya kamu palingkanlah
mukamu ke kiblat
yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Ibid Mu‟ammal
Hamidy, Imron AM, Umar fanany BA, Nailul Author Jilid 2, (surabaya : PT. Bina Ilmu, th. 1991), hal. 479 Haram.
Kemudian seorang lelaki Bani Salamah lalu, ketika itu orang ramai sedang ruku' pada rakaat kedua shalat
fajar. Beliau menyeru, sesungguhnya kiblat telah berubah. Lalu mereka berpaling
ke arah kiblat". ( Diriwayatkan Oleh Muslim ).
Berdasarkan ayat
Al Qur'an dan
hadits diatas, jelaslah
bahwa menghadap arah
kiblat itu merupakan
satu kewajiban yang
telah ditetapkan dalam
hukum atau syariat.
Maka tiada kiblat
yang lain bagi
umat Islam melainkan Ka'bah (Baitullah) di Masjidil Haram.
C.
Sejarah Kiblat Ka‟bah sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia memiliki
sejarah panjang.
Dalam
The Encyclopedia Of
Religion dijelaskan bahwa
bangunan Ka‟bah ini merupakan
bangunan yang dibuat dari batu-batu (granit) Mekah yang kemudian dibangun menjadi bangunan berbentuk kubus
(cube-like building) dengan tinggi kurang lebih
16 meter, panjang
13 meter dan
lebar 11 meter.
Batu-batu yang dijadikan bangunan
Ka‟bah saat itu
diambil dari lima
gunung, yakni: Hira‟, Tsabir, Lebanan, Thur, dan Khair.
Ka‟bah
menjadi kiblat salat sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.
Ketika
nabi Muhammad hijrah
ke Madinah, beliau
hanya menghadap ke
Baitul Maqdis ketikamelaksanakan salat. Hal ini karena keadaannya berbeda
dengan di Makkah, Beliau
merasa sangat sulit
menentukan arah yang
tepat dan lurus Maktabah Syamilah versi 2.11, Muslim Bin
Hajjaj Abu Hasan Qusyairi An Naisabury, Shahih
Muslim, Mesir : Mauqi‟u Wazaratul Auqaf, t.t juz 3 hlm.
Mircea Eliade
(ed), The Encyclopedia
Of Religion, Vol.
7, New York:
Macmillan Publishing Company,
t.t, hlm. 225.
Tsabir berada
di sebelah kiri
jalan dari Mekah
ke Mina, dari
hadapan gunung Hira‟ sampai dengan
ujung Mina. Sedangkan
Lebanan adalah dua
gunung di dekat
Mekah dan Thur Sinai
berada di Mesir. Lihat, Muhammad Ilyas Abdul Ghani, op.cit, hlm. 52 diantara
dua kiblat tersebut.
Nabi Muhammad saw,
senantiasa menghadap ke Baitul
Maqdis selama kurang lebih 16 (enam belas) bulan.
Dalam salatnya, Nabi salalu berdoa kepada
Allah agar menjadikan Ka‟bah sebagai
kiblatnya. Sebab, Ka‟bah adalah kiblat nenek moyang Nabi saw, Ibrahim.
Setelah
beliau hijrah ke Madinah, beliau memindahkan kiblat shalat dari Ka‟bah ke Baitul Maqdis yang
digunakan orang Yahudi sesuai dengan izin Allah untuk kiblat salat mereka.
Perintah
memindahkan kiblat salat
dari Baitul Maqdis
yang berada di Palestina
ke Ka‟bah yang berada di Masjidil Haram,
Mekah terjadi pada tahun ke delapan Hijriyah
yang bertepatan pada
malam tanggal 15
Sya‟ban (Nisfu Sya‟ban).
Peristiwa ini adalah
peristiwa penting dalam
sejarah perjuangan umat Islam yang
tidak boleh dilupakan
sepanjang masa.
Perpindahan tersebut dimaksudkan
untuk menjinakkan hati
orang-orang Yahudi dan
untuk menarik mereka kepada syariat Al Qur‟an dan agama yang
baru yaitu agama tauhid.
D. Pendapat
Ulama Tentang Kiblat Berkenaan dengan
menghadap kiblat ketika
salat, para ulama
berbeda pendapat mengenai
orang yang jauh dengan ka‟bah dan tidak
dapat melihatnya.
Menurut
pendapat Ulama Hanafiyah
dan Malikiyah, mereka
mengatakan yang wajib
adalah (cukup) jihhatul
Ka‟bah, jadi bagi
orang yang dapat
menyaksikan Ka‟bah secara
langsung maka harus menghadap pada ainul Ka‟bah. Jika ia berada jauh
dari Mekah maka
cukup dengan menghadap
ke arahnya saja
(tidak mesti http://falak.blogsome.com/, diakses tanggal
24 September 2010 pukul 10.23 WIB Salim
Bahreisy dan Said Bahreisy, Tafsir Ibnu
Katsier, terj. Tafsir Ibnu Kasir, cet. 4, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992, hlm. 260-261 persis), jadi cukup menurut persangkaannya
(dzan) saja bahwa di sanalah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (tidak
mesti persis).
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa
saja yang mengerjakan salat di sekitar
Masjidil Haram dan
baginya mampu melihat
Ka‟bah secara langsung, maka
wajib baginya menghadap
persis ke arah
Ka‟bah (ainul Ka‟bah).
Namun ketika orang tersebut
berada di tempat yang jauh dari Masjidil
Haram atau jauh dari Mekah, maka para
ulama berbeda pendapat mengenainya. Berikut adalah dua pendapat besar dari para ulama madzhab
mengenai hal tersebut, yaitu: 1.
Pendapat Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah Menurut keduanya,
yang wajib adalah
menghadap ke ainul
Ka‟bah.
Dalam
artian bagi orang
yang dapat menyaksikan
Ka‟bah secara langsung maka
baginya wajib menghadap
Ka‟bah. Jika tidak
dapat melihat secara langsung,
baik karena faktor
jarak yang jauh
atau faktor geografis
yang menjadikannya tidak
dapat melihat Ka‟bah
langsung, maka ia
harus menyengaja menghadap
ke arah di
mana Ka‟bah berada
walaupun pada hakikatnya
ia hanya menghadap
jihat-nya saja (jurusan
Ka‟bah). Sehingga yang menjadi kewajiban adalah menghadap ke
arah Ka‟bah persis dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja.
Hal
ini didasarkan pada firman Allah SWT , maksud dari kata syatral Masjidil Haram dalam potongan ayat di atas adalah Seseorang
yang berada jauh
dari Ka‟bah yaitu
berada diluar Masjidil
Haram atau di sekitar tanah
suci Mekkah sehingga
tidak dapat melihat
bangunan Ka‟bah, mereka
wajib menghadap ke arah Masjidil
Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka‟bah”.
Abdurrahman bin
Muhammad Awwad Al
Jaziry, Kitabul Fiqh
„Ala Madzahibil Arba‟ah, Beirut: Dar Ihya‟ At Turats Al Araby,
1699, hlm. 177 arah dimana orang yang salat menghadapnya
dengan posisi tubuh menghadap ke arah
tersebut, yaitu arah Ka‟bah. Maka seseorang yang akan melaksanakan salat harus menghadap tepat ke arah Ka‟bah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi