BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan
dengan tujuan untuk selalu menyembah (beribadah) kepada Allah, hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam surat al-Dzariyat ayat 56.
Salah satu bentuk ibadah itu ialah puasa pada
bulan Ramadlan. Puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu yang dapat
membatalkannya dengan tata cara tertentu.
Di antara syarat yang diwajibkan dalam
menjalankan ibadah puasa yaitu seseorang
dapat menyaksikan masuknya bulan baru. Hal ini
sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur‟an (Surat al-Baqarah: 185) yang berbunyi ;”Bulan Ramadlan
ialah, (bulan) yang di dalamnya diturunkan alQuran, sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu, dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).
Karena itu, siapa
di antara kamu
ada di bulan
itu, maka berpuasalah. Dan siapa yang sakit atau dalam
perjalanan (ia tidak berpuasa), maka
(wajib menggantinya), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.
dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
(Q.S al-Baqarah: 185) Dalam ayat ini Allah berfirman yang artinya,
dan Kami tidak menciptakan manusia dan
jin kecuali untuk beribadah kepada Ku. (QS. 51 : 56) Syihabuddin, al-Minhaj al-Qawim, Semarang:
Pustaka al-„Alawiyyah, t.t. hlm. 117.
Depag
RI, Qur‟an Tajwid
dan Terjemahannya, Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2007, hlm 28.
Dalam ayat
tersebut dengan jelas
Allah menyebutkan bahwa
barang siapa yang telah
menyaksikan bulan maka ia diwajibkan
menjalankan ibadah puasa begitu
pula jika ia
telah melihat bulan
baru setelah menyempurnakan jumlah hari dalam satu bulan selama
menjalankan puasa ia diperintahkan untuk berbuka (berhari raya).
Untuk
mengetahui maksud jumlah
bulan dalam ayat
tersebut, dapat digunakan salah satu hadits
nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad berikut ”Satu
bulan itu ada
29 hari, maka
janganlah kalian berpuasa hingga
kalian melihatnya (hilal)
dan jangan pula
kalian berhari raya sehingga
kalian melihatnya. Jika kalian terhalang oleh
awan (sehingga kalian
tidak dapat melihatnya)
maka perkirakanlah”.
(HR. Muslim dan Ahmad) Dengan menggunakan
hadits tersebut sebagai
alat penafsir terhadap ayat di atas maka akan didapatkan beberapa
kesimpulan antara lain; a. Syarat
diwajibkannya memulai dan mengakhiri ibadah puasa adalah ketika seseorang melihat hilal (bulan), Perintah
berbuka (berhari raya)
ini ditunjukkan oleh
kalimat pada akhir
ayat dan hendaklah ia menyempurnakan bilangan dan
kemudian hendaklah ia bertakbir kepada Allah.
Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, juz 2, Beirut: Dar al -Kutub alIlmiyyah, t.t, hlm. 759.
Hal ini
penulis ungkapkan dengan berdasarkan pada kaidah lughawiyah
bahwa lafadh يتحberarti batas.
Hal ini sebagaimana
dicontohkan, saya makan
ikan sampai kepalanya,
jadi kepala di
sini merupakan batas
akhir dari bagian
ikan yang dimakan sehingga kepalanya tidak ikut dimakan. Senada
dengan contoh tersebut, sese orang tidak diwajibkan
puasa hingga melihat
hilal, maka melihat
hilal adalah batas
akhir manusia tidak wajib puasa dan sebaliknya melihat hilal
ini merupakan batas awal diwajibkannya manusia
untuk menjalankan ibadah puasa.
b. Jumlah
bilangan bulan dalam
satu bulan yang
wajib kita sempurnakan dalam
menjalankan ibadah puasa
ini adalah selama
29 hari, namun terkadang
juga 30 hari, c. Jika
pada akhir hari
ke 29 hilal
tidak dapat dilihat
maka perintah berikutnya sebagai jalan alternatif ialah
mengira-ngirakan (yang menurut hadits
lain menyempurnakan jumlah hari dalam satu bulan menjadi 30 hari (istikmal)).
Hal di atas juga erat kaitannya dengan hadits
berikut ”Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (berharirayalah) kalian karena melihatnya.
Jika kalian tertutup oleh mendung
(sehingga kalian tidak
bisa melihatnya) maka perkirakanlah”.
Berangkat dari dalil-dalil di atas maka
muncullah perbedaan penafsiran terhadap
hadits tersebut. Banyak pihak yang mengartikan hadits tersebut secara berbeda, yang jika disimpulakan sebagai
berikut; Hal ini dikarenakan secara astronomis bulan akan
bergerak mengelilingi bumi dengan
sempurna dalam kurun waktu 29 hari 12
jam 44 menit 03 detik, lihat Saadoeddin Djambek,
Hisab Awal Bulan Cet I,
Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976. yang jika dibuat rata-rata
bulan akan mengelilingi
bumi dua kali
dalam kurun waktu
59 hari 1
jam 28 menit 06 detik. Oleh sebab itu rata-rata umur
bulan dalam satu bulan Qamariah berbeda dengan bulan berikutnya.
Hal
ini sebagaimana keterangan
dalam point 6
di atas bahwa
bulan bergerak mengelilingi
matahari membutuhkan waktu
lebih dari 29
hari dan kurang
dari 30 hari, sehingga
ada kemungkinan bulan pada akhir hari ke 29 tersebut masih belum menempuh jarak
dalam waktu tersebut.
Dengan demikian jika
jumlah hari tersebut
disempurnakan selama 30 hari maka
akan dapat dipastikan bulan sudah sempurna mengelilngi bumi.
Abu Abdullah Muhammad bin Isma‟il, Matn al- Bukhari, Jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. hlm. 398.
a. Golongan
yang mengartikan hadits
tersebut sebagai perintah
untuk melaksanakan ru‟yat al-hilal Menurut golongan ini ru‟yat diartikan melihat dengan mata kepala, baik
dengan mata telanjang
maupun dengan alat.
Dengan
demikian menurut golongan
ini hadits tersebut
merupakan perintah pelaksanaan ru‟yat.
Mereka mendasarkan
pendapat mereka dengan
hadits nabi yang lain
yang berbunyi ُArtinya;”Berpuasalah kalian
karena melihat hilal
(Ramadlan) dan berbukalah
kalian karena melihatnya
(hilal bulan Syawwal).
Apabila kalian
terhalang oleh sesuatu
maka lengkapkanlah bilangan bulan Sya‟ban menjadi
tiga puluh hari”.
Dari
hadits tersebut tampak
jelas bahwa nabi
Muhammad saw dalam anjuran pelaksanaan
puasa dan hari
raya menawarkan dua
metode, yakni ru‟yat
al-hilal, jika hilal ternyata tidak dapat dilihat karena suatu hal maka metode alternatif yang ditawarkan nabi
ialah dengan cara istikmal.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi