Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DALAM KITAB KASYF AL-JILBAB


 BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan tujuan untuk selalu menyembah (beribadah)  kepada Allah, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Dzariyat ayat 56.
 Salah satu bentuk ibadah itu ialah puasa pada bulan  Ramadlan. Puasa berarti  menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya  dengan tata cara tertentu.
 Di antara syarat yang diwajibkan dalam menjalankan ibadah puasa yaitu  seseorang dapat menyaksikan masuknya bulan baru. Hal ini  sebagaimana  yang  ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran (Surat al-Baqarah: 185) yang berbunyi ;”Bulan  Ramadlan  ialah, (bulan) yang di dalamnya diturunkan alQuran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan  mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang benar dan yang  batil).  Karena  itu,  siapa  di  antara  kamu  ada  di  bulan  itu,  maka  berpuasalah. Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (ia tidak  berpuasa),  maka  (wajib  menggantinya),  sebanyak  hari  yang  ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki  kemudahan  bagimu,  dan  tidak  menghendaki  kesukaran  bagimu.

dan  hendaklah  kamu  mencukupkan  bilangannya  dan  hendaklah  kamu  mengagungkan  Allah  atas  petunjuk-Nya  yang  diberikan  kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
 (Q.S al-Baqarah: 185)  Dalam ayat ini Allah berfirman yang artinya, dan Kami tidak menciptakan manusia  dan jin kecuali untuk beribadah kepada Ku. (QS. 51 : 56)  Syihabuddin, al-Minhaj al-Qawim, Semarang: Pustaka al-„Alawiyyah, t.t. hlm. 117.
 Depag  RI,  Quran  Tajwid  dan Terjemahannya,  Jakarta:  Maghfiroh Pustaka,  2007, hlm 28.
Dalam  ayat  tersebut  dengan  jelas  Allah  menyebutkan  bahwa  barang siapa  yang telah menyaksikan bulan maka ia  diwajibkan menjalankan ibadah  puasa  begitu  pula  jika  ia  telah  melihat  bulan  baru  setelah  menyempurnakan  jumlah hari dalam satu bulan selama menjalankan puasa ia diperintahkan untuk  berbuka (berhari raya).
 Untuk  mengetahui  maksud  jumlah  bulan  dalam  ayat  tersebut,  dapat  digunakan salah satu  hadits  nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad  berikut ”Satu  bulan  itu  ada  29  hari,  maka  janganlah  kalian  berpuasa  hingga  kalian  melihatnya  (hilal)  dan  jangan  pula  kalian  berhari raya sehingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang  oleh  awan  (sehingga  kalian  tidak  dapat  melihatnya)  maka  perkirakanlah”.
 (HR. Muslim dan Ahmad) Dengan  menggunakan  hadits  tersebut  sebagai  alat  penafsir  terhadap  ayat di atas maka akan didapatkan beberapa kesimpulan antara lain; a.  Syarat diwajibkannya memulai dan mengakhiri ibadah puasa adalah ketika  seseorang melihat hilal (bulan),   Perintah  berbuka  (berhari  raya)  ini  ditunjukkan  oleh  kalimat  pada  akhir  ayat  dan  hendaklah ia menyempurnakan bilangan dan kemudian hendaklah ia bertakbir kepada Allah.
 Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, juz 2, Beirut: Dar al -Kutub alIlmiyyah, t.t, hlm. 759.
 Hal  ini penulis ungkapkan dengan berdasarkan pada kaidah  lughawiyah  bahwa  lafadh  يتحberarti  batas.  Hal  ini  sebagaimana  dicontohkan,  saya  makan  ikan  sampai  kepalanya,  jadi  kepala  di  sini  merupakan  batas  akhir  dari  bagian  ikan  yang  dimakan  sehingga kepalanya tidak ikut dimakan. Senada dengan contoh tersebut, sese orang tidak  diwajibkan  puasa  hingga  melihat  hilal,  maka  melihat  hilal  adalah  batas  akhir  manusia  tidak wajib puasa dan sebaliknya melihat hilal ini merupakan batas awal diwajibkannya  manusia untuk menjalankan ibadah puasa.
b.  Jumlah  bilangan  bulan  dalam  satu  bulan  yang  wajib  kita  sempurnakan  dalam  menjalankan  ibadah  puasa  ini  adalah  selama  29  hari,  namun  terkadang juga 30 hari,  c.  Jika  pada  akhir  hari  ke  29  hilal  tidak  dapat  dilihat  maka  perintah  berikutnya sebagai jalan alternatif ialah mengira-ngirakan (yang menurut  hadits lain menyempurnakan jumlah hari dalam satu bulan menjadi 30 hari  (istikmal)).
 Hal di atas juga erat kaitannya dengan hadits berikut ”Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan  berbukalah  (berharirayalah) kalian karena melihatnya. Jika kalian tertutup  oleh  mendung  (sehingga  kalian  tidak  bisa  melihatnya)  maka  perkirakanlah”.
 Berangkat dari dalil-dalil di atas maka muncullah perbedaan penafsiran  terhadap hadits tersebut. Banyak pihak yang mengartikan hadits tersebut secara  berbeda, yang jika disimpulakan sebagai berikut;  Hal  ini dikarenakan secara astronomis bulan akan bergerak mengelilingi bumi  dengan sempurna dalam kurun waktu 29  hari 12 jam 44 menit 03 detik,  lihat Saadoeddin  Djambek,  Hisab Awal Bulan  Cet I, Jakarta:  Tintamas Indonesia, 1976.  yang jika dibuat  rata-rata  bulan  akan  mengelilingi  bumi  dua  kali  dalam  kurun  waktu  59  hari  1  jam  28  menit 06 detik. Oleh sebab itu rata-rata umur bulan dalam satu bulan  Qamariah  berbeda  dengan bulan berikutnya.
 Hal  ini  sebagaimana  keterangan  dalam  point  6  di  atas  bahwa  bulan  bergerak  mengelilingi  matahari  membutuhkan  waktu  lebih  dari  29  hari  dan  kurang  dari  30  hari,  sehingga ada kemungkinan bulan pada akhir hari ke 29 tersebut masih belum menempuh  jarak  dalam  waktu  tersebut.  Dengan  demikian  jika  jumlah  hari  tersebut  disempurnakan  selama 30 hari maka akan dapat dipastikan bulan sudah sempurna mengelilngi bumi.
 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail,  Matn al-  Bukhari, Jilid 1, Beirut: Dar  al-Fikr, t.t. hlm. 398.
a.  Golongan  yang  mengartikan  hadits  tersebut  sebagai  perintah  untuk  melaksanakan ruyat al-hilal Menurut golongan ini ruyat  diartikan melihat dengan mata kepala,  baik  dengan  mata  telanjang  maupun  dengan  alat.
 Dengan  demikian  menurut  golongan  ini  hadits  tersebut  merupakan  perintah  pelaksanaan  ruyat.
Mereka  mendasarkan  pendapat  mereka  dengan  hadits  nabi  yang  lain yang berbunyi ُArtinya;”Berpuasalah  kalian  karena  melihat  hilal  (Ramadlan)  dan  berbukalah  kalian  karena  melihatnya  (hilal  bulan  Syawwal).
Apabila  kalian  terhalang  oleh  sesuatu  maka  lengkapkanlah  bilangan bulan Syaban menjadi tiga puluh hari”.
 Dari  hadits  tersebut  tampak  jelas  bahwa  nabi  Muhammad  saw  dalam  anjuran  pelaksanaan  puasa  dan  hari  raya  menawarkan  dua  metode,  yakni  ruyat al-hilal, jika hilal ternyata tidak dapat dilihat karena suatu hal  maka metode alternatif yang ditawarkan nabi ialah dengan cara istikmal.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi