BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Permasalahan
kiblat erat kaitannya
dengan letak geografis
suatu tempat, yakni
berapa derajat suatu
tempat dari khatulistiwa
yang lebih di kenal
dengan istilah lintang dan berapa derajat letak suatu tempat dari garis bujur
kota Mekkah namun pada faktanya selalu saja terjadi
perbedaan antara penerapan dan juga
pemahaman masyarakat terhadap pentingnya
arah kiblat tersebut padahal
dalam beberapa dalil
syar’i baik berupa
Al-Quran ataupun hadits
telah di sebutkan dengan jelas pentingnya arah kiblat yang benar ketika kita menjalankan ibadah shalat.
Umat Islam
sendiri telah bersepakat
bahwa menghadap kiblat
dalam shalat merupakan
syarat sahnya shalat
, sebagaimana dalil-dalil
syar’i yang ada.
Bagi orang-orang di
kota Mekkah dan
sekitarnya suruhan demikian
ini tidak menjadi
persoalan karena dengan
mudah mereka dapat
melaksanakan suruhan itu, namun
bagi orang-orang yang jauh dari
Mekkah tentunya timbul permasalahan tersendiri, terlepas dari
perbedaan pendapat para ulama tentang cukup
menghadap arahnya saja sekalipun kenyataannya salah, ataukah harus menghadap
ke arah yang
sedekat mungkin dengan
posisi Ka’bah yang A. Jamil,
Ilmu Falak Teori dan Aplikasi Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal Tahun
(Hisab Kontemporer). Jakarta : Amzah.
2009, h.109.
Ibn
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid
Wa Nihayah al-Muqtashid,
Juz I, Beirut
: Dar Ibnu, Ashsahah,
2005, hlm. 92.
1 sebenarnya.
Dalam
perkembangan pemikiran Islam
khususnya dalam ilmu fiqh
yang notabene merupakan ilmu yang dapat
mengetahui tentang hukumhukum
Islam, para ulama
ahli fiqh ini
berbeda pendapat antara
kewajiban melihat langsung ainul
Ka‟bah dengan hanya melihat atau menghadap kepada arah dari Ka’bah tersebut.
Ada beberapa perbedaan ulama
tentang kewajiban menghadap ke arah Ka’bah bagi
orang yang tidak
melihatnya, para ulama
telah sepakat bahwa orang yang
shalat dengan melihat
Ka’bah, ia wajib
menghadap ke fisik Ka’bah ('Ain
al-Ka‟bah). Permasalahannya bagaimana
dengan orang yang yang berada jauh dari Ka’bah
dan tidak melihatnya, maka dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat.
Imam Hanafi,
Imam Hambali, Imam Maliki dan
sebagian kelompok dari
Imamiyah : kiblatnya
orang yang jauh
adalah arah dimana
letaknya Ka’bah berada,
bukan Ka’bah itu
sendiri. Imam Syafi’i
dan sebagian kelompok dari
Imamiyah : Wajib menghadap Ka’bah
itu sendiri , baik bagi orang yang dekat maupun bagi orang yang jauh.
Kalau dapat mengetahui arah Ka’bah itu sendiri secara pasti (tepat), maka ia
harus menghadapinya kearah tersebut. Tapi
bila tidak, cukup
dengan perkiraan saja.
Yang jelas bahwa orang yang
jauh pasti tidak
dapat membuktikan kebenaran
pendapat ini dengan
tepat, karena ia
merupakan perintah yang
mustahil untuk Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004, Cet. III, h. 47. dilakukannya
selama bentuk bumi ini bulat. Maka dari itu, kiblat bagi orang yang jauh harus menghadap ke arahnya, bukan
kepada Ka’bah itu sendiri.
Dari pendapat para ulama ahli fiqh, dapat
penulis implementasikan apa yang telah
di wajibkan tersebut
yakni menghadap kiblat
ketika shalat, tentu dalam setiap
pengetahuan baik itu
pengetahuan umum ataupun
pengetahuan agama ketika
mencari sesuatu, dalam
hal ini mencari
arah kiblat pada
saat hendak menjalankan ibadah shalat, tentu memerlukan alat analisis yang siap memenuhi kebutuhan tersebut, jika dalam hal
ini khususnya bagi mereka yang berada jauh dari Ka’bah
maka akan kesulitan dalam menentukan
arah kiblat menuju Ka’bah,
tapi dengan adanya
kesulitan tersebut jangan
sampai membuat putus
asa dan menyerah
untuk terus mencari
ilmu agar dapat menyelesaikan
atau paling tidak meminimalisir kesulitan itu. Maka perlu ilmu yang dapat membantu khususnya dalam menentukan
arah kiblat tempat shalat baik di masjid
ataupun musala, yakni dengan pendekatan
ilmu falak, karena melalui ilmu falak
ini akan dapat lebih yakin dalam
menentukan arah kiblat yang lebih akurat, dalam ilmu falak ini selain dapat menentukan arah kiblat dengan lebih yakin dan akurat juga dapat mengetahui awal waktu shalat yang tepat,
menentukan awal bulan
qamariyah dan juga
dapat menghitung terjadinya gerhana baik gerhana bulan maupun
gerhana matahari.
Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqh
Lima Mazhab : Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, penerjemah,
Masykur A.B., Muhammad
Idrus Al-Kaff, dari
al-Fiqh „ala-Madzahib al-Khamsah, Jakarta : Penerbit Lentera, 2007, cet VI., hal
77.
Salah
satu dari kebutuhan
inilah penulis ingin
menerapkan pada masjid yang sangat bersejarah di Indonesia
khususnya di kota Cirebon yakni Masjid
Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, karena
masjid ini merupakan pusat dari
kereligiusan kota Cirebon sehingga wajib Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon ini dapat benar-benar menghadap kiblat.
Sejarah masjid ini sendiri berawal dari masa ketika Cirebon di pimpin oleh syeh Syarif Hidayatullah atau yang
biasa di sebut dengan Sunan Gunung Jati,
di mana Sunan
Gunung Jati ini
merupakan cucu dari
raja besar yang pernah
berkuasa di tanah
pajajaran yakni pangeran
prabu Siliwangi, Sunan Gunung Jati
merupakan anak dari
Syarifah Mudzaim dan
merupakan keturunan raja dari
Mesir .
Dalam menjalankan
roda pemerintahan kerajaan
Cirebon Sunan Gunung
Jati senantiasa berdasar
pada apa yang
telah ia dalami
dari ilmu agama
Islam karena selain sebagai
raja ia
merupakan salah satu dari anggota Walisongo
yang notabene mengemban
tugas untuk mendakwahkan
agama Islam di
pulau jawa pada
khususnya, sehingga dalam
perjalanannya yang sangat
berliku dalam menjalani
pemerintahan Cirebon Sunan
Gunung Jati tetap berpegang teguh pada al-Quran dan
al-Hadits, hal ini dapat kita lihat dari track
record yang di
berikan oleh sang
Sunan khususnya bagi
masyarakat Cirebon. Dalam
mengemban amanat rakyat
Sunan Gunung Jati
selalu Ahmad Hamam Rochani,
Babad Cirebon, Cirebon : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008, cet I, h. 90. memihak terhadap
kepentingan rakyat dan
agamanya, bahkan di
awal pemerintahannya ia
memiliki tiga visi
yang mulia dalam
mengembangkan kerajaan Cirebon
yakni : 1. Memasukan nilai-nilai
Islam melalui budaya
yang telah ada
dan berkembang di masyarakat
Cirebon.
2. Membuat wadah atau tempat bagi masyarakat
yang berbentuk kerajaan dan bernafaskan
dengan nilai-nilai Islami.
3. Membuat
tempat yang menjadi
pusat kegiatan bagi
masyarakat khususnya kegiatan
keagamaan yakni dengan
mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon .
Setelah ketiga
visi itu terselesaikan
barulah sang Sunan
Gunung Jati merasa lega dan
meninggalkan semuanya yang di titipkan bagi para penerus raja
Cirebon dan bagi
masyarakatnya. Dalam salah
satu pesannya Sunan Gunung
Jati sangat menitikberatkan pada fakir miskin dan masjid yakni :“isun nitip tajug lan fakir miskin” yang artinya : “ saya
titipkan masjid dan fakir miskin”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi