BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menurut kodratnya manusia adalahmakhluk sosial
atau makhluk bermasyarakat, selain itu
juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam
hubungannya dengan manusia sebagai
makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang
dibina sejak lahir akan selalu menampakan
dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya.
Manusia dikatakan sebagai makhluk
sosial, jugakarena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan
(interaksi) dengan orang lain.
Dalam hidup bermasyarakat,
manusia selalu berhubungan satu sama lain
dengan tanpa disadarinya yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhankebutuhan
hidupnya.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan
bantuan orang lain, manusia bisa
menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat
Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2005), 11.
2 Manusia diciptakan Allah dimukabumi ini
sebagai khalifah dan hamba yang memiliki
keistimewaan dibandingkan makhlik lain. Maka dari itu manusia diberi amanah oleh Allah untuk
menjaga dan memelihara bumi beserta
isinya untuk kesejahteraan manusia sendiri.
Manusia dalam bermuamalah harus
memperhatikan aturan yang ditetapkan
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Untuk mempertahankan hidupnya manusia diberi kebebasan dalam
memenuhi kebutuhannya, namun kebebasan
tersebut tidak berlaku mutlak karena kesadaran itu dibatasi dengan kebebasan manusia yang lain sehingga
diperlukan saling toleransi agar tidak
terjadi konflik yang menyebabkan manusia akan kehilangan peluang untuk memenuhi kebutuhannya.
Sedangkan kebutuhan manusia sendirimeliputi
kebutuhan pisik yang meliputi sandang,
pangan, kehangatan, dan keamanan. Kebutuhan sosial akan perasaan memiliki dan kasih sayang. Dan
kebutuhan pribadi akan pengetahuan dan
exspresi diri.
Dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan
persoalan ibadah (hubungan antara
makhluk dengan Tuhannya), al-Quran mengatur dan memberikan gambaran secara rinci. Sementara
dalam masalah-masalah ibadah yang
(hubungan antara makhluk dengan makhluk), al-Quran Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisio Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2003), 1.
Philip Kotler Gary Annstrong, Dasar-Dasar
Pemasaran, (Jakarta: Intermedia, 1995), 7.
3 memberikan gambaran secara global, termasuk
juga dalam masalah jual beli. Dalam
surat al-Baqarah ayat 282 Allah SWT berfirman Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah (seperti
berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apayang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripadahutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya ataulemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai 4 batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak adanya
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu
tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah
suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu”. (QS.
al-Baqarah: 282).
Dalam ayat diatas dijelaskan apabila melakukan
transaksi mu’amalah seperti jual beli,
hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya
hendaklah dicatat oleh salah seorang yang berhutang dan harus menggunakan saksi.
Suatu hal yang membuat persoalan
muamalah dalam hal-hal yang tidak secara
jelas ditentukan oleh nash sangat luas disebabkan bentuk dan jenis muamalah tersebut akan berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman, tempat dan
kondisi sosial. Atasdasar itu, persoalan muamalah amat terkait erat dengan perubahan sosial yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu bentuk muamalah yang sering
dilakukan oleh masyarakat adalah jual
beli. Ulama’ Hanafiyah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu sah, batal
dan rusak (fasid).
Ulama Departemen
Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Arga Printing, 2008), 56-57.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, Cet. II, 2007), xvi.
Ibid.,121.
5 Hanafiyah membedakan jual fasid dengan jual
beli yang batil. Apabila kerusakan dalam
jual beli itu terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan
barang-barang haram (khamar, babi,
darah). Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual
beli tersebutdinamakan fasid.
Akan tetapi jumhur ulama’ tidak
membedakan antara jual beli yang fasid dengan
jual beli yang batil. Menurut mereka jual beli itu terbagi menjadi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jualbeli
yang batil. Apabila syarat dan rukun
jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah. Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak
terpenuhi, maka jual beli itu batal.
Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari
merupakan fenomena yang menjadi
kebiasaan masyarakat, jual beli diatur juga dalam syariah Islam. Akan tetapi pengetahuan
masyarakat tentang jual beli berdasarkan
syariah Islam masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli menyimpang dari
syariat Islam.
Orang yang terjun ke dunia usaha,
berkewajiban mengetahui hal-hal yang
dapat mengakibatkan jual beliitu sah atau tidak (fasid). Ini dimaksudkan agar muamalah berjalan sah dan
segala sikap dan tindakannya jauh dari
kerusakan yang tidak dibenarkan.
Jual beli mempunyai rukun dan http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2238438-macam-macam-jual-beli/#ixzz1va2AAbaY Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12,
(Bandung: Pustaka Percetakan Offset, 1988), 46.
6 syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli
itu dapat dikatakan sah oleh syara’.
Pada transaksi jual beli yang
terjadi pada jual beli “bank tanah” oleh PT. KSM (Kesadaran Sosial Masyarakat) Center
di Kab. Lamongan yaitu jual beli tanah
yang sudah dipetak menjadi beberapa kavling, istilah “bank tanah” digunakan karena letak tanah tersebut
strategis, dekat dari perkotaan,
pendidikan dan perdagangan yang mana harganya akan meningkat dari waktu kewaktu. Di sini pihak
PT. KSM Center mencari suatu kawasan
yang strategis dan dipetak menjadi beberapa kavling perkavling luasnya 6 m X 12 m = 72 m yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat yang berminat.
Mengenai cara pembayaran pihak
PT. KSM Center memberikan pilihan antara
tunai atau angsuran tanpa bunga dan tanpa anggunan, harga tanah yang disepakati tidak termasuk biaya
sertifikat dan balik nama.
Pembayaran dengan angsuran
dilakukan dengan cara setelah pembayaran uang muka pertama pembeli diperkenankan
memilih lokasi kavling tanah, pembayaran
uang muka kedua setelah tanah selesai diuruk dan setengah harga yang belum dibayar bisadi angsur setiap
bulan maksimal selama lima tahun.
Status kepemilikan tanah saat
penawaran belum menjadi milik sah PT.
KSM Center melainkan milik orang lain karena belum dibeli dari 7 pemilik
asli, hal ini akan menjadikan ketidakpastian (gharar) yang memicu terjadinya persengketaan disebabkan syarat
jual beli tidak terpenuhi yakni obyek
yang diperjualbelikan bukan milik sah dari penjual, karena itu para pihak mengadakan perjanjian pengikatan jual
beli di hadapan notaris.
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi