Kamis, 14 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK TEBUSAN GADAI TANAH SAWAH YANG DIKURS DENGAN “REPES” DI DESA BANGSAH KECAMATAN SRESEH KABUPATEN SAMPANG


BAB I  PENDAHULUAN
 A.  Latar Belakang Masalah    Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk sosial artinya dimana  setiap tingkah laku manusia pasti akanmembutuhkan bantuan orang lain dan  tidak sanggup berdiri sendiri.
 Banyak sekali problematika Islam yang ada di  sekitar kita salah satunya adalah masalah gadai. Yang dimaksud dengan gadai  sendiri di sini adalah perjanjian (akad) pinjam meminjamdengan menyerahkan  barang sebagai tanggungan utang.
   Dalam tradisi hukum adat di Indonesia juga dikenal istilah gadai dengan  sebutan yang berbeda-beda seperti adol sende (jawa), gadai dalam hukum adalah  perjanjian yang menyebabkan tanah seseorang diserahkan untuk menerima  sejumlah uang tunai, dengan permufakatan bahwa yang menyerahkan tanah itu  akan berhak mengambil tanahnya kembali dengan cara membayar sejumlah  uang yang sama dengan jumlah utang. selama utang tersebut belum lunas maka  tanah tetap berada dalam penguasaan yang meminjam uang.
   Gadai dalam hukum adat mengandung arti jual gadai. Jual gadai adalah  penyerahan tanah untuk dikuasai orang lain dengan menerima pembayaran   www.one.indoskripsi.com/clik/9867/0,25 maret   Zuhdi Masyfuk, Masail Fiqhiyah, (Jakarta:CV.H. Masagung,1988) hal. 153.

 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi hukum Islam ,(Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve,1996) ,hal  1  2  tunai, namun penjual (pemilik tanah  atau penggadai) tetap berhak untuk  menebus kembali tanah tersebut dari pemegang gadai. Penetapan waktu  menebus terserah kepada penggadai. Hal ini tidak berarti bahwa setiap waktu  dapat dilakukan penebusan itu sehinggadapat berakibat merugikan pemegang  gadai  . Menurut hukum adat diseluruh Indonesia hak menebus dalam gadai  tanah tidak mungkin lenyap dengan pengaruh lampau waktu.
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian gadai merupakan  transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak, dengan mana pihak  yang satu menyerahkan kebendaan untuk dikuasai pihak lain dengan menerima  pembayaran tunai, akan tetapi si pemilik kebendaan tetap mempunyai hak untuk  menebusnya kembali di kemudian hari. Adapun yang dimaksud agar penggadai  menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu.
 Seiring dengan itu perlu kita kemukakan di sini bahwa semua barang  yang diperdagangkan boleh pula digadaikan di dalam tanggungan utang, apabila  utang tetap menjadi tanggungan orang yang berhutang.
 Kemudian untuk lebih  meyakinkan kita tentang persoalan gadai ini, dikemukakan ayat dan hadits yang  berkaitan dengan gadai, di antaranya surat al-Baqarah ayat 283   ibid ,hal 385-386.
 Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Yurisprudensi(Bandung: PT Citra Adtya Bakti,1994), hal 168.
 /Pengertian%20Gadai%20Tanah%20%20%20Sawah%20%20%20wahyucorner's.htm, 20 april 2012.
 file:/// %20skripsi/3086-63-hukum-memanfaatkan-barang-gadai-rahn.html,21 maret 2012.
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu  tidak memperoleh seorang peulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang  dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai  sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya  (utangnya). (QS. Al-Baqarah: 283)    Dari ayat di atas, teranglah bagi kita bahwa persoalan gadai tidak hanya  dijelaskan oleh Al-Quran tetapi hadits Rasulpun lebih mengkongkretkan  permasalahannya, sehingga kita punya pemahaman bahwa agama Islam itu tidak  hanya mengkaji masalah yang berkaitan dengan akhirat tetapi juga mengkaji  permasalahan dunia.
   Harta benda yang digadaikan adalah suatu amanah bagi orang berutang  atas orang yang memberikan utang, bukan menjadi milik sementara bagi yang  memberi utang. Makanya apabila barang itu rusak atau hilang di tangan yang  memegangnya, ia tidak mengganti, kecuali disebabkan sisa-sisanya. Menurut  Imam Malik aturan mengenai soal itu (aturan pokok) ialah bahwa gadai bisa  diadakan pada semua macam harga dalam semua macam Jual beli, kecuali pada  sharf dan pokok modal pada salam.
   Artinya tiap-tiap zat yang boleh dijual boleh dirungguhkan dengan syarat  keadaan barang itu tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar. begitu   Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya,. hal 49.
 Rusjid Ibnu , Bidayatul Mujtahid, terjemahan, jilid IX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal 72 .
4  juga barang gadai tidak terlepas dai gadaian sebelum hutang terbayar  seluruhnya. makanya apabila barang yang dirungguhkan oleh yang  berpiutang,tetaplah rungguhan, dan apabila telah tetap rungghan, yang punya  barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jual  beli atau diberikan, kecuali dengan izin yang berpiutang.
   Ulama-ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa barang yang digadaikan  mempunyai tiga syarat. pertama, berupa utang karena barang nyata tidak  digadaikan kedua, menjadi tetap karena sebelum tetap tidak bisa digadaikan,  seperti seseorang menerima gadai dengan imbalan apa yang dipinjamnya, tetapi  hal ini dibolehkan oleh Imam Malik. Ketiga, mengikatnya gadai tidak  dinantikan akan menjadi, dan tidak menjadi wajib, seperti gadai dalam khitobah,  pendapat-pendapat ini dekat dengan Imam Malik.
   Gadai disini masuk ke dalam hukummuamalat yang artinya membahas  tentang perjanjian, segala macam tindakan, hukuman, kejahatan, dan lain-lain.
   Hasil pengamatan dari penulis di Desa Bangsah Kecamatan Sreseh  Kabupaten Sampang Madura, apabila padasaat seseorang sangat membutuhkan  uang dan kemudian ingin menggadaikantanah sawahnya, hal ini biasanya  dilakukan dengan menggunakan cara dikurs dengan uang “repes”.
 http://www.buzzdock.com/Pages/Search.aspx?a=1#gadai+menurut+Islam,21maret2012.
 Rusjid Ibnu , Bidayatul Mujtahid, terjemahan, jilid IX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal74 .
 Khallaf Abdul Wahab, ilmu ushul fiqih, (Jakarta:Rineka Cipta,1993 ), hal 31.
5  Dikurs dengan uang “repes” di sini adalah sebuah bentuk uang logam  kemudian oleh masyarakat Madura ini dijadikan ukuran dalam melakukan  transaksi menggadaikan tanah sawah, misalnya orang menggadaikan sawah itu  pasti yang menjadi ukurannya adalahdengan menggunakan uang “repes”. Akan  tetapi sebelum transaksi itu dilakukan mereka bersama-sama pergi ke toko mas  untuk menanyakan kepada pemilik toko mas tersebut berapa harga “repes”  saat ini, misal harganya “repes” tiga juta bararti digadaikanlah tiga juta tanah  sawah tersebut.
Harga “repes” itu setiap tahun berubah kadang turun kadang naik, maka  ketika orang tersebut ingin menebus tanah sawahnya dan harga “repes” itu naik  misalnya mencapai lima juta maka orang ini harus menebus dengan harga lima  juta. Sedangkan orang apabila menggadaikan sebuah tanah sawahnya di  Madura itu dikelola dengan ditanami tanam tanaman dan itu membuahkan hasil  dan mendapatkan untung uang pula dari penebusan “repes” tersebut.
Padahal yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Madura ini apabila  menggadaikan tanah sawah yang dikurs dengan “repes” semua itu dikarenakan  mereka sangat membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari  mereka yang sangat mendesak, karena masyarakat Madura tepatnya di Desa  Bangsah Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang dalam menyimpan uang itu  tidak disimpan di bank melainkan dibelikan “repes” tersebut, alasannya karena  mudah untuk dijual atau ditukar dengan uang pada saat dibutuhkn kapan saja.
6  Alasan yang kedua memang sudah dari sejak dulu sekitar 52 tahun yang  lalu memang bahkan sudah 

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi