BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Akad merupakan
hal yang penting
dalam kegiatan ber-muamalah.
Secara etimologi,
akad berasal dari
bahasa arab “al
aqdu” yang berarti perikatan,
perjanjian dan pemufakatan.
Perjanjian
(akad) mempunyai arti penting dalam
kehidupan masyarakat. Ia
merupakan “dasar dari
sekian banyak aktivitas
keseharian kita.” Melalui
akad seorang lelaki
disatukan dengan seorang
wanita dalam suatu
kehidupan bersama, dan
melalui akad juga berbagai kegiatan bisnis dan usaha kita
dapat dijalankan.
Jual beli
merupakan aktifitas yang
dihalalkan Allah. Setiap
muslim diperkenankan melakukan
aktivitas jual beli.
Hal ini merupakan
Sunatullah yang telah berjalan
turun-temurun. Jual beli memiliki bentuk yang bermacammacam. Jual
beli biasanya dilihat
dari cara pembayaran,
akad, penyerahan barang dan barang yang diperjualbelikan. Islam
sangat memperhatikan unsurunsur ini dalam
transaksi jual beli.
Islam memiliki beberapa
kaidah dalam jual-beli.
Di dalam pelaksanaan perdagangan (jual-beli)
selain ada penjual dan pembeli, juga
harus relevan dengan
rukun dan syarat
jual-beli, dan yang paling penting
adalah tidak ada
unsur penipuan. Jadi
harus atas dasar
suka sama suka atau saling rela.
Anjuran untuk melaksanakan jual-beli
yang baik Muhammad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi
Dalam Islam; Fiqh Muamalah, Eds. 1, Jakarta:. Raja Grafindo Persada, Cet. 1,
2003, Hlm.
Rachmat Syafei, Fiqih Mu‟amalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001, Hal. 15 dan benar atau harus saling suka sama suka
telah banyak disebutkan dalam Al-Quran,
salah satunya dalam surat An-Nisa ayat 29, yang berbunyi “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang
batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka
sama-suka di antara
kamu.
dan janganlah kamu membunuh
dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Beberapa
hal semacam kedzaliman,
kecurangan, ketidakjelasan barang
yang diperjualbelikan diharamkan
dalam jual beli.
Sebaliknya keadilan, menyempurnakan takaran
dan tidak menutupi
cacat yang bisa mengurangi keuntungan
harus dijaga. Rasulullah
telah memberikan contoh yang
sangat agung dalam
membimbing umatnya. Rasulullah
pernah memeriksa barang dagangan
seseorang dan mendapati tetesan air dari barang dagangannya
yang berupa makanan.
Kemudian beliau memeriksa
dan menanyakan mengapa
ia melakukan itu.
Kemudian Rasulullah memerintahkan
untuk meninggalkan perbuatan
tersebut karena menutupi cacat barang dagangannya.
Perkembangan kegiatan
perdagangan yang sebelumnya
belum terbayangkan semakin meluas. Berbagai
komoditi perdagangan baru yang sebelumnya
tidak diperdagangkan, cara
dan sarana perdagangan
yang semakin mudah
dan bermacam-macam. Dengan
menggunakan internet Departemen
Agama RI. Al Qur‟an dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah
Al-Qur‟an, Semarang : PT Karya Toha Putra, 1989, Hal. 122 seseorang
bisa bertransaksi dengan
orang yang sangat
jauh dihadapannya.
Dalam sehari
barang-barang dengan mudah
berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain dengan sarana transportasi
yang sangat beragam. Barangbarang
sederhana yang hanya
bisa dibuat dengan
tangan sekarang dapat dibuat dengan mesin dalam waktu yang sangat cepat
dan dalam jumlah yang sangat banyak.
Salah satu perkembangan
dalam akad perdagangan
adalah istishna‟. Bai‟ istishna‟ adalah
akad jual beli antara mustashni‟ (pemesan)
dan shani‟ (pembuat)
atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu‟).
Contohnya
untuk barang-barang industri
maupun properti. Spesifikasi
dan harga barang pesanan haruslah
sudah disepakati pada awal akad, sedangkan pembayaran
dilakukan sesuai dengan
kesepakatan. Apakah pembayaran dilakukan di
muka, melalui cicilan,
atau ditangguhkan sampai
waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Sayyid Sabiq dalam
bukunya Fiqh Sunnah, Istishna‟ adalah membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan
pesanan.
Wahbah Zuhaili
mendefinisikan akad istishna‟ adalah
suatu akad antara
dua pihak di
mana pihak pertama
(orang yang memesan
atau konsumen) meminta
kepada pihak kedua
(orang yang membuat
atau produsen) untuk dibuatkan
suatu barang, seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua (orang yang membuat atau produsen).
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Hal.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz. 4, Jakarta:
PT. Pena Pundi Aksara, 2009, Hlm.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa
Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, Cet.
III, 1989, Hlm. 631 Istishna‟ adalah akad yang menyerupai akad salam, karena bentuknya menjual barang yang belum ada (ma‟dum), dan
sesuatu yang akan dibuat itu pada
waktu akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual.
Perdagangan dengan
cara istishna‟ menjadi sangat
penting karena banyak
transaksi perdagangan berjalan
dengan pengembangan akad
ini.
Dalam kurun waktu yang lama akad
ini dianggap menjadi bagian dari salam.
Hal ini
bisa dilihat dari
pemahaman yang terjadi
pada tiga madzhab
yaitu Maliki, Syafi’i
dan Hambali. Akad
istishna‟ sah dengan
landasan diperbolehkannya akad
salam, dan telah
menjadi kebiasaan umat
manusia dalam bertransaksi
(„urf). Dengan catatan,
terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam akad salam. Diantaranya adalah adanya serah terima modal
(pembayaran) dimajlis akad
secara tunai. Ulama
Syafi’iyyah menambahkan, prosesi
penyerahan objek akad
(mashnu‟) bisa dibatasi dengan waktu tertentu, atau tidak.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi