BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk
sosial manusia tidak
dapat hidup sendiri,
artinya bahwa manusia selalu
berhubungan dan membutuhkan
orang lain. Salah satunya
yaitu dalam bidang Muamalah . Muamalah adalah tukar
menukar barang atau sesuatu
yang bermanfaat dengan
cara yang telah
ditentukan.
Dalam
hal Muamalah sendiri. Islam telah
memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah
yang harus ditaati
dan dilaksanakan. Jadi
pelaksanaan Muamalah harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan
oleh syari’at Islam.
Allah telah menjadikan manusia
masing-masing berhajat kepada yang lain,
supaya mereka bertolong-tolongan, tukar
menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup
masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam atau
yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Islam sebagai
agama Allah yang
telah disempurnakan memberi pedoman bagi
kehidupan manusia baik
spiritual-materialisme,
individual sosial, jasmani rohani,
muaranya hidup dalam
keseimbangan dan kesebandingan.
Dalam bidang kegiatan ekonomi Islam memberikan pedomanpedoman atau
aturan-aturan hukum yang pada umumnya dalam bentuk garis Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001, hlm Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: At-Tahiriyah, Cet.17, 1954, hlm.
besar.
Hal ini dimaksudkan
untuk memberi peluang
bagi perkembangan perekonomian
dikemudian hari (sebab syariah Islam tidak terbatas pada ruang dan waktu).
Salah satu kegiatan mu’amalah adalah sewa
menyewa, ini mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman
dahulu hingga kini.
Kita tidak
dapat membayangkan betapa
kesulitan akan timbul
dalam kehidupan sehari-hari, seandainya
sewa menyewa ini
tidak dibenarkan oleh hukum.
Dalam
bahasa Arab sewa
menyewa diistilahkan dengan
“Al Ijarah”, yang diartikan
sebagai suatu jenis
akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah pengambilan manfaat suatu benda, tanpa
mengurangi benda tersebut, dengan perkataan lain dengan terjadinya sewa menyewa
yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut.
Ijarah
berasal dari kata
ajru yang berarti
pengganti. Dalam syariat Islam ijarah adalah jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan kompensasi.
Menurut
ulama Hanafiyah, sewa-menyewa
adalah akad atau
transaksi terhadap manfaat dengan imbalan. Menurut ulama Syafi'iyah,
sewa-menyewa adalah transaksi terhadap
manfaat yang dikehendaki
secara jelas harta
yang bersifat mubah dan
dapat dipertukarkan dengan
imbalan tertentu. Menurut
Suhrawardi K.Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.1,
2000, hlm.
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam,
Bandung : CV. Diponegoro, 1992, hlm.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis,
Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2004, hlm.
ulama
Malikiyah dan Hanabilah,
sewa-menyewa adalah pemilikan
manfaat suatu harta benda yang bersifat mubah selama periode waktu
tertentu dengan suatu imbalan.
Kebolehan
transaksi sewa-menyewa didasarkan
pada firman Allah “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S Al Baqarah : 233) Dalam
istilah hukum Islam, orang yang menyewakan disebut Mu’ajjir, sedangkan orang
yang menyewa disebut Musta’jir, benda yang
disewakan diistilahkan ma’jur,
dan uang sewa
atau imbalan atas
pemakaian manfaat barang disebut
ajran atau ujrah.
Sewa menyewa sebagaimana
perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang
bersifat konsensual atau
kesepakatan. Perjanjian itu
mempunyai kekuatan hukum, yaitu saat sewa menyewa berlangsung, apabila
akad sudah berlangsung, maka pihak
yang menyewakan wajib
menyerahkan barang kepada penyewa.
Dengan diserahkanya manfaat
barang atau benda
maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewanya.
Ghufron A. Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro, 2000, Cet. I, hlm.
Suhrawardi K.Lubis, Op.Cit., hlm.
Bentuk
transaksi sewa-menyewa ini
dapat menjadi solusi
bagi pemenuhan kebutuhan manusia, karena keterbatasan
keuangan yang dimilikinya manusia
tetap dapat memenuhi
kebutuhannya tanpa melalui proses pembelian.
Selain sebagai kegiatan Muamalah , sewa-menyewa
juga mempunyai fungsi tolong-menolong dalam
pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas sifatnya. Namun
demikian, tidak semua harta benda boleh di akadkan sewa menyewa, kecuali yang
memenuhi persyaratan berikut ini: 1. Barang yang dijadika sebagai obyek sewa
dapat dimanfaatkan.
2. Obyek sewa
menyewa dapat diserahkan
sebagaimana penyerahan harga (ada serahterima).
3. Obyek sewa menyewa dapat dimanfaatkan sampai
kepada masa yang disepakati.
4. Penyerahan manfaat
obyek sewa harus
sempurna yakni adanya
jaminan keselamatan obyek sewa sampai kepada masa yang disepakati.
Dalam praktek sewa menyewa yang berpindah
hanyalah manfaat dari benda. Dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali
seperti penyewaan hewan sapi. Di Desa
Kalang Lundo Kec.
Ngaringan. Kab Grobogan penyewaan sapi
pejantan sering dilakukan,
dalam hal penyewaan
ini bukan untuk membajak sawah dengan
mengguanakan tenaga sapi
melainkan untuk dikawinkan dengan
sapi betina.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja
Grafndo Persada, 2007, hlm.
Dalam
pelaksanaan kawin sapi, pihak
penyewa membawa sapi betinanya kepada pihak yang disewa dan
uang sewa dibayarkan setelah proses perkwainan selesai dengan harga sewa yang
telah disepakati di awal.
Di dalam Al-Qur’an tidak terdapat
larangan maupun kebolehan untuk melakukan sewa sapi untuk proses perkawinan,
tetapi ada sebuah hadits yang melarang penyewaan sapi untuk proses perkawianan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi