BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Zakat adalah ibadah
maaliyyah ijtima’iyyah (ibadah yang berkaitan dengan
ekonomi keuangan dan
kemasyarakatan) yang memiliki
posisi sangat penting,
strategis, dan menentukan,
baik dilihat dari
sisi ajaran Islam
maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat.
Di dalam alQur‟an terdapat
banyak ayat yang menyejajarkan kewajiban
shalat dengan kewajiban zakat.
Seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 110, yang berbunyi: “Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Dan kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi
dirimu, tentu kamu
akan mendapat pahalanya pada sisi
Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat
apa-apa yang kamu kerjakan” (al-Baqarah: 110).
Ajaran Islam tidak menyukai adanya penumpukan
kekayaan hanya terpusat pada
beberapa orang saja
dalam suatu masyarakat,
karena akan Didin
Hafidhuddin, Zakat dalam
Perekonomian Modern, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002, hlm.
Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia, Kudus : Menara Kudus, 2006, hlm. 17
melahirkan pola
kehidupan mewah pada
sekelompok kecil, juga
dapat mendorong timbulnya
penindasan dan penderitaan.
Oleh karena itu sebagai makhluk
sosial, manusia harus
mengeluarkan atau memberikan sebagian
harta kekayaannya ketika
sudah mencapai satu
nishab kepada mereka yang berhak sebagai pelaksanaan atas
perintah Allah.
Di
dalam al-Qur‟an, hanya ada
beberapa macam saja
yang disebutkan sebagai
harta kekayaan yang wajib dikeluarkan
zakatnya, yaitu emas
atau perak (nuqud),
harta perdagangan, binatang
ternak, hasil pertanian dan harta terpendam (barang tambang
dan temuan).
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia
memerlukan banyak kebutuhan.
Mulai dari kebutuhan
pokok sampai kepada
keperluan yang lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhannya
tersebut seseorang harus melakukan transaksi
jual beli. Agama
Islam memberi kebebasan
untuk mencari rezeki,
namun harus dengan
cara yang halal
yakni yang sesuai dengan ajaran Islam.
Allah
memberikan keluasan kepada
orang-orang Islam untuk bergiat dalam
perdagangan, dengan syarat
tidak menjual sesuatu
yang haram dan
tidak mengabaikan nilai-nilai
moral dalam melakukannya, seperti kejujuran,
kebenaran, dan kebersihan,
serta tidak hanyut
terbawa Kutbuddin Aibak,
Kajian Fiqh Kontemporer,
Yogyakarta: Penerbit Teras,
2009, hlm.
Ibid, hlm.
M.
Ali Hasan, Zakat
dan Infak Salah
Satu Solusi Mengatasi
Problema Sosial di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media Group, 2008, hlm. 46
kesibukan dagang
sehingga lupa mengingat
dan menunaikan kewajiban terhadap Allah.
Berdagang
menurut pengertian sebagian
ulama fiqih adalah mencari
kekayaan dengan cara
pertukaran. Sedangkan kekayaan
dagang adalah segala yang
diperuntukkan untuk diperjual-belikan dengan maksud untuk
mencari kekayaan tersebut.
Menurut sebagian yang lain,
kekayaan dagang adalah
segala yang dimaksudkan
untuk diperjual-belikan dengan tujuan
untuk mencari keuntungan.
Maksud untuk memperdagangkan itu mengandung dua
unsur, yaitu tindakan
dan niat. Tindakan
adalah perbuatan membeli
dan menjual, sedangkan
niat adalah maksud
untuk memperoleh keuntungan.
Sebagai
landasan dasar zakat
perdagangan adalah firman
Allah dalam surat al- Baqarah
ayat 267: “Hai orang-orang
yang beriman, infakkanlah
(di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu
yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi
untukmu....”(al-Baqarah: 267) Yusuf
Qardhawi, Al-Fiqh Al-Zakat,
Terj. Salman Harun,
et al., Hukum
Zakat Studi Komparatif
Mengenai Status dan
Filsafat Zakat Berdasarkan
Qur’an dan Hadits,
Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 2006, hlm.
Ibid, hlm.
Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit,
hlm. 45 Imam Abu
Bakr Arabi berkata:
“Para ulama mengatakan
bahwa maksud firman
Allah “hasil usaha
kalian” itu adalah
perdagangan sedangkan yang
dimaksud dengan “hasil bumi yang kami keluarkan untuk kalian”
adalah tumbuh-tumbuhan.
Jadi,
harta perdagangan yang
telah memenuhi syarat tertentu
wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya.
Mengenai perdagangan
Imam Malik berpendapat
dalam kitab alMuwatta’ dijelaskan: Artinya: Malik
berkata, posisi kita (di Madinah) mengenai barang-barang dagangan
adalah jika seseorang
membayar zakat hartanya
dan kemudian membeli
barang-barang baik pakaian,
budak-budak ataupun sesuatu
yang serupa lainnya,
kemudian menjualnya sebelum
satu tahun, ia
tidak harus membayar
zakat atas harta tersebut sampai
satu tahun telah
berlalu sejak hari
membayar zakat. Ia tidak harus
membayar zakat atas barang apapun jika ia tidak
menjual mereka selama
beberapa tahun bahkan
jika ia Ibid Imam
Malik bin Anas, Al-Muwatta’, Beirut-Libanon: Ad-Dar Al-Fikr, 1992, hlm. 156 menyimpan
mereka untuk waktu
yang sangat lama.
Jika ia menjualnya, maka ia hanya mengeluarkan zakat
untuk satu kali.
Dan dijelaskan
pula dalam kitab
al-Mudawwanah al-Kubra, dikatakan: Artinya : Pedagang
itu terbagi atas dua bagian
: Mudir dan Ghairu Mudir.
Mudir yaitu
orang yang menjual
barang dagangannya dan
tidak mampu menentukan
keadaannya, maka setiap
bulan dalam setahun
ia harus menunaikan
kewajiban dari harta
yang dimilikinya dan
menghitung hartanya dari
hutang-hutang yang diharapkan
dapat dilunasi, kemudian
ia mengeluarkan zakatnya dengan
emas atau perak.
Dan adapun Ghairu
Mudir adalah seorang Muhtakir yaitu orang yang membeli barang
dagangan dan menentukan waktu yang baik
untuk menjualnya. Maka tidak ada zakat
dari barang dagangan tersebut sehingga
pada suatu saat ia menjualnya.
Menurut Imam
Syafi‟i, Imam Hanafi, Ahmad, Tsauri, dan Auza‟i berpendapat,
bahwa baik mudir
ataupun ghairu mudir
(muhtakir) hukumnya sama yakni
jika ia membeli barang untuk diperdagangkan, dan Imam Sahnun bin Sa‟id
At-Tanukhi, Al-Mudawwanah Al-kubra, Jus 5,
Bairut-Libanon: Al-Dar
Al-kutub Al-„ilmiyyah, 520 H, hlm. 141-142 barang
tersebut telah mencapai
nisab serta sudah
sampai haul, maka
ia harus menilainya dan
menzakatinya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi