Selasa, 26 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG WAKTU PENGELUARAN ZAKAT PERDAGANGAN BAGI MUHTAKIR

BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Zakat adalah ibadah maaliyyah ijtima’iyyah (ibadah yang berkaitan  dengan  ekonomi  keuangan  dan  kemasyarakatan)  yang  memiliki  posisi  sangat  penting,  strategis,  dan  menentukan,  baik  dilihat  dari  sisi  ajaran  Islam  maupun  dari  sisi  pembangunan  kesejahteraan  umat.  Di  dalam  alQuran terdapat banyak ayat  yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan  kewajiban zakat.
 Seperti dalam firman Allah dalam surat  Al-Baqarah ayat  110, yang berbunyi: “Dan dirikanlah  shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa  saja  yang  kamu  usahakan  bagi  dirimu,  tentu  kamu  akan  mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha  melihat apa-apa yang kamu kerjakan” (al-Baqarah: 110).
 Ajaran Islam tidak menyukai adanya penumpukan kekayaan hanya  terpusat  pada  beberapa  orang  saja  dalam  suatu  masyarakat,  karena  akan   Didin  Hafidhuddin,  Zakat  dalam  Perekonomian  Modern,  Jakarta:  Gema  Insani  Press,  2002, hlm.
 Departemen  Agama  Republik  Indonesia,  Al-Qur’an  Al-Karim  dan  Terjemah  Bahasa  Indonesia, Kudus : Menara Kudus, 2006, hlm. 17   melahirkan  pola  kehidupan  mewah  pada  sekelompok  kecil,  juga  dapat  mendorong  timbulnya  penindasan  dan  penderitaan.  Oleh  karena  itu  sebagai  makhluk  sosial,  manusia  harus  mengeluarkan  atau  memberikan  sebagian  harta  kekayaannya  ketika  sudah  mencapai  satu  nishab  kepada  mereka yang berhak sebagai pelaksanaan atas perintah Allah.

 Di  dalam  al-Quran,  hanya  ada  beberapa  macam  saja  yang  disebutkan sebagai harta  kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya,  yaitu  emas  atau  perak  (nuqud),  harta  perdagangan,  binatang  ternak,  hasil  pertanian dan harta terpendam (barang tambang dan temuan).
 Dalam  kehidupan  sehari-hari  manusia  memerlukan  banyak  kebutuhan.  Mulai  dari  kebutuhan  pokok  sampai  kepada  keperluan  yang  lainnya.  Untuk  memenuhi  kebutuhannya  tersebut  seseorang  harus  melakukan  transaksi  jual  beli.  Agama  Islam  memberi  kebebasan  untuk  mencari  rezeki,  namun  harus  dengan  cara  yang  halal  yakni  yang  sesuai  dengan ajaran Islam.
 Allah  memberikan  keluasan  kepada  orang-orang  Islam  untuk  bergiat  dalam  perdagangan,  dengan  syarat  tidak  menjual  sesuatu  yang  haram  dan  tidak  mengabaikan  nilai-nilai  moral  dalam  melakukannya, seperti  kejujuran,  kebenaran,  dan  kebersihan,  serta  tidak  hanyut  terbawa   Kutbuddin  Aibak,  Kajian  Fiqh  Kontemporer,  Yogyakarta:  Penerbit  Teras,  2009,  hlm.
  Ibid, hlm.
 M.  Ali  Hasan,  Zakat  dan  Infak  Salah  Satu  Solusi  Mengatasi  Problema  Sosial  di  Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, hlm. 46    kesibukan  dagang  sehingga  lupa  mengingat  dan  menunaikan  kewajiban  terhadap Allah.
 Berdagang  menurut  pengertian  sebagian  ulama  fiqih  adalah  mencari  kekayaan  dengan  cara  pertukaran.  Sedangkan  kekayaan  dagang  adalah segala yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dengan maksud  untuk  mencari kekayaan tersebut.  Menurut sebagian  yang lain, kekayaan  dagang  adalah  segala  yang  dimaksudkan  untuk  diperjual-belikan  dengan  tujuan  untuk  mencari  keuntungan.  Maksud  untuk  memperdagangkan  itu  mengandung  dua  unsur,  yaitu  tindakan  dan  niat.  Tindakan  adalah  perbuatan  membeli  dan  menjual,  sedangkan  niat  adalah  maksud  untuk  memperoleh keuntungan.
 Sebagai  landasan  dasar  zakat  perdagangan  adalah  firman  Allah  dalam surat al- Baqarah ayat 267:  “Hai  orang-orang  yang  beriman,  infakkanlah  (di  jalan  Allah)  sebagian  dari  hasil  usahamu  yang  baik-baik  dan  sebagian  dari  apa  yang  Kami  keluarkan  dari  bumi  untukmu....”(al-Baqarah:  267)   Yusuf  Qardhawi,  Al-Fiqh  Al-Zakat,  Terj.  Salman  Harun,  et  al.,  Hukum  Zakat  Studi  Komparatif  Mengenai  Status  dan  Filsafat  Zakat  Berdasarkan  Qur’an  dan  Hadits,  Jakarta  :  Pustaka Litera Antar Nusa, 2006, hlm.
 Ibid, hlm.
 Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit, hlm. 45   Imam  Abu  Bakr  Arabi  berkata:  “Para  ulama  mengatakan  bahwa  maksud  firman  Allah  “hasil  usaha  kalian”  itu  adalah  perdagangan  sedangkan yang dimaksud dengan “hasil bumi yang kami keluarkan untuk  kalian”  adalah  tumbuh-tumbuhan.
 Jadi,  harta  perdagangan  yang  telah  memenuhi syarat tertentu wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya.
Mengenai  perdagangan  Imam  Malik  berpendapat  dalam  kitab  alMuwatta’ dijelaskan: Artinya: Malik berkata, posisi kita (di Madinah) mengenai barang-barang  dagangan  adalah  jika  seseorang  membayar  zakat  hartanya  dan  kemudian  membeli  barang-barang  baik  pakaian,  budak-budak  ataupun  sesuatu  yang  serupa  lainnya,  kemudian  menjualnya  sebelum  satu  tahun,  ia  tidak  harus  membayar  zakat  atas  harta  tersebut  sampai  satu  tahun  telah  berlalu  sejak  hari  membayar  zakat. Ia tidak harus membayar zakat atas barang apapun jika ia  tidak  menjual  mereka  selama  beberapa  tahun  bahkan  jika  ia   Ibid   Imam Malik bin Anas, Al-Muwatta’, Beirut-Libanon: Ad-Dar Al-Fikr, 1992, hlm. 156   menyimpan  mereka  untuk  waktu  yang  sangat  lama.  Jika  ia  menjualnya, maka ia hanya mengeluarkan zakat untuk satu kali.
Dan  dijelaskan  pula  dalam  kitab  al-Mudawwanah  al-Kubra,  dikatakan: Artinya :  Pedagang  itu terbagi atas dua bagian  :  Mudir  dan Ghairu Mudir.
Mudir  yaitu  orang  yang  menjual  barang  dagangannya  dan  tidak  mampu  menentukan  keadaannya,  maka  setiap  bulan  dalam  setahun  ia  harus  menunaikan  kewajiban  dari  harta  yang  dimilikinya  dan  menghitung  hartanya  dari  hutang-hutang  yang  diharapkan  dapat  dilunasi,  kemudian  ia  mengeluarkan  zakatnya  dengan  emas  atau  perak.  Dan  adapun  Ghairu  Mudir  adalah  seorang Muhtakir yaitu orang yang membeli barang dagangan dan  menentukan waktu yang baik untuk menjualnya. Maka tidak ada  zakat dari  barang dagangan tersebut sehingga pada suatu saat  ia  menjualnya.

Menurut  Imam  Syafii,  Imam  Hanafi, Ahmad, Tsauri, dan  Auzai  berpendapat,  bahwa  baik  mudir  ataupun  ghairu  mudir  (muhtakir)  hukumnya sama yakni jika ia membeli barang untuk diperdagangkan, dan   Imam Sahnun bin Said At-Tanukhi,  Al-Mudawwanah Al-kubra,  Jus 5,  Bairut-Libanon:  Al-Dar Al-kutub Al-„ilmiyyah, 520 H, hlm. 141-142   barang  tersebut  telah  mencapai  nisab  serta  sudah  sampai  haul,  maka  ia  harus menilainya dan menzakatinya.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi