BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam hidup bermasyarakat manusia selalu
berhubungan satu sama lainnya untuk
mencukupi kebutuhan–kebutuhan hidup, karena itu merupakan fitrah untuk saling membantu dan bekerja sama dan saling
tolong menolong antara yang satu dan yang
lain, dimana tolong menolong yang baik bersifatmenguntungkan kedua belah pihak dan tidak mengingkari salah satu pihak.
Di antara sekian banyak bentuk tolong
menolong adalahsistem kerjasama hubungan industrial yang didalamnya juga termasuk sistem pengupahan, hal ini di
maksudkan sebagai usaha kerjasama saling
menguntungkan dalam rangka upaya meningkatkan taraf hidup bersama baik bagi pengusaha maupun pekerja, dalam hal
pengupahan Islam memberikan ketentuan dasar mengenai akad atau perjanjian
kerja, bahwa perjanjian kerja itu akan
menimbulkan hubungan kerja sama antara pekerja dengan pengusaha yang berisi hak dan kewajiban masing–masing pihak,
hak dari pihak yang pertama merupakan
suatu kewajiban bagi pihak yang lainnya adapun kewajiban yang utama bagi pengusaha adalah membayar upah atau gaji.
Dan mengenai penetapan upah bagi para tenaga kerja harus mencerminkan
keadilan dan mempertimbangkan berbagai
aspek kehidupan, sehingga pandangan Islam tentang hak tenaga kerja dalam menerima upah lebih terwujud .
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah
(Hukum Perdata Islam),h. 5 Agar upah yang diberikan oleh majikan kepada
pekerja bisa lebih adil dan manusiawi
maka penentuan upah hendaklah diberikan secara adil sesuai dengan peraturan yang ada, karena kita mengetahui
bahwa masalah pengupahan merupakan
sesuatu yang pelik mengingat Islam sendiri tidak menyebutkan secara jelas bagaimana sistem pengupahan dan
berapa batas penetapan upah minimum,
Islam hanya menyebutkan bahwa orang yang bekerja hendaknya mendapatkan upah atas jasa yang diberikan
kepada pengusaha sebagaimana sabda
Rasulullah SAW yang menyebutkan mengenai pembatasan jam kerja “Dan janganlah kamu membebani merekapekerjaan
yang tidak mampu mereka kerjakan, jika
kamu membebaninya maka bantulah mereka”
(Hr. Bukhori Muslim) Dan menentukan bayaran menurut kebiasaan yang
berlaku, hukumnya sah.
Hadits Nabi Muhammad SAW.: “Aku dan Makhramah al-‘Abidy pernah mengimpor
(membeli) pakaian dari tanah Hajar.
Barang tersebut lalu kami bawa ke Makkah. Maka sambil berjalan Rasul SAW mendatangi kami, lalu beliaumenawar
beberapa celana, kemudian kami jual
celana-celana itu kepadanya. Dan disana (di sebelah) dan seseorang yang sedang menimbang dengan upah, beliau
berseru: “timbanglah dan lebihkanlah”.
Abu Husein Muslim Bin Hajjaj,S{ah}i>h}Muslimh. 1123 Abu Muslim Muhammad bin Ismail al-Bukhari,
Kitab S{ah}i>h} Bukhari, h. 1459 Dijelaskan
pula dalam undang–undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwasannya dalam pelaksanaan kerja dan pelaksanaan memberikan upah pengusaha dilarang
sewenang–wenang dalam menentukan upah
pekerja hal ini sebagaimana yang tercantum dalam beberapa pasal yaitu : Pasal 77 (1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi : 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau peker-jaan
tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu
kerja padasektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat : a. Ada
persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b.
Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empatbelas) jam
dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau
pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu
kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 88 Tentang Pengupahan (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan
yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang
melindungipekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) meliputi : a. upah minimum b. upah
kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah
tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e.
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f.
bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h.
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i.
struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah
untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89 (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri
atas: a.
Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. Upah
minimum berdasarkan sektorpada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan
pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90 (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih
rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak
mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 91 (1)
Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih
rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi