BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Asuransi pada
dasarnya didirikan dan
dilembagakan sebagai sebuah usaha untuk mengatur atau me-manage masa depan yang lebih baik. Melalui asuransi, seseorang dapat “menjaminkan”
kebutuhan ekonomi masa depannya.
Hal ini
setidaknya terlihat dari
tujuan utama pendirian
asuransi di Indonesia yang diprakarsai oleh Persatoean Goeroe Hindia
Belanda (PGHB) pada tahun 1912 dengan
pionernya Dwidjosewojo. Lembaga
asuransi yang kemudian dikenal
dengan nama Bumiputera
memiliki landasan dasar
sebagai lembaga yang
memiliki tujuan untuk
memajukan ekonomi serta
menjaminkan keselamatan keluarga
anggota-anggotanya di kemudian hari.
Pada
perkembangan berikutnya, asuransi
seolah-olah menjadi ”lahan ekonomi”
yang saling menguntungkan
antara pengelola dan
nasabahnya.
Sehingga saat
memasuki abad 20,
asuransi di Indonesia
telah mengalami perkembangan yang pesat.
Meski demikian, baru kemudian pada tahun 1992,
Pemerintah Indonesia melegalformalkan bisnis asuransi
secara paten melalui UU Asuransi,
yakni UU No.
2 Tahun 1992
tentang Asuransi.
Daya
tarik Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh
M. Anshar dalam
Majalah ”Persatoean Goeroe” edisi
25 Februari 1933
yang dikutip kembali
dalam ”Indonesia yang
Kuimpikan”, Tempo Edisi Khusus
Kebangkitan Nasional 1908-2008, Majalah, 19-25 Mei 2008.
Hal
ini ditunjukkan dengan
perkembangan jumlah pasar
asuransi di Indonesia
hingga tahun 1992. Total struktur
pasar asuransi hingga 1992 adalah 643 unit
dengan aset lebih dari 10 milyar
rupiah. Lihat dalam Herman Darmawi,
Manajemen Asuransi, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 236-237.
Mengenai legalitas Asuransi melalui UU
tersebut dapat dilihat dalam Abdullah Amrin, Asuransi Syari’ah; Keberadaan dan Kelebihannya
di Tengah Asuransi Konvensional, Jakarta: PT.
asuransi
juga telah menjadi
inspirasi dalam mengembangkan
produk-produk asuransi. Pengembangan
produk tersebut meliputi
pengembangan jenis lingkup
produk maupun pengembangan
legalitas produk. Maksud
dari legalitas produk
asuransi adalah bahwasanya
asuransi tidak hanya dikembangkan dalam
konteks legalitas konvensional
saja namun juga dikembangkan
dalam konteks legalitas agama, khususnya syari’ah Islam.
Dua tahun setelah adanya UU yang
mengatur tentang asuransi, yakni tahun 1994, asuransi berbasis syari’ah Islam atau
yang lebih dikenal dengan istilah asuransi
syari’ah dijadikan wacana
untuk pertama kali
di Indonesia.
Pengenalan wacana
asuransi syari’ah yang
pertama kali di
Indonesia diprakarsai oleh PT
Syarikat Takaful Indonesia (STI).
Pengembangan wacana bisnis asuransi syari’ah di Indonesia yang
dilakukan oleh PT STI tidak dapat dilepaskan dari perkembangan asuransi
syari’ah di Malaysia.
Melalui studi banding serta mengacu pada kinerja
asuransi syari’ah di Malaysia-lah bisnis asuransi syari’ah PT STI dikembangkan.
Akhirnya pada tahun 1995, tepatnya 2 Juni 1995, asuransi berbasis syari’ah
diluncurkan oleh PT STI.
Elex
Komputindo, 2006, hlm.
6; Lihat juga
dalam Wirdianingsih, Bank
dan Asuransi Islam
di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005, hlm. 219.
Mengenai
pengertian asuransi syari’ah
dapat dilihat dalam
Abdullah Amrin, Asuransi Syari’ah;
Keberadaan dan Kelebihannya
di Tengah Asuransi
Konvensional, Jakarta: PT.
Elex Komputindo, 2006;
Wirdianingsih, Bank dan
Asuransi Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005; Abdul Ghofur Anshori, Asuransi Syari’ah di Indonesia; Regulasi dan Operasionalisasi di Dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia,
Yogyakarta: UII Press, 2007.
Pembentukan
PT STI sendiri
melibatkan beberapa lembaga
keuangan yakni Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, dan
Asuransi Jiwa Tugu Mandiri.
Malaysia
memang merupakan negara
ASEAN pertama yang
menerapkan asuransi dengan
prinsip syariah sejak
tahun 1985. Di
negara jiran ini,
asuransi syariah dikelola
oleh Syarikat Takafu Malaysia
Sdn. Bhd Mengenai sejarah
kemunculan asuransi syari’ah
di Indonesia penulis
rangkum dan kembangkan dari Majalah Proteksi edisi
Februari 2003/tahun XXIV sebagaimana dikutip dalam http://www.ipin4u.esmartstudent.com/asuransi.htm.
Meskipun
telah diluncurkan sejak
tahun 1995, asuransi
syari’ah baru dilegalkan
dan diatur secara
formal pada tahun
2001 melalui Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi
Syari’ah.
Setelah
adanya legalitas tersebut,
asuransi syari’ah berkembang pesat. Fenomena yang hampir sama
dengan awal kemunculan
asuransi konvensional juga
terjadi pada saat setelah
asuransi syari’ah mendapatkan legalitas. Daya tarik asuransi syari’ah, yang secara legal hukum agama, lebih disukai
oleh umat Islam telah mampu meningkatkan animo
lembaga-lembaga keuangan konvensional
maupun lembaga asurnasi
konvensional untuk memasukkan
produk asuransi syari’ah sebagai
salah satu produknya.
Tercatat, setelah legalitas
asuransi syari’ah, terdapat
beberapa lembaga asuransi
konvensional yang menjadikan
asuransi syari’ah sebagai
produk asuransinya, termasuk
pioner asuransi konvensional di Indonesia, yakni Bumiputera.
Sebagai
lembaga asuransi yang
dapat dikatakan yang
tertua, tentu Bumiputera tidak akan mengalami kesulitan yang
berarti dalam mengelola dan mengembangkan produk
asuransi syari’ah. Indikator
sederhananya adalah keberanian
lembaga Bumiputera untuk
menerapkan secara utuh
dan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI)
No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syari’ah.
Lembaga-lembaga yang
menjadikan asuransi syari’ah
setelah munculnya legalitas tersebut
di antaranya adalah
Asuransi Jiwa Asih
Great Eastern, MAA
Life Insurance, Asuransi Bringin
Jiwa Sejahtera, dan pada akhir
2002 didirikan cabang
syariah Asuransi Tri
Pakarta.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi