BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia
selalu berusaha memenuhi kebutuhan di dalam hidupnya. Hal ini
merupakan dorongan fitrah
yang mutlak dan
tidak bisa dihilangkan
dari diri setiap manusia.
Kebutuhan hidup itu menurut Maslow dapat digolongkan dari
tingkat sederhana untuk
sekadar bertahan hidup
(basic needs) hingga tingkat kemewahan untuk aktualisasi diri (self
actualization).
Dalam
usahanya memenuhi seluruh tingkatan
kebutuhan hidup tersebut,
manusia memerlukan bantuan
manusia lainnya. Maka,
timbullah interaksi dan
pembagian tugas yang
diwujudkan dalam bidang-bidang
usaha dalam masyarakat.
Interaksi dalam masyarakat
tersebut diatur oleh kesepakatan yang
tercermin dalam norma-norma
kemasyarakatan. Ketika manusia saling berinteraksi dengan fungsinya
masing-masing, maka terjadilah pertukaran,
suatu transaksi, atau dengan kata lain, jual beli.
Pada mulanya jual beli dilakukan secara
barter. Namun, seiring dengan perkembangan
masyarakat, jual beli memerlukan standar penetapan nilai atau harga atas barang dan jasa yang dihasilkan
oleh bidang-bidang usaha tersebut.
Dari sinilah uang sebagai alat tukar yang sah
tercipta.
Uang sebagai alat tukar memegang peranan yang
sangat penting dalam masyarakat modern.
Hampir seluruh aspek
kehidupan manusia tidak
dapat dilepaskan dari
uang. Karena fungsinya
sebagai alat tukar
, uang selalu beredar
dari satu orang
ke orang lainnya.
Semakin lama urusan
yang menyangkut uang,
semakin berkembang dan
bertambah rumit, sehingga menyebakan masyarakat memerlukan suatu
lembaga perantara (intermediary) yang
dapat memperlancar lalu
lintas uang. Lembaga
tersebut kini dikenal dengan
bank. Bank adalah
suatu lembaga yang
mendapat izin untuk mengerahkan dana
masyarakat berupa pinjaman
sehingga sebagai perantara nasabah penyimpan dana dan pemakai dana akhir.
Sebagaimana yang
kita ketahui bahwa
lembaga keuangan menurut ketentuan perundang-undangan dibagi menjadi
dua, yaitu lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan non bank. Baitul Maal
Wat Tamwil merupakan salah
satu lembaga keuangan
syari'ah non perbankan,
yang biasa disebut BMT.
(Jika ditelusur
sejarah BMT dapat
dilihat melalui konsep
BMT itu sendiri yang sebenarnya sudah ada sejak zaman
rasulullah saw yang dikenal dengan nama
bait al-maal dan berfungsi sebagai pengelola dana amanah dan harta
rampasan perang (ghnimah)
pada masa awal
islam, yang diberikan kepada yang berhak dengan pertimbangan
kemaslahatan umat. Namun secara konkrit pelembagaan
Baitul Maal baru
dilakukan pada masa
Umar Bin Khattab,
ketika kebijakan pendistribusian dana
yang terkumpul mengalami perubahan.
Lembaga Baitul Maal
itu berpusat di
ibukota Madinah dan memiliki
cabang di profinsi-profinsi wilayah Islam.
Edy Wibowo dan Untung Hendy Widodo,
Mengapa Memilih Bank Syariah ?, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 1-2.
Ahmad
Sumiyanto, BMT Menuju Koperasi Modern, Solo: ISES Publishing, 2008, hal.
15. Di
indonesia sendiri Sejarah
BMT dimulai tahun
1984 yang dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman
yang mencoba menggulirkan lembaga
pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih
di berdayakan oleh
ICMI sebagai sebuah
gerakan yang secara operasional
ditindaklanjuti oleh Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha
Kecil (PINBUK).
Menurut pasal 1 undang-undang No. 10 Tahun
1998 tentang perubahan undang-undang No.
7 Tahun 1992
tentang Perbankan, Bank
didefinisikan sebagai badan
usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada
masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
Dimana undang-undang
tersebut juga mencantumkan kebebasan penentuan imbalan dan
sistem keuangan bagi hasil, juga dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun
1992 yang memberikan
batasan tegas bahwa
bank diperbolehkan melakukan
kegiatan usaha dengan
berdasarkan prinsip bagi
hasil. Maka mulailah
bermunculan lembaga keuangan
yang menggunakan sistem
syari’ah, seperti Bank Muamalat
Indonesia (BMI), BNI Syari’ah, BPRS-BPRS, dan Baitul Maal wat Tamwiil (BMT).
Adapun bank umum merupakan lembaga keuangan makro, bank perkreditan rakyat merupakan lembaga
keuangan menengah, sedangkan BMT merupakan
salah satu contoh
lembaga keuangan mikro
yang berlandaskan syari’ah dan
berbadan hukum koperasi maka secara otomatis di bawah pembinaan Departemen Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah. Dengan Makhalul
Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro
Keuangan Syariah, Yogyakarta: UII press,
2002, hal. 112.
demikian, peraturan
yang mengikat KJKS
BMT juga dari
departemen ini.
Sampai
saat ini, selain
peraturan tentang koperasi
dengan segala bentuk usahanya,
KJKS BMT diatur
secara khusus dengan
Keputusan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah
No.
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Koperasi Jasa Keuangan
Syari’ah. Dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait
dengan pendirian dan
pengawasan KJKS BMT
berada di bawah Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Melihat uraian
di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa
KJKS BMT adalah lembaga keuangan yang beroperasi
seperti koperasi sehingga berbadan hukum
koperasi. KJKS BMT
merupakan gabungan dari
Baitul Maal (Non Komersil) dan
Baitut Tamwil (komersil).
Baitul Maal merupakan
lembaga keuangan yang kegiatannya
mengelola dana yang bersifat nirlaba (sosial) yang sumber
dananya berasal dari
zakat, infaq dan
shadaqah (ZIS), atau
sumber lain yang
halal, kemudian disalurkan
kepada mustahiq atau
yang berhak.
Adapun
Baitut Tamwil adalah
lembaga keuangan yang
kegiatannya menghimpun dan
menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang bersifat profit motive (mencari keuntungan).
KJKS BMT
mempunyai dua fungsi
pokok dalam kaitan
dengan kegiatan perekonomian
masyarakat, yakni fungsi pengumpulan dana ( funding) dan
fungsi penyaluran dana
(financing). Sesuai dengan
fungsi tersebut, melahirkan
produk-produk KJKS BMT,
yakni pengumpulan dan
penyaluran Ahmad Sumiyanto,
op.cit, hal. 15-16.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi