BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejauh ini
masih terdapat anggapan
bahwa Islam menghambat kemajuan,
seolah-olah Islam hanya
berkaitan dengan masalah
ritual bukan suatu
sistem yang mencakup
seluruh aspek kehidupan.
Manusia adalah khalifah
di bumi, Islam
memandang bahwa bumi
dengan segala isinya merupakan
amanah Allah SWT
kepada sang khalifah
untuk dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.
Dengan kata lain, dalam Islam tidak
ada pemisah antara amal dunia dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktivitas manusia di dunia harus didasarkan
pada ketetapan Allah SWT, agar kelak
selamat di akhirat.
Sebagai
sistem kehidupan, Islam
memberikan warna dalam
setiap dimensi kehidupan
manusia, tak terkecuali
dunia ekonomi. Bersamaan dengan
fenomena semakin bergairahnya
masyarakat kembali ke
ajaran agama, banyak bermunculan
lembaga-lembaga ekonomi yang berusaha untuk menerapkan
prinsip syari‟at Islam, dapat
dicontohkan dengan ketentuan- Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm.
Rachmat Syafi‟i,
Fiqih Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001), hlm. 15. Hal ini juga
sesuai dengan firman Allah sebagai berikut : “Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia
saja (maka ia merugi), Karena di sisi Allah
ada pahala dunia dan akhirat. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat” (QS. AnNisa: 134) ketentuan
dasar ekonomi seperti
larangan riba, adanya
prinsip bagi hasil, pengenaan zakat, dan lain-lain.
Walaupun
terdapat persamaan dengan
sistem ekonomi yang
lain, namun dalam
sistem ekonomi Islam
terdapat perbedaan pandangan
dengan sistem ekonomi
yang lain dan
ini terlihat dalam
idealitas transaksi pemesanan, bagi hasil, asuransi, jaminan,
deposito, pinjaman, jual beli valas, jual
beli saham, dan premi dalam transaksi perbankan. Aktivitas-aktivitas itu dapat bernilai ibadah manakala yang melingkupi sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan oleh Islam.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi : “Apabila telah
ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia
Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung”. (QS. Al-Jumu‟ah: 10) Dari ayat di atas dapat kita tafsirkan secara jelas, bahwasanya Allah
telah memerintahkan kita untuk mencari
karunia-Nya, rezeki yang telah Allah persiapkan
untuk semua makhluk yang ada di muka bumi. Salah satu upaya agar kita beruntung seperti yang tersirat di
dalam ayat tersebut adalah dengan melakukan perencanaan
finansial untuk menunjang
kehidupan kita di
masa depan, apalagi di zaman
modern seperti sekarang. Tujuan jangka panjangnya Muhammad Syafi‟i Antonio,
op.cit., hlm.
Abdullah
Abdul Husain at-Tariqi,
Ekonomi Islam: Prinsip,
Dasar dan Tujuan, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004),
hlm. xxi Departemen Agama
RI, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, (Bandung: CV
Penerbit Diponegoro,
2008), hlm. 554 adalah untuk
menjamin keberlangsungan hidup
kita ketika memasuki
masa “pensiun”. Selain itu,
bagaimana agar harta kita bermanfaat dunia dan akhirat.
Dalam pengelolaan finansial, hal
yang lazim menjadi fokus perhatian masyarakat adalah
bagaimana berinvestasi. Dalam
hal ini, banyak
pilihan yang bisa kita ambil.
Namun, dalam ekonomi konvensional, ladang investasi yang
tersedia pada umumnya
belum tentu sesuai
kaidah syariah. Sebagai Muslim, kita tidak boleh terjebak untuk ikut
dalam ladang investasi ribawi.
Istilah investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire
(memakai), sedangkan dalam
bahasa Inggris, disebut
dengan investment.
Hakikat investasi
adalah penanaman modal
untuk proses produksi.
Karena Islam adalah
agama yang mudah,
tentunya batasan syar‟i tidak
menjadikan kita kesulitan dalam mengelola finansial. Oleh
karena itu, upaya untuk memutar modal dalam
investasi, sehingga mendatangkan
return merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan. Oleh sebab itu, ajaran tentang mekanisme
investasi bagi hasil
harus dikembangkan, sehubungan
dengan masalah kapital
dan keahlian.
Bila dalam ekonomi konvensional alat
investasi – lebih khusunya uang atau saham – memiliki fluktuasi nilai
yang ditentukan oleh pasar, dalam Islam
dikenal alat investasi yang bernama dinar.
Aktivitas
yang berkaitan dengan
usaha penarikan sumber-sumber
(dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat
sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa yang akan datang.
Salim
HS dan Budi
Sutrisno, Hukum Investasi
di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 2008), hlm.
Muhamad,
Dasar-dasar Keuangan Islam, (Yogyakarta: EKONISIA, 2004), Cet. I, hlm.
75 Investasi
(saving) emas menjadi
pilihan yang menjanjikan.
Hal ini
dikarenakan emas
adalah salah satu
alternatif investasi yang
sangat menguntungkan. Nilai
investasinya yang tidak
tergerus inflasi, tren
harga yang terus meningkat,
ditambah lagi transaksi jual belinya fleksibel dan pasar terbuka, membuat komoditas itu menjadi pilihan
alternatif investasi. Hal itu pula yang
mendorong lembaga jasa keuangan ikut menawarkan produk gadai emas, murabahah emas, dan mudharabah atau
qiradh emas.
Akan tetapi, memperlakukan emas
(dan pasangannya, perak) sebagai investasi dalam
arti ditabung untuk
sekadar menjaga nilai
justru sangat merugikan
masyarakat secara keseluruhan.
Dalam pandangan Islam,
emas beserta pasanganya perak,
adalah uang, alat tukar yang harus beredar. Emas dan perak, dalam bentuk mata uang Dinar emas
(4.25 gr) dan Dirham perak (2.975 gr)
harus ditransaksikan dalam
perdagangan sehari-hari. Ia
harus berpindah tangan,
dipertukarkan dengan komoditas
dan jasa, dan
tidak ditimbun dalam brankas,
hanya untuk suatu saat ditukarkan kembali menjadi rupiah. Dalam surat at-Taubah ayat 34-35 Allah
SWT menegaskan : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak (baik sebagai komoditi maupun mata uang) dan tidak
menyalurkannya di jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan Moh. Ismail Yusanto, dkk, Dinar Emas: Solusi Krisis Moneter, (Jakarta:
PIRAC, 2001), hlm. 117 mendapat)
siksa yang pedih,
pada hari dipanaskan
emas perak itu
dalam neraka jahanam,
lalu dibakarnya dahi
mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “inilah
harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat
dari) apa yang kalian simpan itu.” (QS.
At-Taubah: 34-35) Memperlakukan Dinar
dan Dirham sebagai
“alat investasi” pasif seperti ini
melawan perintah Allah
Ta‟ala, sebab didalam
Al Qur‟an telah jelas disebutkan bahwasanya : “Supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al- Hasyr: 7) Agar dinar bisa beredar dan kita sebagai
seorang Muslim dapat berinvestasi secara
benar dan tepat sesuai syar‟i maka ada beberapa prasarana yang harus ada dan saat ini telah dirintis. Salah satunya
melalui lembaga keuangan non bank atau
lembaga pembiayaan (multifinance) dan
Baitul Maal wa
Tamwil (BMT).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi