BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai
agama terakhir merupakan
tuntunan agama yang lengkap dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 89 “Dan kami
turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu.” 1 Muhammad
sebagai pengemban risalah, mewariskan
kepada umat muslim yakni berupa
al-Qur’an dan hadits untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari, baik yang
berupa ibadah mahdhoh
atau ibadah ghairu mahdhoh.
Ibadah mahdhoh
yang berarti suatu
perbuatan yang berhubungan langsung
dengan Allah yang
terumuskan dalam fiqh
ibadah kaitannya dengan
shalat, puasa, zakat
dan sebagainya. Di
sini terjadi subordinasi antara manusia sebagai makhluk dan Allah
sebagai Khalik.
2 Ibadah ghairu mahdhoh adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan
hablumminnannas yang terumuskan
dalam fiqh muamalah kaitannya dengan jual beli, sewa menyewa,
utang piutang dan sebagainya.
1 Al-Qur’an al-Karim dan Terjemah
Bahasa Indonesia, Kudus: Menara Kudus, 2006, h.277 2 Abdul Ghofur, Menguak Dinamika Fiqh
dan Kontekstualisasinya, dalam Justisia, edisi 35, 2010, h.76 2 Fiqh muamalah
menurut Musthafa Ahmad
Zarqa dalam Ghufron Ajib
adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan
sesama manusia dalam
urusan kebendaan, hak-hak
kebendaan serta penyelesaian
perselisihan di antara
mereka. Dapat dilihat
di sini bahwa fiqh muamalah dapat dipahami sebagai
hukum perdata Islam tetapi terbatas pada hukum kebendaan dan hukum perikatan.
3 Ruang lingkup fiqh muamalah
dibagi menjadi dua. Pertama, ruang lingkup al-Muamalah
al-Adabiyah dan al-Muamalah
al-Maliyah. AlAdabiyah adalah
pembahasan-pembahasan yang mengenai
aspek moral seperti ridha, tidak terpaksa, transparan, jujur,
bebas dari unsur gharar dan menjauhi sifat-sifat
seperti tadlis (tidak
transparan), gharar (tipuan), risywah (sogok), ikhtikar (penimbunan).
Sedangkan Al-Muamalah
al-Maliyah pembahasannya meliputi bentuk-bentuk
perikatan (akad) tertentu
seperti jual beli
(al-Ba’i), gadai (rahn), al-Ijarah (sewa menyewa), al-Istishna’ (pesanan), al-Kafalah (jasa tanggungan), al-Hawalah
(pengalihan utang), al-Wakalah
(pemberian kuasa), al-Shulh,
al-Syirkah, al-Mudlarabah, al-Hibah, al-Muzara’ah, alMusaqah, al-Wadi’ah,
al-Ariyah, al-Qishmah, al-Qardl
dan lain sebagainya.
4 Sewa menyewa
di dalam hukum
Islam diperbolehkan karena
ini tergolong dalam
al-Muamalah al-Maliyah. Dalam
hukum Islam sewa 3
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Rajawali Press, 2002,
h.2 4 M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah, Yogyakarta: Logung Pustaka,
2009, h.8-9 3 menyewa dinamakan ijarah
yang artinya sewa, jasa, atau
upah/imbalan.
5 Berdasarkan firman Allah Berkata
dia (Syu’aib): ”Sesungguhnya
aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari
putriku ini, atas dasar kamu bekerja
denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka
aku tidak ingin
memberati kamu. Dan
kamu insya Allah
akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang baik .” (Al qashas ayat:27) 6 Dalam Ghufron
A. Mas’adi menyampaikan
pengertian ijarah menurut terminologi
para fuqaha sebagai
berikut, ” Menurut
fuqaha Hanafiyah, ijarah adalah
akad atau transaksi
terhadap manfaat dengan imbalan.
Menurut fuqaha Syafi’iyah
ijarah adalah traksaksi
terhadap manfaat yang
dikehendaki secara jelas
harta yang bersifat
mudah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu.
Menurut fuqaha Malikiyah dan
Hanabilah ijarah adalah
pemilikan manfaat suatu
harta benda yang bersifat
mubah selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan.” 7 Di dalam
sewa menyewa terdapat
syarat dan rukun
yang harus dipenuhi.
Menurut jumhur ulama
rukun ijarah ada
empat yakni; orang yang
berakal, sewa/imbalan, manfaat dan
sighat (ijab dan kabul). Adapun 5 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam
Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: Rajawali Press, 2003, h.227 6 Al-Qur’an
al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia, Kudus: Menara Kudus. 2006, h.388 7
Ghufron A. Mas’adi, op.cit, h.181-182 4 syarat-syaratnya adalah
orang yang berakad
harus baligh, kedua
pihak yang berakad
harus saling rela,
manfaat obyek harus
jelas, obyek harus tidak cacat
dan obyek sewa
tidaklah sesuatu yang
diharamkan oleh syara’.
8 Dalam suatu
akad kesepakatan awal
dari suatu transaksi
harus benar-benar diketahui
oleh para pihak
karena meminimalisir adanya kecurangan
atau manipulasi dari
salah satu dari
masing-masing pihak.
Baik itu
kesepakatan dalam bentuk
tertulis atau dalam
bentuk lisan (hukum
adat). Oleh karena
itu perjanjian sewa
menyewa bondo deso dilakukan secara tertulis untuk
menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan bagi kedua belah pihak.
Bentuk perjanjian
ini secara hukum
perdata sah karena
memuat unsur-unsur yang diatur
dalam undang-undang. Di dalamnya berisi
antara lain; identitas para
pihak, obyek transaksi dan prestasi (hak dan kewajiban para
pihak). Salah satu prestasi yang
ditulis dalam surat
perjanjian sebagaimana pasal
1559 menyebutkan bahwa,
”Si penyewa jika kepadanya tidak
telah diperizinkan, tidak
diperbolehkan
mengulangsewakan barang, yang
disewanya, maupun melepaskan
sewanya kepada orang
lain, atas ancaman
pembatalan perjanjian sewa
dan penggantian biaya,
rugi dan bunga,”
terdapat dalam surat
perjanjian pasal 3
yakni selama persewaan
pihak kedua (penyewa)
dilarang keras untuk memindahkan
hak sewanya kepada pihak lain.
8 M.Ali Hasan, op.cit, h.231-233 5 Pelaksanaan
sewa menyewa bondo
deso diawali dengan
sewa lelang yang dihadiri oleh seluruh warga desa
Tanjungmojo, serta pejabat pemerintahan mulai
dari tingkat kabupaten,
kecamatan hingga desa.
Setelah diumumkan pemenang sewa
lelang oleh panitia, secara langsung terjadi perikatan antara pihak desa dengan
pihak pemenang lelang. Pihak yang terikat
ini kemudian saling
menjalankan hak dan
kewajiban yang sudah tertulis dalam surat perjanjian. Dalam
hal ini berlaku firman Allah dalam surat al-Maidah ayat ”Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah
akad (perjanjian-perjanjian)
tersebut.” 9 Dalam pelaksanaannya, pihak
pemenang berhak menggunakan barang yang disewanya sesuai dengan
koridor-koridor yang diperbolehkan dalam Islam.
Antara lain, seorang
penyewa yang tidak
merusak, menelantarkan dan merawat
dengan baik pula. Si pihak penyewa berhak memanfaatkan
barang setelah menunaikan
kewajibannya dengan membayar uang sewa kepada pihak yang
menyewakan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi