Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS PROSEDUR PEMANGGILAN PIHAK TERGUGAT YANG ALAMATNYA TIDAK DIKETAHUI (Studi Kasus Putusan No. 0914/Pdt.G/2009/PA Sm. di Pengadilan Agama Semarang)


 BAB I  PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang Masalah  Perkawinan merupakan perpaduan instink manusiawi antara laki-laki dan  perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani, lebih tegasnya  perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita  sebagai suami istri dengan tujuan membentukkeluarga (rumah tangga) yang  bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa.
 Setiap orang pasti mendambakan hidupnya bahagia. Kebahagiaan hidup  letaknya bukan hanya pada tumpukan harta yang banyak atau pangkat yang  tinggi, melainkan kebahagiaan juga dipengaruhi oleh jiwa yang tentram.
Ketentraman jiwa ditentukan pada kehidupan keluarga (suami istri), yang diikat  dengan cinta kasih murni yang akan bisa membuahkan kebahagiaan rumah  tangga atau keluarga. Oleh karena itu keluarga memegang peranan penting dan  mempunyai tanggung jawab yang tiada taranya dalam membina suatu bangsa,  maka pembinaan keluarga sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh  masyarakat atau pemerintah.
Perkawinan di Indonesia diaturdalam Undang-Undang No. 1 Tahun  1974. Menurut Pasal 1 Undang-Undang tersebut, perkawinan ialah ikatan lahir  bathin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan                                                                Undang-undang no.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan       tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk melaksanakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang  perkawinan, telah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan  Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan yang diundangkan pada  tanggal 1 April 1975, yang memuat ketentuan tentang masalah-masalah  perkawinan, yang diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan dari UndangUndang No. 1 Tahun 1974.
Pada prinsipnya tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan  kekal. Hal ini ditegaskan dalam undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974  yaitu ucapan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami  istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan  kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun, terkadang fenomena berbicara lain, perkawinan yang diharapkan  sakinah, mawadah, warahmahternyata karena satu dan lain hal harus kandas di  tengah jalan. Kondisi rumah tangga mengalami perselisihan, pertengkaran serta  suami istri sudah tidak dapat lagi di damaikan maka Islam memberi solusi  dengan perceraian atau talak. Perceraianatau talak merupakan obat terakhir  untuk mengakhiri pertentangan dan pergolakan antara suami istri serta menjadi  jalan keluar yang layak untuk keduanya. Kendati dibolehkan Allah adapun  perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW:       “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah  kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)  iddahnya (yang wajar)[1481] dan hitunglah waktu iddah itu serta  bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka  dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali  mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang[1482]. Itulah hukumhukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap  dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan  sesudah itu sesuatu hal yang baru”[1483].
Namun jika perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya maka hal ini  dapat saja dilakukan, firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :  “Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka  Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S.
Al Baqarah : 227)  Dalam suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah  tangga yang bahagia, kekal, dan sejahtera,sesuai dengan tujuandari perkawinan  yang terdapat dalam UU No.1 tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua orang dapat  membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini dikarenakan  adanya perceraian, baik cerai mati, ceraitalaq, maupun cerai atas putusan hakim.
                                                              Yayasan Lembaga Penterjemah Al Quran, Al Quran dan Terjemahannya, Departemen  Agama Republik Indonesia, Jakarta;1985, hlm. 55       Disamping aturan atau ketentuan tersebutdiatas, terdapat faktor lain yang  berpengaruh terjadinya perceraian yaitu: faktor ekonomi atau keuangan, faktor  hubungan seksual, faktor agama, faktor pendidikan, faktor usia muda.
 Adapun perlu diketahui bahwa terdapat beberapa macam gugatan dalam  pengadilan yaitu antara lain :  1.  Tuntutan Perorangan (personlijk) obyeknya adalah tuntutan pemenuhan  ikatan karena persetujuan dan karena undang-undang.
2.  Tuntutan Kebendaan (zakelijk) yaitu suatu penuntutan penyerahan suatu  barang sebagai obyek dari pada hak benda atau pengakuan hak benda.
3.  Tuntutan Campuran (gabungan antara personlijkdan  zakelijk) adalah  campuran dari tuntutan perorangan dengan kebendaan, penggolongan tersebut  dapat dilihat dalam dictum (bagian terakhir dari suatu putusan dan merupakan  kalimat di bawah mengadili).
Secara garis besar Pasal 118 HIR / 142 RBG menjelaskan secara lengkap  gugatan tersebut dapat diajukan kepada :  1.  Gugatan perdata dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri  (Agama), harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh  penggugat atau oleh orang yang dikuasakan kepada Ketua Pengadilan Negeri  (Agama) yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggaltergugat. Yang  dimaksud dengan tempat tinggal menurut pasal 17 BW adalah tempat dimana  seseorang menempatkan pusat kediamannya. Hal ini dapat dilihat dari Kartu  Tanda Penduduk.
                                                              Wahyuni, S.H, Setyowati, S.H dalam Yani Tri Zakiah.. Latar Belakang Dan Dampak  Perceraian. Semarang:, Jurnal Skripsi Fakultas Ilmu Sosial UNS, 2005.
     2.  Apabila tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan pada Pengadilan  Negeri (Agama) tempat kediaman penggugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah  tempat kediamannya.
3.  Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada  tempat tinggal slah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari tergugat,  jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.
4.  Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah  yang berhutang dan yang lain menjaminnya, maka gugatan harus diajukan  kepada Pengadilan Negeri (Agama) pihak yang berhutang. Sehubungan  dengan hal ini perlu dikemukakan, bahwa secara analogis dengan ketentuan  tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan  harus diajukan di tempat tinggal tergugat.
5.  Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman Tergugat tidak diketahui.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi