Selasa, 26 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS PUTUSAN No: 94/Pid.B/2003/PN.Ska TERHADAP PENGGUNAAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN

BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Kehidupan  sehari-hari  di  masyarakat,  ada  warga  negara  yang  lalai  atau  dengan  sengaja  tidak  melaksanakan  kewajibannya,  sehingga  hal  ini  dapat  merugikan  masyarakat  di  sekitarnya,  bahwa  warga  masyarakat  tersebut  telah  melanggar  hukum,  karena  kewajiban  warga  negara  tersebut  telah  diatur  dalam  aturan-aturan hukum yang berlaku.
 Seorang  hakim  harus  mempunyai  pengetahuan  yang  luas  dan  pandai  membaca  indikasi-indikasi,  petunjuk  dan  situasi,  dari  perkara  yang  dajukan  kepadanya,  baik  yang  berwujud  perkataan  maupun  perbuatan,  sebagaimana  kapabilitasnya  mengenai  hukum.  Apabila  tidak  demikian  maka  dapat  dipastikan  kapaitas hukum yang dijatuhkannya akan merugikan pihak-pihak yang semestinya  memperoleh hak.

  Seseorang dapat dikatakan melanggar hukum, jika dirinya dengan sengaja  ataupun  tidak  sengaja  melanggar  aturan  hukum  yang  sudah  berlaku,  kemudian  akan mendapatkan pemeriksaan di pengadilan, dan untuk membuktikan benar atau  tidaknya  terdakwa  melakukan  perbuatan  yang  didakwakan,  oleh  karena  diperlukan adanya suatu pembuktian.
 Pembuktian  menurut  Kamus  Hukum  berasal  dari  kata  “bukti”  yang  mempunyai arti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan   Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,  h.2   nyata; saksi; tanda.
  Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal  dari kata “bukti” yang artinya sesuatu yang menguatkan kebenaran dan kenyataan  yang  sebenarnya,  keterangan  nyata,  tanda,  saksi  pengamatan.
  Kata  “bukti”  jika  mendapat  awalan  pe-  dan  akhiran  –an  maka  mengandung  arti  proses  perbuatan.
 Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang  tidak  cukup  membuktikan  kesalahan  yang  didakwakan  kepada  terdakwa,  maka  terdakwa dibebaskan dari hukuman, sebaliknya kalau terdakwa dapat dibuktikan  dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam pasal 184 KUHAP, maka terdakwa  dinyatakan bersalah dan akan dijatuhkan pidana. Hakim harus cermat dan berhati hati dalam mempertimbangkan suatu nilai pembuktian.
  Pembuktian  dalam  arti  luas  adalah  kemampuan  tergugat  atau  penggugat  memanfaatkan  hukum  pembuktian  untuk  mendukung  dan  membenarkan  hubungan  hukum  dan  peristiwa-peristiwa  yang  dibantahkan  dalam  hukum  yang  diperkarakan,  sedangkan  dalam  arti  sempit  mengandung  pengertian  pembuktian  hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih  disengketakan  atau  hanya  sepanjang  yang  menjadi  perselisihan  diantara  pihak pihak yang berperkara.
  Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau  setidak-tidaknya  mendekati  kebenaran  materil,  ialah  kebenaran  yang  selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara  pidana  secara  jujur  dan  tepat  dengan  tujuan  mencari  siapakah  pelaku  yang  didakwakan melakukan suatu pelanggaran, dan selanjutnya meminta pemeriksaan   Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, h.
  Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 1997, h.
  M.  Yahya  Harahap,  Pembahasan  Permasalahan  Dan  Penerapan  Kuhap:  Pemeriksaan  Sidang  Pengadilan  Banding,  Kasasi,  Dan  Peninjauan  Kembali,  Edisi  Ke-2,  Jakarta:  Sinar  Grafika,  2000, H.
  Ibid, h. 273   dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak  pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
  Dalam hukum acara pidana ada 3 fungsi hukum acara pidana, yaitu:  a.  Mencari dan menemukan kebenaran; b.  Pemberian keputusan oleh hakim; c.  Pelaksanaan keputusan.
 Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting peranannya ialah “mencari  kebenaran”,  karena  setelah  menemukan  kebenaran  yang  diperoleh  melalui  alat  bukti  dan  bahan  bukti  itulah,  hakim  akan  sampai  kepada  putusan,  hakim  akan  sampai  kepada  putusan  (yang  seharusnya  adil  dan  tepat),  yang  kemudian  dilaksanakan oleh jaksa.
  Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP dan diakui oleh  Undang-Undang adalah:  a.  Keterangan saksi; b.  Keterangan ahli; c.  Surat; d.  Petunjuk; e.  Keterangan terdakwa  Jika  dibandingkan  dalam  HIR,  maka  ada  penambahan  alat  bukti,  yaitu  keterangan  ahli.  Selain  itu  ada  perubahan  nama  alat  bukti  yaitu  “ pengakuan  terdakwa”  menjadi “keterangan  terdakwa”,  karena  keterangan  terdakwa  sifatnya   Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, Jakarta: Sinar grafika offset, 2008,  h.
  Ibid.h. 8-  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan, Surabaya: Karya Anda, h.82    hanya mengikat pada diri terdakwa sendiri dan bukan merupakan alat bukti yang  memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan.
 Dalam  hukum  Islam  mengenai  prinsip-prinsip  pembuktian  tidak  banyak  berbeda dengan perundang-undangan berlaku dizaman modern sekarang ini dari  berbagai  macam  pendapat  tentang  arti  pembuktian,  maka  dalam  pengertian  ini  pembuktian  adalah  suatu  proses  mempergunakann  atau  mengajukan  atau  mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara  yang berlaku, sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil -dalil  yang menjadi dasargugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyanggah  tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
  Apabila  dikomparasikan  dengan  hukum  acara  pidana,  petunjuk  dalam  hukum  Islam  maka  maknanya  lebih  luas,  karena  dalam  hukum  Islam  batasan  dalam  mengaplikasikan  bahwa  petunjuk  harus  jelas  dan  mampu  meyakinkan  hakim. Sementara itu dalam hukum acara pidana alat bukti petunjuk hanya dapat  diaplikasikan  bila  didapat  dari  keterangan  saksi,  surat  dan  ket erangan  terdakwa  sehingga alat bukti ini terkesan sebagai alat pembuktian yang tidak langsung.
  Dalam  pembuktiannya  seseorang  harus  mampu  mengajukan  bukti-bukti  yang  otentik.  Keharusan  pembuktian  ini  didasarkan  dalam  firman  Allah  SWT,  Q.S Al-Maidah: 106, yang berbunyi:   Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2004, h. 123   Ibid, h. Artinya:  “Hai  orang-orang  yang  beriman,  apabila  salah  seorang  kamu  menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah  (wasiat  itu)  disaksikan  oleh  dua  orang  yang  adil  di  antara  kamu,  atau  dua  orang  yang  berlainan  agama  dengan  kamu...(Q.S  Al Maidah: 106) Ayat  diatas  mengandung  makna  bahwa  bilamana  seseorang  sedang  berperkara  atau  sedang  mendapatkan  permasalahan,  maka  para  pihak  harus  mampu  membuktikan  hak-haknya  dengan  mengajukan  saksi-saksi  yang  dipandang adil.
  Menurut pasal 188 ayat (1) KUHAP, dirumuskan: “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena perses uaiannya,  baik  antara  yang  satu  dengan  yang  lain,  maupun  dengan  tindak  pidana  itu  sendiri,  menandakan  bahwa  telah  terjadi  suatu  tindak  pidana  dan  siapa  pelakunya”.
  Dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya diperoleh dari; 1.  Keterangan saksi; 2.  Surat; 3.  Keterangan terdakwa.

  Hakim harus menggunakan alat bukti petunjuk secara arif dan bijaksana,  karena selain mengadakan kecermatan, hakim pun harus jeli  tentang persesuaian  suatu petunjuk “nyata” dan “utuh” tentang terjadinya tindak pidana. Hakim harus  mempertimbangkan  putusannya,  yang  hanya  menyimpulkan  keterbuktian   Anshoruddin, Loc.cit, h.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi