BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kehidupan sehari-hari
di masyarakat, ada
warga negara yang
lalai atau dengan
sengaja tidak melaksanakan
kewajibannya, sehingga hal
ini dapat merugikan
masyarakat di sekitarnya,
bahwa warga masyarakat
tersebut telah melanggar
hukum, karena kewajiban
warga negara tersebut
telah diatur dalam aturan-aturan
hukum yang berlaku.
Seorang
hakim harus mempunyai
pengetahuan yang luas
dan pandai membaca
indikasi-indikasi, petunjuk dan
situasi, dari perkara
yang dajukan kepadanya,
baik yang berwujud
perkataan maupun perbuatan,
sebagaimana kapabilitasnya mengenai
hukum. Apabila tidak
demikian maka dapat
dipastikan kapaitas hukum yang
dijatuhkannya akan merugikan pihak-pihak yang semestinya memperoleh hak.
Seseorang
dapat dikatakan melanggar hukum, jika dirinya dengan sengaja ataupun
tidak sengaja melanggar
aturan hukum yang
sudah berlaku, kemudian akan mendapatkan pemeriksaan di pengadilan,
dan untuk membuktikan benar atau tidaknya terdakwa
melakukan perbuatan yang
didakwakan, oleh karena diperlukan adanya suatu pembuktian.
Pembuktian
menurut Kamus Hukum
berasal dari kata
“bukti” yang mempunyai arti sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa; keterangan Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006, h.2 nyata; saksi; tanda.
Pembuktian
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “bukti” yang artinya sesuatu yang
menguatkan kebenaran dan kenyataan yang sebenarnya,
keterangan nyata, tanda,
saksi pengamatan.
Kata “bukti”
jika mendapat awalan
pe- dan akhiran
–an maka mengandung
arti proses perbuatan.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup
membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa,
maka terdakwa dibebaskan dari
hukuman, sebaliknya kalau terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam
pasal 184 KUHAP, maka terdakwa dinyatakan
bersalah dan akan dijatuhkan pidana. Hakim harus cermat dan berhati hati dalam
mempertimbangkan suatu nilai pembuktian.
Pembuktian dalam
arti luas adalah
kemampuan tergugat atau
penggugat memanfaatkan hukum
pembuktian untuk mendukung
dan membenarkan hubungan
hukum dan peristiwa-peristiwa yang
dibantahkan dalam hukum
yang diperkarakan, sedangkan
dalam arti sempit
mengandung pengertian pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal
yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau
hanya sepanjang yang
menjadi perselisihan diantara
pihak pihak yang berperkara.
Tujuan
hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materil, ialah
kebenaran yang selengkap lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan
tepat dengan tujuan
mencari siapakah pelaku
yang didakwakan melakukan suatu
pelanggaran, dan selanjutnya meminta pemeriksaan Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1992, h.
Sulchan
Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 1997, h.
M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan
Dan Penerapan Kuhap:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Banding, Kasasi, Dan
Peninjauan Kembali, Edisi
Ke-2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2000, H.
Ibid,
h. 273 dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan.
Dalam
hukum acara pidana ada 3 fungsi hukum acara pidana, yaitu: a.
Mencari dan menemukan kebenaran; b.
Pemberian keputusan oleh hakim; c.
Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting
peranannya ialah “mencari kebenaran”, karena
setelah menemukan kebenaran
yang diperoleh melalui
alat bukti dan
bahan bukti itulah,
hakim akan sampai
kepada putusan, hakim
akan sampai kepada
putusan (yang seharusnya
adil dan tepat),
yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.
Alat
bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP dan diakui oleh Undang-Undang adalah: a.
Keterangan saksi; b. Keterangan
ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e.
Keterangan terdakwa Jika dibandingkan
dalam HIR, maka
ada penambahan alat
bukti, yaitu keterangan
ahli. Selain itu
ada perubahan nama
alat bukti yaitu
“ pengakuan terdakwa” menjadi “keterangan terdakwa”,
karena keterangan terdakwa
sifatnya Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, Jakarta: Sinar grafika offset, 2008, h.
Ibid.h.
8- Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Dengan Penjelasan, Surabaya: Karya Anda, h.82 hanya
mengikat pada diri terdakwa sendiri dan bukan merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan
menentukan.
Dalam
hukum Islam mengenai
prinsip-prinsip pembuktian tidak
banyak berbeda dengan
perundang-undangan berlaku dizaman modern sekarang ini dari berbagai
macam pendapat tentang
arti pembuktian, maka
dalam pengertian ini pembuktian adalah
suatu proses mempergunakann atau
mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di muka
persidangan sesuai dengan hukum acara yang
berlaku, sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil -dalil yang menjadi dasargugatan atau dalil-dalil
yang dipergunakan untuk menyanggah tentang
kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
Apabila dikomparasikan dengan
hukum acara pidana,
petunjuk dalam hukum
Islam maka maknanya
lebih luas, karena
dalam hukum Islam
batasan dalam mengaplikasikan bahwa
petunjuk harus jelas
dan mampu meyakinkan hakim. Sementara itu dalam hukum acara pidana
alat bukti petunjuk hanya dapat diaplikasikan bila
didapat dari keterangan
saksi, surat dan
ket erangan terdakwa sehingga alat bukti ini terkesan sebagai alat
pembuktian yang tidak langsung.
Dalam pembuktiannya
seseorang harus mampu
mengajukan bukti-bukti yang
otentik. Keharusan pembuktian
ini didasarkan dalam
firman Allah SWT, Q.S
Al-Maidah: 106, yang berbunyi: Anshoruddin,
Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 123 Ibid, h. Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman,
apabila salah seorang
kamu menghadapi kematian, sedang
Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua
orang yang adil
di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan
agama dengan kamu...(Q.S
Al Maidah: 106) Ayat diatas mengandung
makna bahwa bilamana
seseorang sedang berperkara
atau sedang mendapatkan
permasalahan, maka para
pihak harus mampu
membuktikan hak-haknya dengan
mengajukan saksi-saksi yang dipandang
adil.
Menurut
pasal 188 ayat (1) KUHAP, dirumuskan: “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan, yang karena perses uaiannya, baik antara
yang satu dengan
yang lain, maupun
dengan tindak pidana
itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya”.
Dalam
pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya diperoleh dari; 1. Keterangan saksi; 2. Surat; 3.
Keterangan terdakwa.
Hakim
harus menggunakan alat bukti petunjuk secara arif dan bijaksana, karena selain mengadakan kecermatan, hakim pun
harus jeli tentang persesuaian suatu petunjuk “nyata” dan “utuh” tentang
terjadinya tindak pidana. Hakim harus mempertimbangkan putusannya,
yang hanya menyimpulkan
keterbuktian Anshoruddin,
Loc.cit, h.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi