BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha
Esa memiliki hak
asasi sejak dilahirkan, sehingga
tidak ada manusia
atau pihak lain
yang boleh merampas hak tersebut.
Sebagaimana diatur dalam pasal 53 Undang-Undang
Nomor 39
Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia
dan untuk kepentingan Hak Anak diakui dan dilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Hak dasar anak adalah untuk
memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Masyarakat dan
Negara. Memperoleh pendidikan,
terjamin kesehatan dan
kesejahteraan merupakan sebagian dari hak-hak anak. Jaminan perlindungan
hak anak
tersebut sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan
tujuan negara sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945.
Sehingga
perlu dilakukan berbagai upaya
untuk memberikan pembinaan
dan perlindungan terhadap anak,
baik menyangkut kelembagaan
maupun perangkat hukum yang lebih memadai.
Dalam berbagai
upaya pembinaan dan
perlindungan tersebut sering dihadapkan pada
permasalahan dan tantangan
dalam masyarakat yang kadang-kadang dijumpai penyimpangan
perilaku dikalangan anak itu sendiri.
Bahkan lebih dari
itu, terdapat anak
yang melakukan perbuatan
melanggar hukum, tanpa mengenal
status sosial dan
ekonomi. Dan disamping
itu terdapat pula anak,
yang karena satu
dan lain hal
tidak mempunyai Irsan Koesparmono, Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: UPN, 2006, hlm. 2.
Irsan Koesparmono, ibid, hlm. 20.
kesempatan
memperoleh perhatian baik
secara fisik maupun
tidak sengaja sering juga anak
melakukan tindak pidana.
Menurut survey
yang dilakukan oleh
UNICEF Indonesia, lebih
dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas
kejahatan ringan seperti pencurian.
Pada umumnya mereka
tidak mendapatkan dukungan dari
pengacara maupun dinas
sosial. Maka tidak
mengherankan, kebanyakan dari mereka ini akhirnya dijebloskan ke
penjara. Dan yang begitu memprihatinkan,
mereka ini seringkali
disatukan dengan orang
dewasa karena kurangnya alternatif terhadap hukuman penjara.
Mereka ditempatkan dalam posisi yang penuh
bahaya, terjerumus ke dalam penyiksaan dan kekerasan oleh narapidana dewasa dan
aparat penegak hukum. Hukum itu sendiri tidak banyak membantu terhadap
perkembangan jiwa anak dan
telah menyimpang dari
eksistensinya sendiri terkait dibentuknya hukum
itu, karena hukum
itu tidak melindungi
hak anak sepenuhnya.
Meskipun
Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan UndangUndang
Pengadilan Anak pada tahun 1997 (UU No. 3 Tahun 1997), undangundang ini belum
ditindaklanjuti dalam proses penerapannya.
Berbicara mengenai anak menjadi
sesuatu yang penting karena anak
merupakan potensi nasib
manusia hari mendatang, merekalah yang ikut berperan
menentukan sejarah bangsa
sekaligus cermin sikap
hidup bangsa pada masa
mendatang. Perhatian terhadap
anak sudah dimulai
pada akhir Jurnal Penelitian oleh Purnianti, Mamik Sri
Supatmi serta Ni Made Martini Tinduk dari Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia yang didukung
oleh UNICEF tentang “Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana
Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia”, hlm. 1.
Ibid.
abad
ke-19, dimana anak
dijadikan sebagai objek
yang dipelajari secara ilmiah. Hal
ini dapat dilihat
dari mulai berkembangnya
beberapa penelitian tentang
kehidupan dan psikologi anak.
Dalam
konteks perlindungan hak
asasi manusia, anak-anak dikategorikan sebagai kelompok yang
rentan (vulnerable groups), disamping kelompok
rentan lainnya seperti:
pengungsi (refugees), pengungsi
dalam negeri (internally displaced
persons), kelompok minoritas
(national minorities),
pekerja migrant (migrant
workers), penduduk asli
pedalaman (indigenous peoples) dan perempuan (women).
Di
dalam perspektif kerangka Konvensi Hak Anak
(KHA), terdapat sekelompok anak
yang disebut dengan
anak-anak dalam situasi
khusus (children in need
of special protection/CNSP). Mengacu
pada Komite Hak Anak
PBB, terdapat kelompok anak
yang termasuk kategori tersebut yaitu anak yang
berhadapan dengan hukum.
Sedangkan anak-anak yang diidentifikasi masuk
dalam kelompok dengan
kondisi yang tidak menguntungkan ini diantaranya adalah
anak-anak dalam penjara.
Seperti halnya dalam negara hukum Indonesia
ataupun negara-negara lainnya. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana juga
akan dikenakan sanksi. Hal semacam ini
tidak bisa dilepaskan karena pemidanaan (sanksi atau hukuman) merupakan unsur
dari hukum pidana
itu sendiri. Namun,
Dr. Wagiati Soetodjo,
SH., M.S., Hukum Pidana
Anak, Bandung: PT.
Refika Aditama, 2006, hlm. 6.
Willem
Van Genugten J.D
dalam Iskandar Hosein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak,
Suku Terasing, dll) dalam perspektif HAM, Makalah dalam Seminar
Pembangunan Hukum VIII, http://www.hukumonline.com, diakses
pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 21.25 WIB.
Willem Van Genugten J.D., ibid.
apabila
berbicara mengenai pemidanaan
anak sering menimbulkan perdebatan yang panjang, karena masalah ini mempunyai
konsekuensi yang sangat luas, baik
menyangkut diri anak
itu sendiri (pelaku)
maupun masyarakat.
Menurut hukum positif (KUHP),
tindak pidana yang dilakukan anak sama dengan yang dilakukan oleh orang dewasa.
Karena itu, penyidikannya mengikuti penyidikan orang dewasa sebagaimana yang
diatur jika tersangka khawatir
melarikan diri dan
menghilangkan barang bukti.
Jika kriteria tersebut dipenuhi,
maka tindakan penahanan
dianggap sah.
Hal
ini jelas sekali menjadi
persoalan tersendiri, mengingat
anak memiliki kekhususan dalam proses peradilan dan
pemberian sanksi hukumnya. Dalam penjatuhan pidana terhadap anak ini harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, baik mulai
dari penangkapan, pemeriksaan,
penahanan dan penghukuman bagi
seorang anak.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi