Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS TERHADAP DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA


 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam  suatu proses perdata,  salah  satu  tugas  hakim  adalah  untuk menyelidiki  apakah  suatu  hubungan  hukum  yang  menjadi  dasar  gugatan  benarbenar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat  menginginkan  kemenangan  dalam  suatu  perkara.  Apabila  penggugat berhasil  untuk  membuktikan  dalil-dalilnya  yang  menjadi  dasar  gugatanya,  maka gugatanya akan dikabulkan.
Tidak  semua  dalil  yang  menjadi  dasar  gugatan  harus  dibuktikan kebenaranya,  sebab  dalil-dalil  yang  tidak  disangkal,  apalagi  diakui sepenuhnya olek pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara  itu  yang  akan  menentukan  siapa  diantara  pihak-pihak  yang  berperkara akan  diwajibkan  unyuk  memberikan  bukti,  apakah  itu  pihak  penggugat  atau sebaliknya,  yaitu  pihak  tergugat. Dengan  perkara  lain  hakim  sendiri  yang menentukan pihak  yang  mana  akan  memikul  beban  pembuktian. Dimana  soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak  boleh  berat  sebelah  semua  peristiwa  dan  keadaan  yang  konkrit  harus diperhatikan secara seksama olehnya.

Selain untuk hal yang diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal, masih terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal yang telah diketahui oleh khalayak ramai, hal  yang disebut terakhir ini dalam hukum acara  perdata disebut fakta notoir. Adalah sudah diketahui oleh khalayak ramai, sudah merupakan pengetahuan umum, merupakan fakta notoir bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di kota, terutama di Jakarta,  lebih  mahal  daripada  harga  tanah  di  desa.  Fakta notoir merupakan  hal atau keadaan yang sudah diketahui pula sendiri oleh hakim.
 Membuktikan  suatu  peristiwa,  mengenai  adanya  suatu  hubungan  hukum, adalah  suatu  cara  untuk  meyakinkan  hakim  akan  kebenaran  dalil-dalil  yang menjadi  dasar  gugat,  atau  dalil-dalil  yang  digunakan  untuk  menyangkal  tentang kebenaran  dalil-dalil  yang  di  kemukakan  oleh  pihak  lawan.
 Berbeda  dengan azas  yang  terdapat  dalam  hukum  acara  pidana,  dimana  seorang  tidak  bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buktibukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum  acara perdata  untuk  memenangkan  seseorang,  tidak  perlu  adanya keyakinan  hakim. Alat-alat  bukti  yang  sah,  dan  berdasarkan  alat-alat  bukti tersebut  hakim  akan  mengambil  keputusan  siapa  yang  menang  dan  siapa  yang kalah.  Dengan  perkataan  lain,  dalam  hukum  acara  perdata,  cukup  dengan kebenaran formil saja.
Pasal  163  HIR/Pasal  283  R.Bg  dan  Pasal  1865  BW,  menyatakan bahwa barang siapa yang:  Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, ed. Revisi 10, Bandung: Mandar Maju, 2005, hlm.
 Ibid, hlm.
 Mukti  Arto, Praktek  Perkara  Perdata  Pada  Pengadilan  Agama, ed.  Revisi  6, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 hlm.
 Ibid, hlm   - Mengaku mempunyai suatu hak, atau - Mengemukakan suatu peristiwa ( keadaan ) untuk menguatkan haknya - Membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
Hakimlah  yang menetapkan kapada siapa dibebankan pembuktian. Pihak yang dibebankan wajib bukti mengandung resiko bahwa jika tidak berhasil maka ia  akan  dikalahkan.  Baik  penggugat  maupun  tergugat  dapat dibebankan pembuktian. Pembuktian  harus  berisi  adanya  peristiwa  atau  hak  yang  menjadi sengketa  dan  relevan  dengan  pokok  perkara,  sehingga  dikemukakan  adanya hubungan  hukum  antara  dua  pihak.
 Macam-macam Alat bukti  dalam  perkara perdata  ialah:  Alat  bukti  dalam  praktek  perkara  perdata  menurut  pasal   HIR/Pasal 284 R.Bg 1. Alat bukti surat 2. Alat bukti saksi 3. Alat bukti persangkaan 4. Alat bukti pengakuan 5. Alat bukti sumpah 6. Pemeriksaan ditempat (Pasal 153 HIR/Pasal 180 R.Bg) 7. Saksi Ahli (Pasal 154 HIR/ Pasal 181 R.Bg) 8. Pembukuan (Pasal 167 HIR/ Pasal 296 R.Bg) 9. Pengetahuan Hakim (Pasal 178 (1) HIR,UU-MA No.14/1985)  Mukti Arto, op.cit, hlm   Ibid, hlm.
 Terhadap dokumen elektronik kiranya dapat dilakukan analogi mengingat kelemahan  KUHPerdata  tersebut,  dalam  menjalankan  tugasnya  penyidik  harus dengan  cerdik  menggunakan  definisi  dokumen  elektronik  yang  dapat  diterima sebagai alat bukti. Pada dasarnya dalam praktik peradilan, hakim sudah menerima dokumen elektronik sebagai alat bukti, meskipun hal ini mungkin dilakukan tanpa sadar. Dalam kasus-kasus pidana yang berhubungan dengan perbankan umumnya rekening  Koran  atau  dokumen  apapun  yang  berisikan  data  nasabah  berikut laporan keuangannya dihadirkan sebagai alat bukti surat.
Padahal yang dimaksud dengan rekening koran sebenarnya adalah cetakan (print out) laporan keuangan nasabah yang dalam bentuk aslinya berupa dokumen elektronik (file komputer).
 Prosedur sistem perbankan modern saat ini seluruhnya menggunakan komputer sebagai petugas yang secara otomatis mendebit rekening nasabah  (misalnya  pengambilan  lewat ATM atau  pengambilan  melalui  cek  dan giro),  atau  secara  otomatis  menambahkan  bunga  atas  dana  nasabah.  Seluruh proses  ini  dicatat  oleh  komputer  dan  disimpan  dalam  bentuk  file.  Dengan demikian  seluruh  proses  pembuktian  kasus-kasus  perbankan  dalam  kaitannya dengan dana nasabah sangatlah mustahil didasarkan pada dokumen yang aslinya berbentuk  kertas. Kalaupun  ada  dokumen  berbentuk  kertas  maka  itu  hanyalah cetakan  file  komputer  pada  bank  yang  bersangkutan.  Dengan  diterimanya rekening koran tersebut sebagai alat bukti surat maka hal ini dapat menjadi dasar bagi penyidik untuk menggunakan cetakan file komputer sebagai alat bukti surat.
Doktrin tentang hal ini juga diberikan oleh Subekti. Menurut Subekti pembuktian  Supratomo Heru, Hukum dan Komputer. Bandung: Alumni,1996.hlm   adalah upaya meyakinkan hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam perkara, dalam hal ini antara bukti-bukti dengan tindak pidana yang didakwakan.
 Dalam  mengkonstruksikan  hubungan  hukum  ini,  masing-masing  pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan meyakinkan hakim akan  kebenaran  dalil-dalil  yang  dikemukakan.  Untuk  itu  hakim  patut  menerima dalil-dalil  para  pihak  (jaksa  ataupun  terdakwa)  tanpa  harus  dikungkung  oleh batasan  alat-alat  bukti  sepanjang  dalil  tersebut  memenuhi  prinsip-prinsip logika.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi