BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Allah mewajibkan
beberapa ibadah menyangkut
harta, supaya terpenuhi
hajat orang dan
tertolaklah kemelaratan dari
para fakir.
Salah satu
cara mendekatkan diri
kepada Allah SWT
dalam rangka mempersempit
kesenjangan sosial serta
menumbuhkan rasa kesetiakawanan
dan kepedulian sosial
adalah saling memberi,
karena manusia selain sebagai
individu juga sebagai makhluk sosial.
Dalam Islam
banyak cara untuk
melakukan kebaikan atau menyalurkan hartanya
kepada orang lain,
ada beberapa macam
nama pemberian dalam
Islam, diantaranya: wasiat,
hadiah, sedekah, hibah
dan wakaf. Pemberian itu
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
mewujudkan kasih sayang
diantara sesama manusia
dan maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan
memberikan balasan serupa.
Suatu hadiah
dapat menjadikan kecintaan
pada diri penerima
hadiah kepadanya. Selain itu
dijelaskan tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.
Tengku
Muhammad Hasbi Ashiddieqy,
Kuliah Ibadah,Semarang: Pustaka
Rizki Putra,2000, hlm 69 2 Dalam
dasar hukum pemberian dalam ayat-ayat Al-Qur’an banyak yang
menganjurkan penganutnya untuk
berbuat baik dengan
cara tolong menolong
dan salah satu
bentuk tolong menolong
adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul
membutuhkannya, firman Allah SWT: ¢ (
#θç Ρu ρ$y ès ?u ρ ’n ?t ã Îh É 9ø 9$ # 3 “u θø )− G9$ #u ρ ( Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa”
(Al-Maidah : 2) Penafsiran dasar
hukum pemberian yaitu
Al-Qur’an (Q.S Al- Baqarah
: 262 Artinya :
Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan
Allah, Kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan
dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih
hati. (Q.S Al-
Baqarah : ) Islam mengizinkan
seseorang memberikan sebagai
hadiah semua harta
miliknya ketika masih
hidup, tetapi perlu
diingat juga dalam Yayasan
Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah,Jakarta,
1971, hlm.
Ibid, hlm. 70 3 pemberian harus
ada sifat keadilan.
Dalam pemberian hibah
juga demikian. Dimana
hibah adalah pemilikan
sesuatu benda melalui transaksi
(aqad) tanpa mengharap
imbalan yang telah
diketahui dengan jelas
ketika pemberi masih
hidup.
Dalam
rumusan Kompilasi Hukum Islam, hibah
adalah pemberian suatu
benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki (ps. 171
huruf g KHI) Hibah merupakan institusi
yang diakui oleh hukum Islam sebagai pranata
yang menjadi alat perantara kepemilikan. Hibah juga mempunyai arti
penting dalam kehidupan,
dengan kata lain
hibah adalah suatu pemindahan harta
tertentu atas sebagian
orang yang memberi
dan penerimaan atas bagian orang
yang diberi harta.
Sedangkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666 yaitu : “Hibah
adalah suatu perjanjian
dengan mana si
penghibah, di waktu
hidupnya, dengan cuma-cuma
dan dengan tidak
dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda
guna keperluan si penerima
hibah yang menerima penyerahan itu.
Undang-undang tidak
mengakui lain-lain hibah-hibah
diantara orang-orang yang masih
hidup.” Ahmad Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia,Jakarta, PT Raja Grasindo Persada,1995, hlm R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata,Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 1992, hlm. 436 4 Menurut
ketentuan pasal 1682
KUH Perdata tentang
cara menghibah sesuatu yaitu : “Tiada
suatu hibah, kecuali yang
disebutkan dalam pasal
1687, dapat, atas ancaman batal,
dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris
yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”
Adapun rukun hibah ada 3 yang esensial, yaitu terdiri dari: Orang yang menghibahkan (al-wahib), orang yang
menerima hibah (al-mauhublah), dan pemberian
atau perbuatan hibah
atau yang disebut
juga alhibah.
Adapun
menyangkut pelaksanaan hibah
menurut ketentuan syari’at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai
berikut: 1. Pelaksanaan hibah dilakukan semasa hidup,
demikian juga penyerahan barang yang
dihibahkan.
2. Beralihnya
hak atas barang
yang dihibahkan pada
saat penghibahan dilakukan,
dan kalau si
penerima hibah dalam
keadaan tidak cakap bertindak (misalnya
belum dewasa atau
kurang sehat akal),
maka penerima dilakukan oleh
walinya.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada
pernyataan, terutama sekali oleh pemberi
hibah.
4. Penghibahan
hendaknya dilakukan dihadapan
beberapa orang saksi (hukum sunat),
hal ini dimaksudkan
untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.
Ibid,hlm Abdul
Manan, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam
Di Indonesia, Jakarta: Kencana,2006, hlm. 133 Chairuman
Pasaribu, Hukum Perjanjian
Dalam Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004, hlm. 117 5 Terkait
dengan hal tersebut hukum Islam dan hukum positif yang ada
di Indonesia juga
mengatur tentang bagaimana
cara dan langkahlangkah untuk dapat mempermudah
pemindahan hak atas suatu benda atau barang secara
sah agar mendapat
kekuatan hukum. Hal
ini diperlukan karena
apabila suatu saat
terjadi perselisihan dan
permasalahan dengan barang atau hak tersebut, orang-orang yang
bersangkutan bisa menjadikan hal
tersebut sebagai bukti karena sudah adanya pengakuan hukum.
Ini artinya dalam pembuatan akta
hibah sangat diperlukan di dalam hukum Islam
maupun hukum positif.
Adapun mengenai pengertian
dari akta menurut Prof. R.
Soebekti, S.H., adalah suatu tulisan yang memang dengan
sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani.
Setiap
akta hibah harus
dibuat oleh seorang
Notaris. Karena Notaris
dalam pasal 1
huruf 1 Undang-undang
No.3 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris
adalah jabatan umum
yang berwenang untuk
membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi