BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam
Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup manusia diciptakan oleh Allah SWT
berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk ciptaan
Allah SWT, termasuk manusia. Sebagimana firman-Nya ³Dan segala sesuatu kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.´ (Q.S. Ad-Dzariyat :
49) Hal yang senada juga diterangkan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam ayat yang lain, dinyatakan bahwa : Maha
Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa
yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.´ (Q.S. Yaasin : 36) Pada
dasarnya, tujuan dan asas utama dari disyari’atkannya pernikahan ialah menjaga
eksistensi keberadaan manusia di muka bumi (hifdzun nasl), hal ini sebagaimana
tersirat dalam kandungan ayat : Abdul
Ghofur Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana, 2008, hlm. 12.
Departemen
Agama RI, Al-Qur¶an dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2007, hlm.
Allah menjadikan bagi kamu
isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat
Allah?.´(Q.S. An-Nahl : 72) Selanjutnya
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah menjadi tujuan dari setiap
pembentukan rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT : Dan
di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir´.(Q.S. Ar-Ruum : 21) Namun kenyataannya banyak terjadi dalam
kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang suami atau
isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Dengan mempertimbangkan
bahwa perceraian adalah solusi terakhir dalam bahtera rumah tangga mereka.
Perceraian bukanlah suatu hal
yang disukai dalam Agama Islam, bahkan perceraian merupakan hal yang dikecam
oleh Islam kecuali dengan alasan yang dapat dibenarkan.
Rasulullah
Saw. bersabda : "Diriwayatkan dari Katsir bin Ubaid Al-Himsi ia
meriwayatkan dari Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid Al-Washofi,
dari Muharib bin Ditsar dari sahabat Abdillah bin Umar, berkata : Rasulullah
Saw.
bersabda : Perkara halal yang paling dibenci
oleh Allah SWT adalah perceraian.´ (H.R. Imam Ibnu Majaah) Sehingga tidak ada seorang pun yang memahami
Agama Islam dapat dengan mudah menggampangkan perceraian terkecuali dalam situasi
yang darurat dan tidak dapat dihindari lagi yang mana hal itu telah diatur dan disahkan
menurut Islam.
Karena Islam mempertimbangkan pernikahan
adalah sebuah akad/kontrak yang serius (mitsaq ghalizh) dan merupakan tanggung jawab dari kedua belah
pihak (suami isteri) untuk menjalankan akad/kontrak tersebut Konsep hukum talak pada dasarnya sama dengan
hukum yang lain, yakni sesuai dengan motif dan latar belakangnya. Dalam suatu
qo¶idahdisebutkan bahwa ³al-ashlu fil asya¶i alibahatu hatta yadulla ad-dalilu µala tahrimihi´ maksudnya adalah dalam hal
diluar ibadah semuanya boleh dilakukan kecuali sudah ditentukan dalam
nashagama, seperti halnya talak. Talak pada hakikatnya makruh(lihat hadis) tapi
ia bisa jadi haram, wajib ataupun sunnah sesuai dengan motif dipilihnya jalan
talak. Lihat Lebih Lanjut Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 199.
Abi
Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qozwini Ibnu Majaah, Sunan Ibnu Majaah, Juz IV Semarang
: Putra Semarang, tt, hlm. 175.
Imam
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mitsaq ghalizh adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih yang tanggung jawabnya tidak hanya dibebankan di
dunia akan tetapi juga di akhirat kelak, maka oleh karena itu, pemakaian mithaq
ghalizh dipakai hanya untuk perjanjian yang sangat dipegang dan memiliki nilai
tanggung jawab yang tinggi. Lihat penafsiran Abil Fida’ Isma’il Ibnu Katsir
dalam surat An-Nisa’ ayat 154 dan surat Al-Ahzab ayat 7, Tafsir Ibnu
Katsir,Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997, hlm 206.
dengan selalu mengingat Allah SWT dan mencari
ridha-Nya untuk menjalani kontrak tersebut dengan segenap kemampuan mereka.
Dalam
pandangan Fiqih asumsi jatuhnya talak dari suami kepada istri pada dasanya
tidak memerlukan niat, hal ini dikontekskan kepada kejelasan redaksi yang
diucapkan ketika menjatuhkan talak. Jika redaksinya jelas, maka tanpa ragu
Ulama’ Madzhab menghukumi bahwa talaknya sah dan ia (istri) tidak lagi halal
bagi suaminya. Adapun redaksi yang berbentuk sindiran maka, diperlukan adanya
niat dari yang mengucapkan redaksi tersebut, dikarenakan multi interpretasi
makna dalam kata sindiran tersebut. Adapun hal yang mendasar adalah
terpenuhinya syarat sahnya talak.
Talak
sejatinya hal yang bukanlah untuk disepelekan karena memiliki konsekuensi yang
fatal, ini didasarkan kepada hadits dari Nabi Muhammad Saw.
³Diriwayatkan dari Hisyam
bin µAmmar dari Hatim bin Isma¶il dari
Abdur Rohman bin Habib bin Ardak dari Atha¶bin Abi Rabah dari Yusuf bin Mahak dari
sahabat Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda : ³Tiga hal dalam kondisi serius dianggap serius
dan kondisi bercanda juga dianggap Amir
Syarifuddin, op. cit., hlm. 200.
Syarat
sah talak dalam Madzhab Imam Syafi’i adalah : baligh, berakal sehat, atas
kehendak sendiri. Lihat Musthofa Al-Khin, Al-Fiqh Al-Manhaji µAla Madzhabi Imam As-Syafii,Beirut : Daar
As-Syamiyah, 2007, hlm. 101-125.
Hadis
ini banyak diriwayatkan oleh mukhrijul hadis, yakni dalam riwayat Imam
AtTurmudzi, Sunan Imam Abu Daud, Sunan Al-Kubro Imam Baihaqi. Ibid.,hlm. 126.
serius, yakni nikah, talak dan rujuk.´(HR.
Ibnu Majaah Dan Sunan Abu Daud) Dalam
Hukum Positif di Indonesia perceraian merupakan salah satu sebab putusnya
hubungan perkawinan. UU perkawinan menyebutkan ada hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian
tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
Dalam
hukum Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama
maupun Pengadilan Negeri ada istilah cerai talak.
Sedangkan putusan pengadilan sendiri ada yang
disebut sebagai cerai gugat.
Bahkan ada perkawinan yang putus karena li¶an,
khuluk, fasakh dan sebagainya.
Pada penyebab perceraian, pengadilan
memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari
suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan
sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana salah satu pihak melanggar
hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum,
namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai
contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka
talak satu yang Abi Abdillah bin
Muhammad bin Yazid Al-Qozwini Ibnu Majaah, op. cit.,hlm. 208.
Moh
Idris Ramulyo, op. cit., hlm. 20-28.
Li¶anadalah
sumpah yang diucapkan suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat
kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian
pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima
laknatAllah SWT jika ia berdusta dalam tuduhannya. Khulu adalah penyerahan
harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya.
Fasakhadalah pembatalan pernikahan akibat pengaduan istri kepada hakim terhadap
suaminya yang misalnya tidak sanggup memenuhi hak istrinya dan melaksanakan
kewajibannya sebagai suami. Lihat, Muhammad Ja’far Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab,
Jakarta : Lentera Basritama, 2002, hlm. 456, 494, 481.
diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih
dahulu di depan pengadilan.
Sehingga, melalui proses legalisasi di depan
pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak
yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan
sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2002.
Praktek
keagamaan dalam masyarakat tidak bisa lepas dari keyakinan dan ideologi yang
menjadi panutan praktek dalam keseharian mereka.
Sebagaimana
diterangkan di atas bahwa dalam Madzhab Syafi’i bahwa talak adalah hukum yang
tidak bisa dipermainkan secara sepihak, karena sekalipun dalam keadaan gurauan
dalam madzhab ini (Syafi’i) memiliki konsekuensi fatal yang menyebabkan
hubungan seami istri menjadi terputus.
Talak berdasarkan pasal 39 ayat 1 UU No. 1
Tahun “Perceraian hanya dapat
dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Dan
pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Memiliki
kekuatan hukum dan keabsahan jika sudah diputus jatuh talak oleh Pengadilan
Agama yang berwenang. Putusan ini (talak) jatuh
Amir Syarifuddin, op. cit.,hlm. 22.
Abdul
Ghafur Ghazali, op. cit.,hlm. 191.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung : Citra Umbara, 2007, hlm. 16.
Ibid.,
hlm. 268.
ketika proses mediasi kedua belah pihak
mengalami jalan buntu dan Pengadilan Agama memandang bahwa syarat jatuhnya
talak sudah terpenuhi.
Permasalahannya sekarang adalah, di Kecamatan
Mangaran Kabupaten Situbondo, kabupaten yang dikenal dengan pelaksanaan
Muktamar Organisasi Masyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama’ (NU) pada tahun 1984
yang menjadi awal kembalinya NU ke khitahnya, terdapat sebagian Masyarakat
Muslim yang melakukan praktek talak di luar Pengadilan Agama yang berwenang, sebagaimana
diungkapkan oleh KH. Ahmad Djazuli bahwa
ketika suami mengucapkan talak kepada sang istri, maka sah hukum jatuh talak
kepada istrinya.
Pendapat ini diperkuat dengan praktek
masyarakat yang menganggap bahwa putusnya hubungan suami istri bukan karena
putusan hakim di Pengadilan Agama. Dalam prakteknya masyarakat menganggap bahwa
putusan Pengadilan Agama tidak lain hanyalah bersifat administrasi yang memudahkan
mereka (suami istri) dalam mengurus hak asuh anak (hadhanah), nafkah, harta
bersama, dll.
Berdasarkan pemaparan kasus dan informasi di
atas serta berbagai kontroversi yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk
mengangkat dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Terhadap Praktek
Masyarakat Kec.
KH.
Ahmad Djazuli adalah salah satu sesepuh dan tokoh masyarakat yang beralamatkan
di Dusun Sokaan, Desa Tribungan, Kec. Mangaran RT 1 / RW 3 Kab. Situbondo.
Beliau memiliki pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat di Kec. Mangaran
khususnya dan masyarakat Kab.
Situbondo pada umumnya baik dalam bidang
keagamaan, politik maupun dalam bidang pendidikan. Ini dapat dilihat ketika ia
mengisi pengajian bagi masyarakat, serta ketika catur perpolitikan pada saat
Pemilihan Kepala Desa (pilkades), Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) dan bahkan
Pemilihan Umum (pemilu) suara masyarakat Kec. Mangaran identik mengikuti apa
yang disarankan olehnya.
Mangaran Kab. Situbondo Tentang Jatuhnya Talak
Tanpa Putusan Pengadilan Agama.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari latar
belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikemukakan di sini
pokok-pokok permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi