Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS TERHADAP PRAKTEK MASYARAKAT KEC. MANGARAN KAB. SITUBONDO TENTANG JATUHNYA TALAK TANPA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk ciptaan Allah SWT, termasuk manusia. Sebagimana firman-Nya  ³Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.´ (Q.S. Ad-Dzariyat : 49)  Hal yang senada juga diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam ayat yang lain, dinyatakan bahwa : Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.´ (Q.S. Yaasin : 36)  Pada dasarnya, tujuan dan asas utama dari disyari’atkannya pernikahan ialah menjaga eksistensi keberadaan manusia di muka bumi (hifdzun nasl), hal ini sebagaimana tersirat dalam kandungan ayat :  Abdul Ghofur Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana, 2008, hlm. 12.
  Departemen Agama RI, Al-Qur¶an dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2007, hlm.

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.´(Q.S. An-Nahl : 72)  Selanjutnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah menjadi tujuan dari setiap pembentukan rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT : Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
 Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir´.(Q.S. Ar-Ruum : 21)  Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang suami atau isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Dengan mempertimbangkan bahwa perceraian adalah solusi terakhir dalam bahtera rumah tangga mereka.
Perceraian bukanlah suatu hal yang disukai dalam Agama Islam, bahkan perceraian merupakan hal yang dikecam oleh Islam kecuali dengan alasan yang dapat dibenarkan.
  Rasulullah Saw. bersabda : "Diriwayatkan dari Katsir bin Ubaid Al-Himsi ia meriwayatkan dari Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid Al-Washofi, dari Muharib bin Ditsar dari sahabat Abdillah bin Umar, berkata : Rasulullah Saw.
 bersabda : Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah perceraian.´ (H.R. Imam Ibnu Majaah)  Sehingga tidak ada seorang pun yang memahami Agama Islam dapat dengan mudah menggampangkan perceraian terkecuali dalam situasi yang darurat dan tidak dapat dihindari lagi yang mana hal itu telah diatur dan disahkan menurut Islam.
 Karena Islam mempertimbangkan pernikahan adalah sebuah akad/kontrak yang serius (mitsaq ghalizh)  dan merupakan tanggung jawab dari kedua belah pihak (suami isteri) untuk menjalankan akad/kontrak tersebut  Konsep hukum talak pada dasarnya sama dengan hukum yang lain, yakni sesuai dengan motif dan latar belakangnya. Dalam suatu qo¶idahdisebutkan bahwa ³al-ashlu fil asya¶i alibahatu hatta yadulla ad-dalilu  µala tahrimihi´ maksudnya adalah dalam hal diluar ibadah semuanya boleh dilakukan kecuali sudah ditentukan dalam nashagama, seperti halnya talak. Talak pada hakikatnya makruh(lihat hadis) tapi ia bisa jadi haram, wajib ataupun sunnah sesuai dengan motif dipilihnya jalan talak. Lihat Lebih Lanjut Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 199.
  Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qozwini Ibnu Majaah, Sunan Ibnu Majaah, Juz IV Semarang : Putra Semarang, tt, hlm. 175.
  Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mitsaq ghalizh adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih yang tanggung jawabnya tidak hanya dibebankan di dunia akan tetapi juga di akhirat kelak, maka oleh karena itu, pemakaian mithaq ghalizh dipakai hanya untuk perjanjian yang sangat dipegang dan memiliki nilai tanggung jawab yang tinggi. Lihat penafsiran Abil Fida’ Isma’il Ibnu Katsir dalam surat An-Nisa’ ayat 154 dan surat Al-Ahzab ayat 7, Tafsir Ibnu Katsir,Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997, hlm 206.
 dengan selalu mengingat Allah SWT dan mencari ridha-Nya untuk menjalani kontrak tersebut dengan segenap kemampuan mereka.
  Dalam pandangan Fiqih asumsi jatuhnya talak dari suami kepada istri pada dasanya tidak memerlukan niat, hal ini dikontekskan kepada kejelasan redaksi yang diucapkan ketika menjatuhkan talak. Jika redaksinya jelas, maka tanpa ragu Ulama’ Madzhab menghukumi bahwa talaknya sah dan ia (istri) tidak lagi halal bagi suaminya. Adapun redaksi yang berbentuk sindiran maka, diperlukan adanya niat dari yang mengucapkan redaksi tersebut, dikarenakan multi interpretasi makna dalam kata sindiran tersebut. Adapun hal yang mendasar adalah terpenuhinya syarat sahnya talak.
  Talak sejatinya hal yang bukanlah untuk disepelekan karena memiliki konsekuensi yang fatal, ini didasarkan kepada hadits dari Nabi Muhammad Saw.
³Diriwayatkan dari Hisyam bin  µAmmar dari Hatim bin Isma¶il dari Abdur Rohman bin Habib bin Ardak dari Atha¶bin Abi Rabah dari Yusuf bin Mahak dari sahabat Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda :  ³Tiga hal dalam kondisi serius dianggap serius dan kondisi bercanda juga dianggap  Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 200.
  Syarat sah talak dalam Madzhab Imam Syafi’i adalah : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri. Lihat Musthofa Al-Khin, Al-Fiqh Al-Manhaji  µAla Madzhabi Imam As-Syafii,Beirut : Daar As-Syamiyah, 2007, hlm. 101-125.
  Hadis ini banyak diriwayatkan oleh mukhrijul hadis, yakni dalam riwayat Imam AtTurmudzi, Sunan Imam Abu Daud, Sunan Al-Kubro Imam Baihaqi. Ibid.,hlm. 126.
 serius, yakni nikah, talak dan rujuk.´(HR. Ibnu Majaah Dan Sunan Abu Daud)  Dalam Hukum Positif di Indonesia perceraian merupakan salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan. UU perkawinan menyebutkan ada  hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
  Dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri ada istilah cerai talak.
 Sedangkan putusan pengadilan sendiri ada yang disebut sebagai cerai gugat.
 Bahkan ada perkawinan yang putus karena li¶an, khuluk, fasakh  dan sebagainya.
 Pada penyebab perceraian, pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang  Abi Abdillah bin Muhammad bin Yazid Al-Qozwini Ibnu Majaah, op. cit.,hlm. 208.
  Moh Idris Ramulyo, op. cit., hlm. 20-28.
  Li¶anadalah sumpah yang diucapkan suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknatAllah SWT jika ia berdusta dalam tuduhannya. Khulu adalah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya. Fasakhadalah pembatalan pernikahan akibat pengaduan istri kepada hakim terhadap suaminya yang misalnya tidak sanggup memenuhi hak istrinya dan melaksanakan kewajibannya sebagai suami. Lihat, Muhammad Ja’far Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera Basritama, 2002, hlm. 456, 494, 481.
 diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan.
 Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002.
  Praktek keagamaan dalam masyarakat tidak bisa lepas dari keyakinan dan ideologi yang menjadi panutan praktek dalam keseharian mereka.
  Sebagaimana diterangkan di atas bahwa dalam Madzhab Syafi’i bahwa talak adalah hukum yang tidak bisa dipermainkan secara sepihak, karena sekalipun dalam keadaan gurauan dalam madzhab ini (Syafi’i) memiliki konsekuensi fatal yang menyebabkan hubungan seami istri menjadi terputus.
 Talak berdasarkan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 Tahun   “Perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI)  “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Memiliki kekuatan hukum dan keabsahan jika sudah diputus jatuh talak oleh Pengadilan Agama yang berwenang. Putusan ini (talak) jatuh  Amir Syarifuddin, op. cit.,hlm. 22.
  Abdul Ghafur Ghazali, op. cit.,hlm. 191.
  Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Citra Umbara, 2007, hlm. 16.
  Ibid., hlm. 268.
 ketika proses mediasi kedua belah pihak mengalami jalan buntu dan Pengadilan Agama memandang bahwa syarat jatuhnya talak sudah terpenuhi.
 Permasalahannya sekarang adalah, di Kecamatan Mangaran Kabupaten Situbondo, kabupaten yang dikenal dengan pelaksanaan Muktamar Organisasi Masyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama’ (NU) pada tahun 1984 yang menjadi awal kembalinya NU ke khitahnya, terdapat sebagian Masyarakat Muslim yang melakukan praktek talak di luar Pengadilan Agama yang berwenang, sebagaimana diungkapkan oleh KH. Ahmad Djazuli  bahwa ketika suami mengucapkan talak kepada sang istri, maka sah hukum jatuh talak kepada istrinya.
 Pendapat ini diperkuat dengan praktek masyarakat yang menganggap bahwa putusnya hubungan suami istri bukan karena putusan hakim di Pengadilan Agama. Dalam prakteknya masyarakat menganggap bahwa putusan Pengadilan Agama tidak lain hanyalah bersifat administrasi yang memudahkan mereka (suami istri) dalam mengurus hak asuh anak (hadhanah), nafkah, harta bersama, dll.
 Berdasarkan pemaparan kasus dan informasi di atas serta berbagai kontroversi yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengangkat dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Terhadap Praktek Masyarakat Kec.
  KH. Ahmad Djazuli adalah salah satu sesepuh dan tokoh masyarakat yang beralamatkan di Dusun Sokaan, Desa Tribungan, Kec. Mangaran RT 1 / RW 3 Kab. Situbondo. Beliau memiliki pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat di Kec. Mangaran khususnya dan masyarakat Kab.
 Situbondo pada umumnya baik dalam bidang keagamaan, politik maupun dalam bidang pendidikan. Ini dapat dilihat ketika ia mengisi pengajian bagi masyarakat, serta ketika catur perpolitikan pada saat Pemilihan Kepala Desa (pilkades), Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) dan bahkan Pemilihan Umum (pemilu) suara masyarakat Kec. Mangaran identik mengikuti apa yang disarankan olehnya.

 Mangaran Kab. Situbondo Tentang Jatuhnya Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikemukakan di sini pokok-pokok permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi