BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kiblat
yang memiliki arti harfiyah ³arah´. Arti khususnya bagi setiap muslim yaitu
³arah shalat yang tepat´ merupakan
persoalan penting, di mana ia menjadi syarat sahnya shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Dalam Qs. AlBaqarah Ayat 144
disebutkan : ³Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekalikali tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan.´(QS. AlBaqarah : 144)
Dalam Qs. Al-Baqarah ayat 149 dan 150 juga disebutkan bahwa arah kiblat,
yaitu: Jan Van Den Brink Marja Meeder, Mekka, yang disadur oleh Andi Hakim
Nasoetion, FMIPA, IPB Bogor, dengan judul Kiblat Arah Tepat Menuju Mekah,
Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1993, h.6.
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus
Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, h. 1087-1088.
Departemen Agama RI, Al-Qur¶an dan
terjemahannya, Semarang: Toha Putera, t.th, h. 43.
Dan dari mana saja kamu ke luar,
maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram; sesungguhnya ketentuan itu
benarbenar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan. (149) Dan dari mana saja kamu keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram. Dan di mana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujah bagi manusia
atas kamu, kecuali orang-orang yang lalim di antara mereka. Maka janganlah
kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku
atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.(150).
Kiblat sebagai syarat sah dalam menunaikan ibadah shalat menjadi sebuah
persoalan setelah Nabi wafat sampai Islam tersebar di seluruh penjuru dunia.
Hal ini dikarenakan secara geografis, setiap muslim yang berada di luar Mekah
tidak dapat menghadap Ka¶bah secara tepat seperti orang yang berada di Mekah
dan sekitarnya. Dalam hal ini para ulama pun berbeda pendapat, menurut Imam
Syafi¶i dan Syiah Imamiyah ³Wajib
menghadap Ka¶bah, baik bagi orang yang dekat maupun yang jauh´. Bila dapat mengetahui
arah Ka¶bah itu sendiri secara pasti (tepat), maka ia harus menghadap ke arah
tersebut. Apabila tidak, maka cukup dengan perkiraan saja.
Sedangkan menurut Imam Hambali, Maliki, Hanafi
dan sebagian ulama Syiah Imamiyah, arah kiblat adalah arah di mana letak Ka¶bah
berada, tidak Ibid, h. 44-45.
Ibnu Rusyd al-Qurtuby, Bidayatu al-mujtahid wa
Nihayatu al-muqtashid, juz. II, Beirut : Darul Kutubil µIlmiyyah, t.th., h. 115.
Maktabah Syamilah, Imam Syafi¶i, Kitab Al-Umm,
juz 6, h 216. Lihat pula Maktabah Syamilah, Imam Syafi¶i, Kitab ar-Risalah,juz
1, h 121.
harus tepat menghadap Ka¶bah itu sendiri.
Sehingga kiblat itu bisa termasuk Masjidil haram dan bahkan Mekkah.
Dalam beberapa fenomena, persoalan kiblat
menjadi masalah yang tidak sederhana. Seperti adanya paradigma masyarakat
Indonesia yang menganggap bahwa kiblat adalah arah barat.
Ketika orang Indonesia yang bertempat tinggal
di Suriname akan melaksanakan shalat mereka menghadap barat, padahal posisi
Suriname posisi titik koordinatnya saja sudah berada di daerah + 00¶LU dan -
00¶BB yang seharusnya kiblatnya bukan persis ke barat akan tetapi timur
serong ke utara.
Menurut penulis, ini karena sebagian besar
diakibatkan bahwa masyarakat kita kurang tahu dalam menentukan kiblat masjid
atau mushala yang benar atau masih menggunakan cara penentuan yang sederhana.
Beberapa persoalan kiblat lebih
baru dari penghujung tahun sampai
awal-awal tahun 2010 yaitu adanya isu pergeseran arah kiblat yang disebabkan
oleh gempa, sejumlah media memberitakan terjadinya pergeseran arah kiblat pada
hampir 320.000 dari 800.000 mesjid seluruh Indonesia yang diduga akibat
bergesernya lempeng bumi dan musibah gempa bumi bertubitubi yang melanda tanah
air.
Dari adanya pemberitaan itu, masyarakat mulai
resah dan mencari solusi permasalahan kepada Kementerian Agama. Tanggapan
posisif, yaitu Lihat Maktabah Syamilah,
Kitab Mabsuth, juz 2, h 488-489. Lihat pula Kitab Syahrul Kabir, t.th: Maktabah
Syamilah, juz I, h 222.
Bisa dilihat pada artikel penulis ³Kiblat Indonesia sama dengan Barat?´ di
Radar Semarang pada hari Rabu, 24 Maret 2010.
Lihat Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori
dan Praktek, Yogyakarta : Buana Pustaka, h. 48.
Lihat di Tabloid Republika, Laporan Utama pada
hari Jum¶at, 29 Januari 2010.
pihak Kementerian Agama memberikan solusi
ketika ada salah satu takmir mesjid yang meminta untuk diukur kiblatnya. Jamaah
mesjid pun mengikuti arah kiblat yang telah diukur oleh Kementerian Agama. Tak
lama setelah pemberitaan gempa dan pergeseran kiblat, komisi fatwa MUI
mengeluarkan fatwa tentang kiblat Indonesia adalah barat. Takmir mesjid itu
kembali lagi kepada Kementerian Agama, bertanya yang mana yang harus diikuti.
Sehingga terdapat hal lucu,
shalat diadakan dengan 2 gelombang, gelombang pertama mengikuti kiblat bangunan
mesjid dan gelombang dua mengikuti kiblat yang telah diukur.
Kemudian mengenai diktum fatwa MUI no. 3 tahun
2010 yang menyatakan bahwa kiblat Indonesia adalah menghadap barat. Ada tiga ketentuan
hukum dalam fatwa tersebut.
Pertama kiblat bagi orang yang shalat dan
dapat melihat Ka¶bah adalah menghadap ke bangunan Ka¶bah (ainul Ka¶bah). Kedua,
kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka¶bah adalah arah Ka¶bah
(jihat al Ka¶bah). Ketiga, letak geografis Indonesia yang berada di bagian
timur Ka¶bah, maka kiblat umat Islam di Indonesia adalah menghadap ke arah
barat. Ini dilatarbelakangi karena adanya persoalan kiblat sebagian besar
wilayah Indonesia disebabkan oleh adanya gempa. Ditambah lagi dengan adanya
buku yang ditulis Prof Dr. KH Ali Mustofa Ya¶kub, MA tentang kiblat, bahwasanya
kaum muslimin di Indonesia termasuk orang-orang yang berada di sebelah timur
Ka¶bah, maka Dalam sesi perkuliahan
dengan dosen terbang mata kuliah Gerhana Bulan dan Matahari, Muhyidin Khazin
selaku Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat di IAIN Walisongo Semarang
pada tanggal 08 Juni 2010 M.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi