BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang
menganut sistem demokrasi, dimana
kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “Demos”
(rakyat) dan “kratos” (kekuasaan), yang berarti pemerintahan dari rakyat.
Secara historis, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke 5 SM,
yang pada awalnya sebagai respon terhadap
pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani kuno. Pada waktu itu demokrasi
dipraktikkan sebagai sistem dimana seluruh
warga negara lembaga legistatif.
Dalam
khazanah ke-Islam-an istilah demokrasi dikenal dengan konsep ”as-Syura”dalam arti musyawarah. Mayoritas
ulama syariat dan pakar undungundang konstitusional meletakkan
”as-Syura”sebagai kewajiban ke-Islam-an dan
prinsip konstitusional yang pokok diatas prinsip-prinsip umum dan dasardasar
baku yang telah ditetapkan oleh nash-nashal-Qur’an dan hadis-hadis nabawi. Oleh karena itu, musyawarah ini lazim
dan tidak ada alasan bagi seseorang
untuk meninggalkan.
Masykuri
Abdillah, Demokrasi Dipersimpangan Makna, Respon Keintelektualan Muslim Indonesia Terhadap konsep Demokrasi
(1966-1993), h. 71 Farid Abdul Khaliq,
Fikih Politik Islam, h. 35 1 Jika musyawarah maksudnya adalah prinsip
partisipasi politik dalam pemikiran
politik Barat, maka prinsip amar ma’ruf
nahih munkaryang merupakan tujuan dari
semua kewenangan dalam Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah; ”semua
kewenangan dalam Islam tujuannya hanyalah
amar ma’ruf nahi munkar”.
Pada
hakikatnya-tersimbol dalam tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasan-berarti mewujudnya
partisipasi politik rakyat dalam segala
perkara-perkara umum dan juga dalam hukum, berawal dari kewajiban memberikan nasihat (yang tulus).
Di kalangan ilmuwan politik sampai saat ini
sebenarnya belum ada keseragaman
pemahaman tentang makna demokrasi itu sendiri. Namun, kita bisa melihat kriteria demokrasi yang diajukan
Robert Dahl yang banyak disepakati oleh
kalangan ilmuan politik. Menurutnya, setidaknya ada delapan kriteria demokrasi, yaitu : (1) adanya hak untuk
memilih, (2) hak untuk dipilih, (3) hak para
pemimpin politik untuk bersaing memperebutkan dukungan dan suara, (4) adanya Pemilihan Umum yang bebas dan
transparan, (5) Kebebasan berorganisasi,
(6) kebebasan berekspresi, (7) terdapatnya sumber-sumber informasi alternatif, dan (8) adanya
institusi-institusi pembuatan kebijakankebijakan publik yang bergantung pada
suara dan ekspresi-ekspresi pilihannya.
Dari
kriteria tersebut, Pemilihan Umum merupakan bagian dari pemenuhan hak Ibid. h. 39 Kacung Marijan, Demokratisasi di Daerah,h. 33
memilih dan dipilih sebagai wujud
pemenuhan kedaulatan rakyat. Pemilu merupakan
wujud dari pelaksanaan sistem pemerintahan yang demokratis.
Sistem pemilu merupakan seperangkat metode
atau aturan untuk menampung suara dan
aspirasi pemilih ke dalam suatu lembaga pemerintahan.
Dalam demokrasi pemeritahan, sistem pemilu
menjadi elemen penting yang turut membentuk
struktur sistem. Perubahan sebuah sistem pemilu kepada sistem pemilu yang lain akan berpengaruh pula pada
struktur sistem politik yang akan merubah
tatanan demokrasi di negeri ini guna menciptakan pemerintahan yang kuat seperti dalam sistem kepartaian dan
sepektrum representasi.
Di
Indonesia, Pemilihan Umum memakai dua sistem. Pertama,sistem Pemilihan Mekanis. Pada sistem ini rakyat
ditempatkan sebagai suatu massa individu-individu
yang sama. Aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme semua berlandaskan pandangan mekanis ini.
Liberalisme mengutamakan individu
sebagai kesadaran otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan-hubungan antara individu
yang bersifat kontraktuil, sedangkan
sosialisme dan khususnya komunisme mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan
individu dalam totalitas kolektif itu.
Tetapi semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai pengendali hak pilih aktif dan memandang rakyat
(korpspemilih) sebagai suatu massa individu- Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu,
h, 13 individu yang masing-masing
mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam setiap pemilihan.
Kedua, sistem Pemilihan Organis. Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang
hidup bersama dalam berbagai macam
faktor hidup: geneologis (rumah tangga, keluarga) ekonomi dan industri, lapisan-lapisan sosial (buruh), tani, dan sebagainya.
Masyarakat dipandangnya sebagai suatu
organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme itu, seperti persekutuan-persekutuan hidup. Berdasarkan
pandangan ini, persekutuanpersekutuan itulah yang diutamakannya sebagai
pengendali hak pilih, atau dalam perkataan
lain sebagai pengendali hak untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat.
Pelaksanaan
Pemilihan Umum (Pemilu)legislatif 2009 adalah pemilihan umum untuk memilih calon dari beberapa partai
secara langsung di seluruh Indonesia
oleh penduduk/warga Negara Indonesia. Hal ini meliputi pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI, DPRDProvinsi,
DPRD Kota /Kabupaten).
Dalam pemilu legislatif 2009 ini adalahsuatu
pesta demokrasi rakyat Indonesia yang
telah diatur dalam undang-undang No. 10 tahun 2008.
Dalam pemilihan ini, banyak partai dan banyak
para calon legislatif yang mendaftarkan
diri. Pola pendaftaran pun pada tahun ini tidaklah sulit, di mana M. Kusnardi Dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia”, h. 332-334 calon legislatif mendapat rekomendasi dari
sebuah partai dan tingkat pendidikannya
minimal Sekolah Tingkat Menengah (SMA) dan maksimalnya sampai ke Perguruan Tinggi. Pemilihan umum
kali ini, bertolak belakang dengan pemilu
tahun 2004 yakni calon yang berada di nomor urut 1 adalah dapat dipastikan dia menjadi anggota legislatifatau
(DPR) Dewan Perwakilan Rakyat, namun
kali ini berbalik yakni menggunakan sistem suara terbanyak.
Implikasinya, semua orang yang mencalonkan
diri sebagai calon legislatif dituntut
berkompetisi dan cerdik untuk dapat meraih simpati konstituen untuk dipilih. Sehingga dalam hal ketentuan suara
terbanyak ini, calon legislatif bukan saja
harus berkompetisi dengan calon legistif dari partai lain, melainkan dengan sesama calon legislatif dari partai yang sama.
Akibatnya, pelanggaran menjadi sangat
sulit dihindari dan sangat mudah ditemui di lapangan. Hal ini akibat persaingan bebas karena faktor tuntutan dan
tekanan sebuah sistem itu sendiri dan
persaingan kehormatan individu calon legislaif itu sendiri. Sedangkan partai politik hanya adalah sebagai jembatan untuk
dapat mengikuti pesta demokrasi.
Dengan demikian, dalam pemilu 2009 ini pada
dasarnya merupakan suatu proses politik
menuju kehidupan yang demokratis (kedaulatan rakyat), transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu
pemilihan calon legislatif (caleg) menandakan
adanya perubahan sistem yang sangat hebat dan terasa di hati masyarakat, yakni bukan sekedar distribusi
kekuasaan semata antar tingkat pemerintahan
secara vertikal.
Namun
sistem suara terbanyak juga membuka peluang
lebih besar adanya pelanggaran dalam pemilu, bahkan bukan dilakukan oleh Partai politik, melainkan juga oleh calon
legislatif itu sendiri.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba akan
mengangkat kasus pelanggaran Pemilu yang
terjadi di TPS 5 Desa Talang Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Pada TPS tersebut ditemukan
adanya kertas suara yang sudah
dicontreng. Sehingga, menurut Undang-undang, Panwaslu Kabupaten Sumenep merekomendasikan untuk diadakan pemilu
ulang.
Dasar rekomendasai pemilu ulang tersebut
diatas bersumber dari UU. No.
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD, yaitu pada pasal 260,
pasal 288, dan pasal 220. Pasal 260 disebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan
orang lain kehilangan hak pilihnya,
dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Sedangkan pada Pasal 288 disebutkan, “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan yang menyebabkan suara seorang
pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan
suara atau perolehan suara Peserta Pemilu
menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga
puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Titi Triwulan
Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut UUD
1945, h. 51 Sementara dalam Pasal 220
disebutkan ketentuan sebagai berikut : 1. Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPS
dengan menyebutkan keadaan yang
menyebabkan diadakannya pemungutan suara
ulang.
2. Usul
KPPS diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya diajukan kepada KPU kabupaten/kota untuk pengambilan
keputusan diadakannya pemungutan suara
ulang.
3.
Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah hari/tanggal
pemungutan”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi