BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk
sosial, dalam tatanan kehidupan saling
membutuhkan satu dengan yang lain. Kehidupan semacam ini dikenal dengan kehidupan bermasyarakat.Dalam
kehidupan bermasyarakat satu dengan yang
lain memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Dengan adanya kepentingan-kepentingan tersebut menimbulkan
perselisihan, maka dikawatirkan akan
menimbulkan kejahatan-kejahatan yang dapat merugikan diri sendiri maupun masyarakat. Patut disadari bahwa
kejahatan merupakan salah satu bentuk
tingkah laku manusia dan merupakan gejala norma dalam setiap masyarakat yang memiliki karakter berbeda dan
perkembangannya akan mengganggu
kehidupan sosial sehingga kejahatan tak mungkin dimusnahkan.
Kejahatan sangat berkaitan dengan
pemidanaan, sebab mereka yang melakukan
kejahatan akan diajukan ke Pengadilan dan dijatuhi pidana yang sesuai apa yang dilakukannya.
Penjatuhan pidana bukan
semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan
pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada
masyarakat dan kepada terpidana agar menjadi insaf dan menjadi anggota msyarakat yang baik. Adanya
model pembinaan bagi narapidana
bertujuan untuk menghadapi kehidupan selesai menjalani hukuman (bebas).
Sistem pembinaan terhadap
pelanggar hukum atau narapidana bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial ataupulihnya
kesatuan antara warga binaan dan
masyarakat.
Dalam mengembangkan berberapa pogram kebijakan
pembinaan narapidana sebagaimana di atur
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, program kebijakan tersebut meliputi pembebasan bersyarat.
Pembebasan bersyarat dikenal di
hampir semua sistem peradilan pidana.
Sistem hukum di Yunani dan Swiss
mengenalnya dengan sebutan parole.
Belanda menyebutnya vervroegde
invrijheidstelling. Di Indonesia, istilah yang dipakai dalam perundang-undangan berbeda-beda,
sebagian besar menggunakan istilah
pembebasan bersyarat, kecuali Undang-Undang Kejaksaan yang menyebutnya dengan “lepas bersyarat”.
Penerapan pembebasan bersyarat
(pelepasan bersyarat) di Indonesia (dalam
KUHP) tidak terlepas dalam hukum pidana Belanda, yang mengenal pembebasan bersyarat (vervroegde
invrijheidstelling) dalam kitab Undangundang hukum pidana.
Hal ini berarti sebelum berakhirnya masa
pemidanaan dengan ketetapan bahwa sisa
dari sanksi pidana tidak perlu dijalani terpidana jika yang dilepaskan dalam jangka waktu
percobaan, jika orang yang dilepaskan Undang-undang
R.I No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, h. 3 Barda Nawawi, Berberapa Masalah Perbandingan
Hukum Pidana, h. 79 R. Soesilo, KUHP
Serta Komentar-komentarnya, h. 44 dalam
jangka waktu percobaan tidak melakukan tindak pidana dan juga mentaati sejumlah persyaratan lain yang
ditetapkan.
Pembebasan bersyarat merupakan
pelaksanaan pidana penjara untuk dilepas
menjelang bagian akhir masa pidananya, agar menjalani sisa pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Secara umum, pembebasan bersyarat
memberi hak kepada seorang napi untuk
menjalani masa hukuman di luartembok penjara. Syaratnya: hukuman yang dikenakan lebih dari sembilan bulan,
sudah menjalani 2/3 masa hukuman, plus
berkelakuan baik selama dalam masa “pembinaan”. Pasal 1 angka (7) PP No.
32 Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
menyimpulkan: pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lapas setelah menjalani
sekurang-kurang 2/3 masa pidana dari minimal
9 bulan.
Intinya, yang berhak mendapat hak pembebasan
bersyarat bukan narapidana yang divonis
hukuman kurungan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana berserta komentarkomentarnya, menyebutkan bahwa pembebasan bersyarat
bernilai edukatif, yaitu memberi
kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya.
Tak semua narapidana yang sudah menjalani 2/3 masa
hukuman memperoleh pembebasan bersyarat.
Ada syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, narapidana sudah harus Peraturan Pemerintah RI No 32 Th 1995 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan, h. 2 R. Soesilo,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya, h. 44 menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas
kesalahan yang dia lakukan. Selain itu,
dia telah menunjukkan budi pekerti yang baik, mengikuti kegiatan pembinaan dengan tekun, selama masa pembinaan
tak pernah melanggar hukum disiplin.
Dalam pembebasan bersyarat
terdapattahapan yang harus dijalani agar pembebasan bersyarat tersebut dapat diberikan
kepada terpidana. Tahapan tersebut
menyangkut syarat-syarat. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat substansif dan administratif yang harus
dipenuhi oleh terpidana atau anak pidana.
Syarat substansif ini mengacu
padapasal 14 Undang-undang No. 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa seorang terpidana yang menjalani 2/3 masa
pidananya berhak memperoleh masa pembebasan
bersyarat. Sedang syarat administratif mengacu pada salinan putusan kasus yang bersangkutan.
Adapun wewenang dan prosedur
pemberian pembebasan bersyarat secara khusus
diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No.M.2.Pk.04-10 Th 2007 tentang Pembebasan
Bersyarat. Dalam memberikan pembebasan
bersyarat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memiliki peran penting atas putusan tersebut.
Diberikannya pembebasan bersyarat
kepada narapidana diharapkan mereka
betul-betul dapat berintegrasi kembali terhadap masyarakat serta menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai positif yang ada di masyarakat itu pula.
Selain bertujuan untuk menyatukan
kembali narapidana dengan masyarakat sesuai
dengan proses dan tujuan dari pemasyarakatan, pemberian pogram pembebasan bersyarat juga bertujuan untuk
meningkatkan keterlibatan masyarakat
dalam pembinaan narapidanaguna mengurangi peran negara dalam pembinaan dan perawatan narapidana. Karena
dengan diberikannya pembebasan bersyarat
kepada narapidana yang telah memenuhi syarat maka narapidana itu tidak dibina lagi dalam lapas melainkan dibina
ditengah-tengah masyarakat.
Dengan dibinanya narapidana di
tengah-tengah masyarakat melalui pogram
pembebasan bersyarat, negara atau pemerintah dalam keadaan ini tidak lagi mendapatkan beban anggaran dalam rangka
pembinaan dan perawatan narapidana
tersebut. Hal ini secara langsung akan mengurangi beban anggaran negara. Karena dengan dibebaskannya narapidana
melalui pogram pembebasan bersyarat,
maka akan mengurangi hari tinggal narapidana di lapas, dan dengan berkurangnya hari tinggal narapidana maka
negara tidak perlu lagi menyediakan anggaran
guna membina dan merawat narapidana di lapas.
Adapun dalam hukum pidana Islam,
pemidanaan yang ditegakkan dalam syariat
Islam mempunyai dua aspek, yaitu: preventif(pencegahan) dan reprensif (pendidikan).
Pencegahan adalah menahan perbuatan agar tidak
mengulangi perbuatan pidananya, atau
agar ia tidak terus-menerus melakukannya. Dengan Makrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana
Islam, h. 53 kata lain bahwa selain
mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam juga memberikan perhatian terhadap diri pelaku
pidana, yakni memberikan pelajaran serta
mengusahakan kebaikan bagi pelaku merupakan tujuan yang utama.
Sehingga seseorang menjauhkan
diri darikejahatan serta menginsafinya bukan semata-mata karena takut akan pidana yang
diterimanya, melainkan betul-betul kesadarannya
untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi