BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Melindungi segenap
bangsa Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum
adalah tujuan didirikannya
Republik Indonesia ini.
Tujuan ini terdapat dalam
pembukaan UUD 1945,
sehingga apapun segala
usaha kenegaraan haruslah berdasarkan
dan sesuai dengan
cita-cita tersebut, termasuk juga usaha penegakan hukum nasional
dan untuk penegakan itu diperlukan sistem peradilan pidana.
Sesungguhnya
dari sistem peradilan
pidana itu ada
empat komponen fungsi, yang
dimana komponen satu
dengan komponen yang
lainnya selalu berhubungan dan
berkoordinasi. Fungsi-fungsi
itu memiliki satu
tujuan yang sama, yaitu
usaha untuk menanggulangi
kejahatan, masing-masing fungsi
ini adalah fungsi penyidikan, penuntutan, peradilan, dan fungsi
pemasyarakatan.
Tiap-tiap komponen fungsi ini
mempunyai wewenang untuk
melakukan penyaringan-penyaringan
terhadap perkara yang
masuk untuk diproses,
baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun
atas dasar aspek sosiologisnya. Pada tingkat penyidikan,
penyaringan itu berupa tindakan-tindakan
Fungsi masing-masing dilakukan oleh petugas penegak hukum: Polisi,
Jaksa, Hakim, dan Petugas Pemasyarakat.
Kepolisian yang
dalam praktek kepolisian
disebut diskresi.
Pada
tingkat penuntutan, Jaksa mempunyai
wewenang untuk mendeponir
suatu perkara yang disebut
asas oportunitas. Sedangkan
pada tingkat peradilan, berupa keputusan Hakim, sedangkan pada
tingkat Pemasyarakatan berupa hukuman atau remisi.
Dengan adanya
penyaringan perkara
tersebut, maka jelas hukum
tidak serta-merta membabi
buta kepada pelaku
siapa pun dan
dalam kondisi apa
pun seperti tercantum dalam
bunyi perundang-undangan itu,
dan untuk mengatasi kekuatan-kekuatan ini
maka jalan keluar
yang diberikan oleh
hukum adalah diserahkan kepada
petugas penegak hukum
itu sendiri, untuk
menguji setiap perkara yang
masuk di dalam
proses, untuk diadakan
penyaringan-penyaringan yang dalam hal Kepolisian disebut diskresi
(discretion).
Indonesia adalah negara
yang berdasar atas
hukum tidak berdasar
atas kekuasaan belaka, maka segala kekuasaan negara harus diatur oleh
hukum. Dalam usaha melindungi masyarakat
dari gangguan, agar kehidupan menjadi
damai, aman, dan tertib
dari pelaku pelanggar
norma-norma atau hukum, maka
satu sarana untuk menanggulanginya adalah dengan hukum pidana.
Hukum
Pidana adalah hukum
yang represif, hukum
yang mempunyai sanksi istimewa,
hukum ini tidak kenal kompromi, walaupun seumpama si korban tindak pidana
sudah memaafkan, mendamaikan
dengan si pelaku
atau tidak Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di
Indonesia, h.106.
Oemar
Seno adji, Hukum Pidana Pengembangan, h.11.
dituntut,
namun hukum pidana tetap bersikap tegas, hukum harus ditegakkan dan pelaku
harus ditindak.
Permasalahan akan
muncul bila, Polisi yang
dengan kekuasaan diskresinya justru
malah tidak menegakkannya, memaafkannya, mengenyampingkannya, menghentikan,
atau mengambil tindakan
lain di luar proses
yang telah ditentukan.
Dengan kekuasaannya itu secara
lahiriah telah melanggar asas-asas
hukum pidana yang
sangat mendasar itu.
Pembahasan perihal masalah
ini, hukum itu
harus ditegakkan sedangkan
pihak Polisi malah mengenyampingkannya, perlu kiranya
mendapatkan perhatian untuk meneliti atau mengkajinya. Agar gejala ini dapat
dipahami semua pihak.
Penggunaan
kekuasaan diskresi oleh
pembuat undang-undang itu sebenarnya diberikan
apabila jalan hukum
yang disediakan untuk
menghadapi suatu kasus malah
menjadi macet, tidak
efisien, boros, dan
kurang manfaatnya.
Dan
ditinjau dari sudut
hukum, setiap kekuasaan
dilandasi dan dibatasi
oleh ketentuan-ketentuan hukum,
limits of power.
Namun kekuasaan diskresi
yang begitu luas dan
kurang jelas batas-batasnya akan
menimbulkan permasalahan terutama
bila dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia.
Dari
uraian diatas,apabila diikuti perkembangan hukum pidana lebih jauh lagi maka
pelaksanaan sistem peradilan
pidana yang bertujuan
untuk menanggulangi kejahatan itu terdapat beberapa model pandangan
teori. Pertama Ibid,h.69.
Sadjijono,
Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi,
h.206.
model
dengan pandangan semata-mata mempertahankan segi
normatif dari hukum pidana.
Dimana tugas para
penegak hukum, adalah
menjalankan hukum semata-mata,
tak peduli bagaimana akibat dari pelaksanaan hukum itu bagi yang diproses,
masyarakat harus hidup dalam jalur hukum yang telah ditentukan. Hal inilah rupanya
yang disebut sifat
kekakuan hukum pidana
yang normatif i tu.
Kedua,
model dengan pandangan
bahwa dalam sistem peradilan
pidana sering disebut dengan
model sosiologis. Pandangan
ini berpendapat sepanjang
stelselstelsel kemasyarakatan lain
masih dapat digunakan,
maka penggunaan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi
kejahatan sebaiknya tidak usah digunakan lebih dulu.
Hal ini
sama dengan pendapat Soedarto bahwa cara penanggulangan hukum pidana
sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan itu
bersifat Subsidair.
Jadi,
hukum pidana bukan bersifat
primer. Ini berarti
bahwa penggunaan non hukum itu
rupanya lebih diutamakan.
Sikap yang hanya
ingin menegakkan hukum formal semata-mata akan
mengurangi efektivitas sistem peradilan pidana,
pemborosan waktu, tenaga,
materi, dan biaya
penyidikan.
Akibatnya,
hal itu akan tak
sesuai dengan sistem
peradilan pidana yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ditinjau
dari segi hukum
pidana formal, tindakan
Polisi untuk mengenyampingkanperkara
pidana tidak bisa dibenarkan begitu saja karena sifat Roeslan Saleh, Hukum Pidana sebagai KonfrontasiManusia
dan Manusia, h.14.
Soedarto,
Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h.44.
hukum pidana
yang tak kenal
kompromi.
Sedangkan
alasan-alasan sosiologis yang
biasa digunakan dalam praktek, bersifat subyektif dan sangat situasional dan ini
memerlukanlandasan hukum yang tegasagar terdapat kepastianhukum baik bagi
penyidik maupunmasyarakat.
Dalam
penjelasan umum UU No.2 Tahun
2002 tentang Kepolisian
RI, menyatakan : “Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesiamemiliki kewenangan
diskresi, yaitu kewenangan untuk
bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian
sendiri”.
Dalam
pasal 18 ayat(1) UU.No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang berbunyi: "Untuk kepentingan
umum pejabat kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri." Klausul "bertindak menurut
penilaiannya sendiri dijelaskan
dalam penjelasan pasal demi pasal, pasal 18 ayat(1), yaitu "Suatu tindakan
yang dapat dilakukan
oleh anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan
manfaat serta resiko dari tindakannyadan betul-betul untuk kepentingan umum.
Sehingga
berhubungan pula dengan pasal 7 ayat(1) huruf j KUHAP yang berbunyi: Bahwa sifat hukum pidana tak kenal kompromi
sebagai konsekuensi daripada asas legalitas, sebagai tercantum dalam pasal 1
ayat (1) KUHP, yang berbunyi: tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi