BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah
SWT telah menciptakan semua makhluk-Nya di muka bumi ini untuk saling
berpasang-pasangan. Demikian juga halnya dengan manusia yang diciptakan sebagai
laki-laki dan perempuan
yang satu dengan
yang lainnya saling membutuhkan
untuk hidup berpasangan
dengan kasih sayang
dalam satu ikatan pernikahan. Allah telah menegaskan dalam firman-Nya: “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya
Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih
sayang. Sesungguhya pada
yang demikian itu
benarbenar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang
berfikir ” (QS.
Ar Ruum : 21) Ayat di atas
menerangkan bahwa di antara
tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan
Allah dan kasih
sayang-Nya ialah Dia menjadikan kaum perempuan
sebagai istri dari
jenis (tubuh) laki-laki,
agar nyatalah kecocokan dan
sempurnalah kemanusiaan. Dia
juga menjadikan rasa Al-Qur’an,
Yayasan Penyelenggara Penerjemah
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta : Depag RI., Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1989, hlm. 644.
mawaddah dan ar-rahmah antara keduanya supanya
saling membantu dalam melengkapi kehidupan.
Berdasarkan dalil di atas, maka
pernikahan adalah salah
satu asas pokok hidup, yang
penting dalam bermasyarakat karena pernikahan itu adalah jalan untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pengertian perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 tahun pasal 1
: “ Perkawinan
ialah ikatan lahir
batin antara seorang
pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Pengertian
perkawinan tersebut dipertegas
dalam pasal 2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) : “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah”.
Ada
juga yang mendefinisikan bahwa
nikah adalah ijab qobul (aqad) yang membolehkan atau menghalalkan bercampur (bersetubuh) laki-laki dengan
perempuan dengan mengucapkan kata-kata nikah.
Bertitik
tolak dari pengertian
pernikahan tersebut di atas,
dapat diketahui, bahwa pernikahan
adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, karena pernikahan
tersebut banyak mengandung
hikmah, Wahbah Az-Zuhaily, Tafsir al- Munir, juz 21,
Beirut-Libanon : Dar Al-Fakir
AlMu’asir, Cet. Ke-1, 1991, hlm.
Departemen
Agama RI Perwakilan
Jawa Tengah, Undang-Undang Perkawinan, Semarang : CV. Al Alawiyah, 1974,
hlm.
Departemen
Agama RI Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Kompilasi Hukum
Islam,2000, hlm.
Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i,
Jakarta : Wijaya, 1969, hlm.
antara
lain untuk kemakmuran,
untuk menjalin persaudaraan,
memperteguh kelanggengan
rasa cinta antar
keluarga dan memperkuat
hubungan kemasyarakatan yang diberkahi
oleh Islam. Karena
masyarakat yang saling berhubungan dan menyayangi adalah
masyarakat yang kuat dan bahagia.
Demikianlah
yang dikehendaki adanya
pernikahan menurut Islam, sehingga apabila
pernikahan ini dilaksanakan
dengan konsekuen menurut pedoman yang
digariskan, maka segala
bentuk masalah tidak
akan timbul, karena masing-masing
pihak tahu akan
hak dan kewajibannya
dan akhirnya terwujudlah tujuan
dan hikmah dari pernikahan itu. Namun tidak
selamanya tujuan dan hikmah
dari perkawinan tersebut
dapat terlaksana dan
terwujud sesuai dengan idealnya.
Salah satu contohnya
adalah di bidang
pemberian nafkah orang tua.
Nafkah dalam konteks
hukum Islam merupakan
kewajiban yang menjadi
konsekuensi bagi seorang orang tua akibat dari adanya perkawinan.
Secara bahasa,
nafkah berasal dari bahasa Arab al-Nafaqah, yang artinya biaya atau belanja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah
memiliki pengertian sebagai berikut: a. Belanja untuk memelihara kehidupan.
b. Rizki, makan sehari-hari.
c. Uang belanja yang diberikan
kepada isteri.
Syeikh
Ali Ahmad Al
Jurjawi, Hikmah At Tasyri’
Wa Falsafatuhu, Juz 1,
Beirut : Libanon : Dar al-Fikr,
hlm. 15.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, Beirut
: Libanon : Dar al-Fikr, 1992, hlm. 12.
Adib Bisri Munawir AF, Al-Bisyri
Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, t.th., hlm. 732.a d. Gaji uang pendapatan.
Sedangkan menurut istilah
nafkah adalah pengeluaran
yang harus dikeluarkan oleh orang
yang wajib memberi nafkah seseorang, baik berbentuk roti, gula,
pakaian, tempat tinggal,
dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan keperluan
hidup sehari-hari seperti air, minyak, lampu, dsb.
Batasan pemberian nafkah
tersebut secara lebih
jelas dan tegas disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yakni pada
Pasal 80 ayat (4)
yang mengklasifikasikan nafkah
yang harus diberikan
dari penghasilan suami sebagai
berikut: a. Nafkah kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
b. Biaya rumah
tangga, biaya perawatan
dan pengobatan bagi
isteri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
nafkah yang diberikan oleh orang tua pada umumnya ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Lingkup keluarga terdekat yang
harus dipenuhi nafkahnya oleh para orang tua adalah isteri dan anak-anak,
dengan klasifikasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi