Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ORANG TUA TIDAK MEMBERIKAN NAFKAH PENDIDIKAN KEPADA ANAK KANDUNG (Study Kasus Keluarga Nelayan Di Desa Tambak Mulyo Kelurahan Tanjung Mas Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang)


 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menciptakan semua makhluk-Nya di muka bumi ini untuk saling berpasang-pasangan. Demikian juga halnya dengan manusia yang diciptakan  sebagai  laki-laki  dan  perempuan  yang  satu  dengan  yang  lainnya saling  membutuhkan  untuk  hidup  berpasangan  dengan  kasih  sayang  dalam satu ikatan pernikahan. Allah telah menegaskan dalam firman-Nya: “Dan diantara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  Dia  menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa   kasih  sayang.  Sesungguhya  pada  yang  demikian  itu  benarbenar  terdapat  tanda-tanda  bagi  kaum  yang  berfikir  ”  (QS.  Ar Ruum : 21)  Ayat  di atas  menerangkan  bahwa  di antara  tanda-tanda  yang menunjukkan  kekuasaan  Allah  dan  kasih  sayang-Nya  ialah Dia  menjadikan kaum  perempuan  sebagai  istri  dari  jenis  (tubuh)  laki-laki,  agar  nyatalah kecocokan  dan  sempurnalah  kemanusiaan.  Dia  juga  menjadikan  rasa  Al-Qur’an, Yayasan  Penyelenggara  Penerjemah  Al-Qur’an, Al-Qur’an  dan Terjemahnya, Jakarta : Depag RI., Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1989, hlm. 644.

 mawaddah dan ar-rahmah antara keduanya supanya saling membantu dalam melengkapi kehidupan.
 Berdasarkan dalil di atas,  maka  pernikahan  adalah  salah  satu  asas pokok hidup, yang penting dalam bermasyarakat karena pernikahan itu adalah jalan untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun  pasal  1  :  “  Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dengan seorang  wanita  sebagai  suami  isteri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha Esa”.
 Pengertian  perkawinan  tersebut  dipertegas  dalam  pasal  2  Kompilasi Hukum Islam (KHI) : “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah  dan  melaksanakannya  merupakan  ibadah”.
 Ada  juga  yang mendefinisikan bahwa nikah adalah ijab qobul (aqad) yang membolehkan atau menghalalkan  bercampur (bersetubuh) laki-laki  dengan  perempuan dengan mengucapkan kata-kata nikah.
 Bertitik  tolak  dari  pengertian  pernikahan  tersebut  di atas,  dapat diketahui,  bahwa  pernikahan  adalah  sesuatu  yang  diperintahkan  oleh  Allah dan  Rasul-Nya,  karena  pernikahan  tersebut  banyak  mengandung  hikmah,  Wahbah  Az-Zuhaily, Tafsir al- Munir, juz  21,  Beirut-Libanon  :  Dar Al-Fakir  AlMu’asir, Cet. Ke-1, 1991, hlm.
 Departemen  Agama  RI  Perwakilan  Jawa  Tengah, Undang-Undang  Perkawinan, Semarang : CV. Al Alawiyah, 1974, hlm.
 Departemen  Agama  RI  Direktorat  Jenderal  Pembinaan  Kelembagaan  Agama  Islam, Kompilasi Hukum Islam,2000, hlm.
 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta : Wijaya, 1969, hlm.
 antara  lain  untuk  kemakmuran,  untuk  menjalin  persaudaraan,  memperteguh kelanggengan  rasa  cinta  antar  keluarga  dan  memperkuat  hubungan kemasyarakatan  yang  diberkahi  oleh  Islam.  Karena  masyarakat  yang  saling berhubungan dan menyayangi adalah masyarakat yang kuat dan bahagia.
 Demikianlah  yang  dikehendaki  adanya  pernikahan  menurut  Islam, sehingga  apabila  pernikahan  ini  dilaksanakan  dengan  konsekuen  menurut pedoman  yang  digariskan,  maka  segala  bentuk  masalah  tidak  akan  timbul, karena  masing-masing  pihak  tahu  akan  hak  dan  kewajibannya  dan  akhirnya terwujudlah  tujuan  dan hikmah  dari  pernikahan itu. Namun  tidak  selamanya tujuan  dan  hikmah  dari  perkawinan  tersebut  dapat  terlaksana  dan  terwujud sesuai  dengan  idealnya.  Salah  satu  contohnya  adalah  di  bidang  pemberian nafkah orang tua.
Nafkah dalam  konteks  hukum  Islam  merupakan  kewajiban  yang menjadi konsekuensi bagi seorang orang tua akibat dari adanya perkawinan.
Secara  bahasa,  nafkah berasal  dari bahasa  Arab al-Nafaqah, yang  artinya biaya atau belanja.
 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah memiliki pengertian sebagai berikut: a. Belanja untuk memelihara kehidupan.
b. Rizki, makan sehari-hari.
c. Uang belanja yang diberikan kepada isteri.
 Syeikh  Ali  Ahmad  Al  Jurjawi, Hikmah  At  Tasyri’  Wa  Falsafatuhu, Juz  1,  Beirut  : Libanon : Dar al-Fikr, hlm. 15.
 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, Beirut : Libanon : Dar al-Fikr, 1992, hlm. 12.
 Adib Bisri Munawir  AF, Al-Bisyri  Kamus  Arab  Indonesia, Yogyakarta:  Pustaka Progresif, t.th., hlm. 732.a  d. Gaji uang pendapatan.
 Sedangkan menurut  istilah  nafkah  adalah  pengeluaran  yang  harus dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi nafkah seseorang, baik berbentuk roti,  gula,  pakaian,  tempat  tinggal,  dan  segala  sesuatu  yang  berhubungan dengan keperluan hidup sehari-hari seperti air, minyak, lampu, dsb.
 Batasan pemberian  nafkah  tersebut  secara  lebih  jelas  dan  tegas disebutkan  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI),  yakni  pada  Pasal  80  ayat (4)  yang  mengklasifikasikan  nafkah  yang  harus  diberikan  dari  penghasilan suami sebagai berikut: a. Nafkah kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
b. Biaya  rumah  tangga,  biaya  perawatan  dan  pengobatan  bagi  isteri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
 Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa nafkah yang diberikan oleh orang tua pada umumnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Lingkup keluarga terdekat yang harus dipenuhi nafkahnya oleh para orang tua adalah isteri dan anak-anak, dengan klasifikasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI).


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi