Jumat, 15 Agustus 2014

Skripsi Syariah:FLEKSIBILITAS SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARI’AH (SBIS) DAN SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH (SIMA) TERHADAP MANAJEMEN RISIKO PERBANKKAN SYARI’AH


BAB I  PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang Masalah  Berdirinya PT. Bank Muamalat Tbk. pada tahun 1992 merupakan tanda  lahirnya Perbankkan Syari’ah diIndonesia. Hadirnya Perbankkan Syari’ah  tersebut banyak dinantikan oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim,  karena mereka menginginkan cara hidup yang berlandaskan nilai-nilai syari’ah  dalam transaksi keuangan / ekonominya juga(supaya terhindar dari riba, gharar,  maisir dan sebagainya).
 Secara konseptual fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediasi yaitu  untuk menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam  pemberdayaan sektor riil. Sistem keuangan syari’ah memang sesuai dengan  tuntutan perkembangan zaman serta sudah menjadi kewajiban sejarahnya untuk  lahir dan tumbuh menjadi sistem ekonomi keuangan alternatif-solutif. Karena  keuangan syari’ah dapat memberikan kontribusi positif dalam memobilisasi dana  investasi dalam memacu aktifitas ekonomi masyarakat sehingga membantu  menumbuhkan perekonomian negara.

 Dalam Undang-Undang Perbankkan dinyatakan secara tegas, bahwa  pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
  Berkaitan   Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang RI No. 7  Tahun 1992 tentang Perbankan, pasal 29 ayat 1.
  dengan Perbankan Islam, tugas pokok Bank Indonesia adalah membuat aturanaturan strategis dan teknis yang berupa norma-norma hukum yang diberlakukan  terhadap seluruh stakeholderuntuk mendukung perkembangan Bank Islam.
 Bentuk pengawasan BI bisa berupa aspek administratif, aspek keuangan  dan aspek pengawasan syari’ah.
  Aspek administratif antara lain tentang  perubahan kegiatan usaha dan pembukaan kantor cabang syari’ah dan pendirian  bank yang berdasarkan prinsip syari’ah. Sedangkan dalam aspek keuangan adalah  BI memiliki wewenang untuk menetapkan batas maksimum pembiayaan  berdasarkan prinsip syari’ah yang harus di patuhi oleh Bank Islam. Untuk  pengawasan syari’ah, BI menyerahkan kewenangan tersebut kepada Dewan  Pengawas Syari’ah (DPS) yang ada dalam bank-bank tersebut. DPS pada masingmasing bank syari’ah bertanggung jawab terhadap Dewan Syari’ah Nasional  (DSN). DSN adalah satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan untuk  mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syari’ah,  serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan  syari’ah di Indonesia.
 Sesuai dengan Undang - Undang Perbankkan Syari’ah pasal 1 ayat 7,  bank merupakan unit bisnis yang menjalankan aktifitas usaha juga, dimana setiap  aktifitas usaha selalu dihadapkan dengan risiko dan return  dengan tingkat   Wirdyaningsih, dkk. Bank dan Asuransi Dalam Islam di Indonesia, hal.90   Afnil Guza, UU Perbankkan Syari’ah No.21 Tahun 2008 dan Surat Berharga Syari’ah  Negara No.19 Tahun 2008, hal.3   kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.
  Risiko dalam  konteks perbankkan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat  diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated)  yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Seperti risiko  yang berkaitan dengan produk-produk pembiayaan (mudharabah, musyarokah dan sebagainya) yang diakibatkan karenaketidakjujuran nasabah, dari segi  Sumber Daya Manusia (SDM) pegawai yang kurang kuantitatif dan kualitatif  yang berpengaruh pada iklim kerja operasional Perbankkan Syari’ah dan risiko  yang di akibatkan oleh keadaanekonomi makro seperti krisis global pada saat ini.
 Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari atau dihilangkan sepenuhnya,  tetapi dapat dikendalikan dan dikelola agar risiko tersebut bisa berkurang. Oleh  karena itu, sebagaimana lembaga perbankkan pada umumnya, bank syari’ah juga  membutuhkan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk  mengidentifikasi, mengukur, memantaudan mengendalikan risiko yang akan  timbul dari kegiatan usaha tersebut  dengan tingkat risiko yang wajar secara  terarah, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memperoleh keuntungan yang  optimal.
  Jika dikaitkan dengan perkembangan bank syari’ah beberapa tahun ini  hasilnya cukup menggembirakan. Tercatat pula perkembangan likuiditas  Perbankkan Syari’ah yang meningkat. Namun seiring dengan itu bank syari’ah   Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, hal.357   Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, hal.255   masih sulit untuk menghindari posisi yangmismatched, yaitu ketidaksesuaian  jangka waktu antara penerimaan dan penyaluran dana, yang jika risiko tersebut  tidak segera ditanggulangi maka berpotensi menimbulkan masalah yang lebih  besar dan struktural.
 Di kalangan perbankkan, sejak dahulu selalu timbul pertentangan  kepentingan (conflict of interest) antara liquiditi dan profitabilitas, artinya jika  bank memperbesar likuiditasnya dengan menjaga cadangan kas, maka bank tidak  dapat memakai dana tersebut untuk  mendapatkan profit secara optimal,  sedangkan untuk mendapatkan profit yang optimal maka bank akan  memakai/memanfaatkan kas agar tersalurkan ke pembiayaan sepenuhnya.
  Karena jika uang yang mengendap/idle funddibank terlalu banyak dan lama,  lambat laun bank akan mengalami collapskarena harus memenuhi kewajibannya  kepada para nasabah dan juga untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya seharihari, sehingga bank wajib untuk menyalurkan uang tersebut agar mendapat  keuntungan yang nantinya akan dibagi antar pihak bank dan nasabah.
 Namun jika bank mempunyai kelebihan cadangan likuiditas dan untuk  meningkatkan profitabilitasnya, cadangan tersebut seluruhnya disalurkan ke  sektor riil maka bank juga akanmenghadapi posisi yang sulit/mismatched, yaitu  ketidaksesuaian jangka waktu antara penerimaan imbalan dari pembiayaan yang  disalurkan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan kepada nasabah seharihari, misalnya deposito yang sudah jatuh tempo, pengambilan dana besar-besaran   Muchdarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank, Hal.75   oleh nasabah yang secara tiba-tiba, permintaan nasabah terhadap pinjaman dan  sebagainya.
 Menurut Adiwarman Azwar Karim, direktur utama Karim Bussines  Consulting(KBC) bahwa :  “Bank syari’ah lebih membutuhkan likuiditas dibandingkan dengan bank  konvensional, karena tingkat Financing to Deposit Ratio(FDR) bank  syari’ah sekarang mencapai 113%, sedangkan bank konvensional Loan to  Deposit Ratio(LDR) hanya 50% dan sisanya dimainkan pada surat  berharga, sehingga jika ada nasabah yang ingin menarik depositonya bank  syari’ah akan mengalami kesulitan likuiditas”.
  Meskipun disisi lain bank syari’ahsecara tidak langsung berarti sudah  dikenal masyarakat luas, karena banyak yang menggunakan produk  pembiayaannya untuk investasi ke sektorriil hingga jumlahnya mencapai 113%  melebihi batas rasio penyaluran pembiayaan, yang memang secara prinsip Islam  mengajarkan kepada kita untuk saling peduli terhadap yang lain. Namun dengan  tingkat FDR yang tinggi tersebut juga akan membuat kekhawatiran tersendiri  karena 13% asset bank jugaikut masuk untuk dana investasi pembiayaan riil,  Sehingga jika terjadi kredit macet makabank akan lebih kesulitan juga untuk  memenuhi likuiditasnya kepada nasabah.
 Selama ini sarana untuk menempatkan kelebihan likuiditas diPerbankkan  Syari’ah sudah ada yakni instrumen diPasar Uang Antarbank Syari’ah (PUAS)  dengan piranti Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Berdasarkan Prinsip  Syari’ah (SIMA) dan instrumen yang terbitkan oleh Bank Indonesia adalah   Http://www.inilah.com/2008/, Ketatnya Likuiditas Menghantam Sektor Finansial, oleh:E2.
  Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), dengan akad wadi’ah/titipan yang  besaran imbalannnya / bonus sekitar 3% - 4% yang tidak dijanjikan di depan.
  Namun bagi bank-bank syari’ah instrumen ini dirasa tidak  menguntungkan karena imbalannya cukup kecil, sedangkan dalam bank  konvensional tingkat bunga sekitar 8%. Hal ini membuat keadaan bank syari’ah  jadi tidak kondusif, sehingga bank syari’ahlebih banyak memilih untuk investasi  langsung ke pembiayaan sektor riil dengan tingkat keuntungan yang mungkin  lebih besar dari pada harus menitipkan cadangan likuiditasnya ke instrumen  Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI).
 Kini bank syari’ah memiliki alternatif tambahan dalam pengelolaan dana  investasinya. Bank Indonesia telah menerbitkan instrumen  Sertifikat Bank  Indonesia Syari’ah (SBIS), Instrumen khusus Perbankkan Syari’ah ini  menggantikan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) yang selama ini  berlaku sebagaimana Peraturan Bank Indonesia No. 10/11/PBI/2008 tentang  Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah (SBIS).
  Pasar Uang Antarbank Syari’ah (PUAS) dengan menggunakan piranti  SIMA adalah sebagai sarana investasi bagi bank yang kelebihan cadangan  likuiditas untuk mendapatkan keuntungan dan dilain pihak untuk mendapatkan  dana jangka pendek bagi bank syari’ah yang mengalami kekurangan dana baik  dalam bentuk rupiah ataupun valuta asing. Instrumen ini secara resmi diatur   Http://Www.agustianto.niriah.com/2008/04, Mengapa SBI Syari’ah?, oleh: Agustianto.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi