Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN (ANALISIS PUTUSAN PA No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm )


 BAB I  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah  Pada  prinsipnya,  kehidupan  rumah  tangga  harus  didasari  oleh  mawaddah, rahmah dan cinta kasih. Seperti yang termaktub dalam UndangUndang  No.  1  tahun  1974  tujuan  perkawinan  adalah  untuk  membentuk  keluarga bahagia dan kekal.
Pasal  I  menegaskan:  “Perkawinan  adalah  ikatan  lahir batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang  wanita  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan  ketuhanan  yang  maha  Esa”.
  Suami  istri  harus  memerankan  peran  masingmasing,  yang  satu  dengan  yang  lainnya  harus  bisa  saling  melengkapi.  Di  samping  itu  juga  harus  diwujudkan  keseragaman,  keeratan,  kelembutan  dan  saling pengertian satu dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal  yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan  generasi  yang baik  yang merasakan kebahagiaan  yang  dirasakan oleh orang  tua mereka.

 Pada  dasarnya  perkawinan  itu  dilakukan  untuk  waktu  selamanya  sampai  matinya  salah  seorang  suami  istri.  Inilah  sebenarnya  yang  dikehendaki oleh agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat halhal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam  arti apabila hubungan  perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akanterjadi. Dalam hal ini   Undang-Undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafika,2007, hlm. 1.
 Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2001, hlm. 245.
1  1  Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha  untuk melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan, dengan begitu adalah  suatu jalan keluar yang baik.
Putusnya  perkawinan  adalah  istilah  hukum  yang  digunakan  dalam  undang-undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya  hubungan  perkawinan  antara  seorang  laki-laki  dengan perempuan  yang  selama ini hidup sebagai suami istri.
 Pada prinsipnya di dalam Islam perceraian itu dilarang. Hal ini dapat  dilihat  dalam  hadist  Rasulullah  SAW  bahwa  talak  atau  perceraian  adalah  perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.
Dari  Ibnu  Umar  ra  ia  berkata  Rasulullah  SAW  bersabda: perbuatan  halal  yang  sangat  dibenci  Allah  ialah  talak.  (HR.  Abu  Dawud dan Hakim dan disahihkan olehnya).
 Oleh  karena  itu,  isyarat  tersebut  menunjukkan  bahwa talak  atau  perceraian  merupakan  alternatif  terakhir  sebagai  “pintu  darurat”  yang  boleh  ditempuh apabila bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan  lagi.
Tentang  hukum  cerai,  ulama  fiqih  berbeda  pendapat.  Pendapat  yang  paling benar diantara semua itu yaitu mengatakan “terlarang’ kecuali karena   Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.
188.
 Ibnu Hajar Al-Asqalani,  Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, Jakarta: Akbar Media  Eka Sarana, hlm.487.
2  alasan yang benar. Mereka yang berpendapat begini adalah golongan Hanafi  dan Hambali. Alasannya adalah sabda Rasulullah.
Artinya:  “Allah  melaknat  setiap  lelaki  yang  suka  mencicipi  perempuan  kemudian menceraikannya (maksudnya: suka kawin cerai).”  Ini  disebabkan  bercerai  itu  kufur  terhadap  nikmat  Allah.  Sedangkan  kawin  adalah  suatu  nikmat  dan  kufur  terhadap  nikmat adalah  haram.  Jadi,  tidak halal bercerai kecuali karena darurat.
 Ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga,  yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan atau terputusnya  perkawinan.
1.  Terjadinya nusyuzdari pihak istri.
2.  Terjadinya nusyuzdari pihak suami.
3.  Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri.
4.  Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyahyang  menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya (li’an).
 Mengenai  alasan-alasan  terjadinya  perceraian  dijelaskan  dalam  pasal  19 PP No. 9 tahun 1975 Jo. Pasal 116 KHI yang berbunyi:  a.  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,pemadat, penjudi dan  lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, Jilid 3, hlm. 136.
 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003, hlm. 269.
3  b.  Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan-alasanyang sah atau karena hal  lain diluar kemampuannya.
c.  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman  yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.  Salah  satu  pihak  melakukan  kekejaman  atau  penganiayaan  berat  yang  membahayakan pihak lain.
e.  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakitdengan akibat tidak  dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.  Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran  dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g.  Suami melanggar taklik talak  h.  Peralihan  agama  atau  murtad  yang  menyebabkan  terjadinya  ketidakrukunan dalam rumah tangga  .
='mU � p c 0�� 8�� >  pada  waktu  akad  itu  terjadi.  Hal  ini  sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq: Adapun tentang syarat barang yang diakadkan ada enam yaitu (1)  bersihnya  barang.  (2)  dapat  dimanfaatkan.  (3)  milik  orang  yang  melakukan akad. (4) mampu menyerahkannya. (5) mengetahui. (6)  barang yang diakadkan ada di tangan.
Dalam  kaitan  ini  Ibnu  Rusyd  menjelaskan,  barang-barang  yang  diperjual belikan itu ada dua macam: pertama, barang yang benar-benar sudah   Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.
 T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang:  PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.
 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 150.
 jadi barang sehingga diketahui sifat dan wujudnya. Kedua, barang yang belum  jadi  barang  atau  b elum  dibuat  sehingga  belum  bisa  diketahui  sifat  dan  wujudnya. Menurut Imam Malik dibolehkan jual beli barang yang belum jadi  barang  atau  belum  dibuat,  namun  harus  bisa  diketahui  lebih  dahulu  sifat  wujudnya  oleh  pembeli.  Menurut  Abu  Hanifah  dibolehkan  jual  beli  barang  yang  belum  jadi  barang  atau  belum  dibuat,  dan  belum  bisa  diketahui  lebih  dahulu sifat wujudnya oleh pembeli.
 Pandangan  kedua  ulama  tersebut  (Imam  Malik  dan  Abu  Hanifah)  berbeda dengan pandangan Imam al-Syafi'i yang tidak membolehkan jual beli  barang yang tidak tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi.
 Sehubungan  dengan  itu,  menariknya  tema  ini  adalah  karena  di  desa  Waruk  Kecamatan  Karangbinangun  banyak  terjadi  jual  beli  ikan  dengan  penundahan penentuan harga  yang belu m di  buat. Dengan perkataan lain, di  desa  Waruk  Kecamatan  Karangbinangun  sudah  menjadi  tradisi,  dalam  penjualan hasil budidaya ikan tambak penjual pada waktu itu hendak menjual  hasil  budidaya ikan  tambak  tersebut kepada  agen  (pembeli),  namun  pembeli  bersedia memberi perkeranjang untuk mendapat barang yang di inginkan dan  tidak  mau  memberitahu  harganya  perkeranjang  kepada  penjual.  Sebelum  di  tiba di pasar lamongan dia menjual semua hasil budidaya ikan tambak tersebut  kepada  pembeli  lain.  Dan  ketika  itulah  pembeli/agen  tersebut  baru  mau  mengasih tahu berapa harga ikan yang di jual kepadanya.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi