Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam  pergaulan  atau  masyarakat  yang  sempurna.  Pernikahan   itu  bukan  saja  merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga  dan  keturunan,  tetapi  juga  dapat  dipandang  sebagai  satu  jalan  menuju  pintu  perkenalan  antara  suatu  kaum  dengan  kaum  lain,  dan  perkenalan  itu  akan  menjadi  jalan  untuk  menyampaikan  pertolongan  antara  satu  dengan  yang  lainnya.
 Pernikahan  merupakan  suatu ikatan  perkawinan  yang  menghalalkan  antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam pernikahan  dituntut  untuk  selalu  dapat  menjaga  dan  mempertahankan  keharmonisan   dan  keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta keluarga yang  sakinah  mawaddah wa  rohmah.  Namun,  terkadang  di  dalam  rumah  tangga  sering  terjadi  konflik  keluarga.  Hal  inilah  yang  dapat  menyebabkan  suatu  keluarga  tersebut  terjadi  perceraian.  Di  dalam  agama  Islam  perceraian  merupakan  perbuatan  yang  halal  namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu  aturan  hukum  yang  mengatur  pernikahan,  perceraian  hingga  kembali  bersatu  menjadi keluarga yang utuh. Pernikahan yang merupakan perkara  yang mulia di   Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.37, 2004, hlm.374   dalam  Islam  tidak  lagi  mereka  perhatikan.  Dengan  mudahnya  mereka  bercerai  dan  menikah  tanpa  memperhatikan  ketentuan-ketentuannya.  Sebagaimana  menikah ada ketentuannya, ketika terjadinya perceraian atau perpisahan juga ada  ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya ialah iddah.

Maka  sebelum  melakukan  rujuk  kepada  mantan  istri,  ada  suatu  permasalahan  yang  harus  dibahas  yaitu  iddah.  Iddah  ini  dibahas  guna  untuk  memberikan  pemahaman  kepada  setiap  muslim  bahwa  setelah  perceraian  dilakukan ada waktu tenggang kepada suami istri untuk memikirkannya.
 Sebenarnya masalah  iddah  secara umum adalah sesuatu yang sudah  disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh  nash al-Quran  maupun  Sunnah.  Akan  tetapi  ketika  iddah  tersebut  dihadapkan  pada  suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang berhenti haid  ketika  menjalani  masa  iddah  karena  menyusui,  maka  iddah  tersebut  menjadi  sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat.
Iddah  memang  merupakan  suatu  persoalan  yang  sangat  krusial  di  kalangan pemikir-pemikir zaman sekarang maupun dahulu. Selain dinilai sebagai  bias gender sehingga banyak mengundang para cendekiawan mengkaji esensi dari  iddah ini, para ulama terutama ulama fiqh juga masih memperdebatka n masalah   http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html .  didownload  pada  tanggal  27  Juni  2011 Pkl 22:21. WIB   iddah  karena  adanya  perkembangan  permasalahan  fiqh.  Hal  ini  tak  luput  dari  adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Iddah  adalah  suatu  masa  yang  mengharuskan  perempuan-perempuan  yang telah diceraikan suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, untuk menunggu  sehingga  sehingga  dapat  diyakinkan  bahwa  dalam  rahimnya  telah  berisi  atau  kososng  darri  kandungan.  Bila  rahim  perempuan  itu  telah  berisi  sel  yang  akan  menjadi  anak,  dalam  beriddah  itu  akan  kelihatan  tandanya.  Itulah  sebabnya  ia  diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan.
 Telah kita pahami bahwa iddah merupakan masa tunggu bagi mantan istri  dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh syara. Atau secara istilah,  iddah bisa diartikan sebagai masa tunggu yang ditetapkan oleh syara bagi wanita untuk  tidak  melakukan  akad  perkawinan  dengan  laki -laki  lain  dalam  masa  tersebut,  sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu,  dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan  suaminya itu.
Hitungan  iddah  itu  telah  ditentukan  sehingga  wajib  bagi  setiap  muslim  untuk mengikuti ketentuan itu. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 228 : Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan  Badan Peradilan Agama Islam, 2001, hlm.
 Ibnu  Masud,  Zainal  Abidin  S,  Fiqih  Madzab  Syafii,  buku  2  (Muamalat,  Munakahat,  Jinayat), Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, hlm. 372    Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga  kali quru”.
 Apabila si istri tidak mengalami haid karen usianya masih kecil misalnya  atau si istri telah menopause maka masa  iddahnya selama tiga bulan berdasarkan  firman Allah “Dan  perempuan-perempuan  yang  tidak  haid  lagi  (monopause)  di  antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa  iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu  (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq : 4)  Kata  Asy  Syaikh  Ibnu  „Utsaimin  :  “Apakah  wanita  tersebut  masih  mengalami  haid  namun  karena  penyakit  atau  sedang  menyusui  hingga  haidnya  berhenti maka iddahnya seperti wanita yg mengalami haid yang normal walaupun  masanya panjang untuk datangnya haid itu hingga ia mulai beriddah  dengannya.
Apabila  sebab  terhentinya  haid  telah  hilang  misalnya  telah  sembuh  dari  sakit  namun  haidnya  belum  juga  datang  maka  ia  beriddah  selama  satu  tahun  penuh  sejak hilangnya sebab tersebut.  Iddah  setahun tersebut dengan perincian sembilan  bulan darinya dalam rangka berjaga-jaga dari kemungkinan hamil dan tiga bulan  darinya untuk iddah. Adapun bila talak dijatuhkan setelah akad sebelum berduaan  dan bersetubuh maka tidak ada iddah bagi wanita tersebut.
 Yayasan  Penyelenggara  Penterjemah  Al-Quran,  Al-Quran  dan  Terjemahannya,  Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008, hlm.
 Ibid, hlm. 558.
 http://rokhman.page.tl/Hukum-dan-masail-haid.htm.  didownload  pada  tanggal   28  Juni  2011 Pkl 02:28. WIB   Berdasarkan firman Allah SWT: “Wahai  orang-orang  yg  beriman  apabila  kalian  menikahi  wanitawanita Mukminah kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian  sentuh  maka  tidak  ada  kewajiban  atas  mereka  iddah  bagi  kalian  yang kalian minta menyempurnakannya. (QS.Al Ahzab : 49)”  Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada Bagian kedua pasal 153  ayat (5) waktu  tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani  iddah  tidak  haid  karena  menyusui,  maka  iddahnya  tiga  kali  waktu  suci.  Dan  di  jelaskan dalam ayat (6) dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui,  maka  iddahnya  selama  satu  tahun,  akan  tetapi  bila  dalam  waktu  satu  tahun  tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
 Dimuka telah dikatakan, andaikata seorang wanita telah dewasa tetapi dia  belum pernah mengalami haid sama sekali dan dicerai oleh suami maka  iddahnya  tiga bulan kesepakatan para ulama madzab, dan apabila dia mengalami haid, dan  berhenti  karena  menyusui  atau  karena  penyakit  maka  para  ulama  berbeda  pendapat Ulama Hambali dan Ulama Maliki berpendapat bahwa  iddahnya wanita  yang berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka  iddahnya  satu tahun  penuh.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi