BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Nikah adalah salah satu asas
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna.
Pernikahan itu bukan
saja merupakan satu jalan yang
amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga
dapat dipandang sebagai
satu jalan menuju
pintu perkenalan antara
suatu kaum dengan
kaum lain, dan
perkenalan itu akan menjadi jalan
untuk menyampaikan pertolongan
antara satu dengan
yang lainnya.
Pernikahan
merupakan suatu ikatan perkawinan
yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan
suami istri. Di dalam pernikahan dituntut untuk
selalu dapat menjaga
dan mempertahankan keharmonisan
dan keutuhan rumah tangga,
sehingga tercipta keluarga yang
sakinah mawaddah wa rohmah.
Namun, terkadang di
dalam rumah tangga
sering terjadi konflik keluarga.
Hal inilah yang
dapat menyebabkan suatu
keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama
Islam perceraian merupakan
perbuatan yang halal namun
sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan
hukum yang mengatur
pernikahan, perceraian hingga
kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh. Pernikahan yang
merupakan perkara yang mulia di Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar
Baru Algensindo, cet.37, 2004, hlm.374 dalam Islam
tidak lagi mereka
perhatikan. Dengan mudahnya
mereka bercerai dan
menikah tanpa memperhatikan
ketentuan-ketentuannya. Sebagaimana
menikah ada ketentuannya, ketika
terjadinya perceraian atau perpisahan juga ada ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya
ialah iddah.
Maka sebelum
melakukan rujuk kepada
mantan istri, ada
suatu permasalahan yang
harus dibahas yaitu
iddah. Iddah ini
dibahas guna untuk memberikan pemahaman
kepada setiap muslim
bahwa setelah perceraian dilakukan ada waktu tenggang kepada suami
istri untuk memikirkannya.
Sebenarnya masalah iddah
secara umum adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah
dijelaskan secara eksplisit oleh nash al-Qur‟an maupun Sunnah.
Akan tetapi ketika
iddah tersebut dihadapkan
pada suatu peristiwa yang tidak
lazim, seperti seorang perempuan yang berhenti haid ketika
menjalani masa iddah
karena menyusui, maka
iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian
secara cermat.
Iddah memang
merupakan suatu persoalan
yang sangat krusial
di kalangan pemikir-pemikir zaman
sekarang maupun dahulu. Selain dinilai sebagai bias gender sehingga banyak mengundang para
cendekiawan mengkaji esensi dari iddah
ini, para ulama‟ terutama ulama‟ fiqh juga masih memperdebatka n masalah http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html
. didownload pada
tanggal 27 Juni 2011
Pkl 22:21. WIB iddah karena
adanya perkembangan permasalahan
fiqh. Hal ini
tak luput dari adanya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Iddah
adalah suatu masa
yang mengharuskan perempuan-perempuan yang telah diceraikan suaminya, baik cerai
mati atau cerai hidup, untuk menunggu sehingga sehingga
dapat diyakinkan bahwa
dalam rahimnya telah
berisi atau kososng
darri kandungan. Bila
rahim perempuan itu
telah berisi sel
yang akan menjadi
anak, dalam beriddah
itu akan kelihatan
tandanya. Itulah sebabnya ia diharuskan
menunggu dalam masa yang ditentukan.
Telah kita pahami bahwa iddah merupakan masa
tunggu bagi mantan istri dalam waktu
tertentu yang telah ditetapkan oleh syara‟. Atau
secara istilah, iddah bisa
diartikan sebagai masa tunggu yang ditetapkan oleh syara ‟ bagi wanita untuk tidak melakukan
akad perkawinan dengan
laki -laki lain dalam
masa tersebut, sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya
atau perceraian dengan suaminya itu, dalam
rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya itu.
Hitungan iddah
itu telah ditentukan
sehingga wajib bagi
setiap muslim untuk mengikuti ketentuan itu. Seperti dalam
surat Al-Baqarah ayat 228 : Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001, hlm.
Ibnu
Mas‟ud, Zainal Abidin
S, Fiqih Madzab
Syafi‟i,
buku 2 (Muamalat,
Munakahat, Jinayat), Cet.
II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, hlm. 372
Artinya : “Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.
Apabila si istri tidak mengalami haid karen
usianya masih kecil misalnya atau si
istri telah menopause maka masa iddahnya
selama tiga bulan berdasarkan firman
Allah “Dan perempuan-perempuan yang
tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
(QS. Ath-Thalaq : 4) Kata Asy
Syaikh Ibnu „Utsaimin
: “Apakah wanita
tersebut masih mengalami
haid namun karena
penyakit atau sedang
menyusui hingga haidnya berhenti maka iddahnya seperti wanita yg
mengalami haid yang normal walaupun masanya
panjang untuk datangnya haid itu hingga ia mulai beriddah dengannya.
Apabila sebab
terhentinya haid telah
hilang misalnya telah
sembuh dari sakit namun haidnya
belum juga datang
maka ia beriddah
selama satu tahun
penuh sejak hilangnya sebab
tersebut. Iddah setahun tersebut dengan perincian sembilan bulan darinya dalam rangka berjaga-jaga dari
kemungkinan hamil dan tiga bulan darinya
untuk iddah. Adapun bila talak dijatuhkan setelah akad sebelum berduaan dan bersetubuh maka tidak ada iddah bagi
wanita tersebut.
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan
Terjemahannya, Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2008, hlm.
Ibid, hlm. 558.
http://rokhman.page.tl/Hukum-dan-masail-haid.htm. didownload
pada tanggal 28
Juni 2011 Pkl 02:28. WIB Berdasarkan firman Allah SWT: “Wahai orang-orang
yg beriman apabila
kalian menikahi wanitawanita Mukminah kemudian kalian
ceraikan mereka sebelum kalian sentuh maka
tidak ada kewajiban
atas mereka iddah
bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. (QS.Al
Ahzab : 49)” Dalam Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan pada Bagian kedua pasal 153 ayat
(5) waktu tunggu bagi istri yang pernah
haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak
haid karena menyusui,
maka iddahnya tiga
kali waktu suci.
Dan di jelaskan dalam ayat (6) dalam hal keadaan pada
ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya
selama satu tahun,
akan tetapi bila
dalam waktu satu
tahun tersebut ia berhaid
kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
Dimuka telah dikatakan, andaikata seorang
wanita telah dewasa tetapi dia belum
pernah mengalami haid sama sekali dan dicerai oleh suami maka iddahnya tiga bulan kesepakatan para ulama‟ madzab, dan apabila dia mengalami haid, dan berhenti
karena menyusui atau
karena penyakit maka
para ulama‟ berbeda pendapat Ulama‟ Hambali
dan Ulama‟ Maliki berpendapat bahwa
iddahnya wanita yang
berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka iddahnya
satu tahun penuh.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi