Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI HASIL BUDIDAYA IKAN TAMBAK ( STUDI KASUS PRAKTEK JUAL BELI IKAN DENGAN PENUNDAHAN PENENTUAN HARGA DI DESA WARUK KEC. KARANGBINANGUN KAB. LAMONGAN)


BAB I  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Manusia  pada  umumnya  dilahirkan  seorang  diri,  namun  demikian  hidupnya  harus bermasyarakat.  Dalam  hal  ini  Allah  SWT  telah  menjadikan  manusia  masing-masing  berhajat  kepada  yang  lain,  agar  mereka  tolong  menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup  masing-masing,  baik  dengan  jual  beli,  sewa  menyewa,  bercocok  tanam,  dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Keterangan di atas menjadi indikator bahwa manusia untuk memenuhi  kebutuhannya  memerlukan  orang  lain.  Salah  satu  kebutuhan  yang  memerlukan  interaksi dengan orang  lain adalah akad jual beli. Peristiwa  ini  terjadi  dalam  kehidupan  sehari-hari  yang  menimbulkan  akibat  hukum  yaitu  akibat sesuatu tindakan hukum.
 Dalam  hukum  Islam,  secara  etimologi  jual  beli  adalah  menukarkan  sesuatu  dengan  sesuatu  yang  lain,  sedangkan  menurut  syara’  ialah  menukarkan  harta  dengan  harta.
 Syekh  Muhammad  ibn  Qasyim  al-Gazzi  menerangkan: Surojo Wignyodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983, Cet ke-3,  hlm. 38.

 Syekh  Zainuddin  bin  Abd  al-Aziz  al-Malibari,  Fath  al-  Mu’in  Bi  Sarkh  Qurrah  al-‘Uyun, Semarang: Karya Toha Putra, tth, hlm. 66: Jual beli itu menurut bahasanya ialah suatu bentuk akad penyerahan  sesuatu  dengan  sesuatu  yang  lain.  Karena  itu  akad  ini  memasukkan  juga  segala  sesuatu  yang  tidak  berupa  uang,  seperti tuak. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jual  beli  yang  paling  benar  ialah  memiliki  sesuatu  harta  (uang)  dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara’, atau sekedar  memiliki  manfaatnya  saja  yang  diperbolehkan  syara’untuk  selamanya,  dan  yang  demikian  itu  harus  dengan  melalui  pembayaran yang berupa uang.
Dalam  kitabnya,  Sayyid  Sabiq  merumuskan,  jual  beli  menurut  pengertian  lughawinya  adalah  saling  menukar  (pertukaran),  sedang  menurut  pengertian syari’at, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau  memindahkan  milik  dengan  ganti  yang  dapat  dibenarkan.
 Jual  beli  dibenarkan  oleh  al-Qur’an,  as-Sunnah dan  ijma  umat.  Landasan  Qur’aninya,  firman Allah: “  Dan  Allah  menghalalkan  jual  beli  dan  mengharamkan  riba  (alBaqarah: 275)  Landasan sunnahnya sabda Rasulullah SAW.
( ٦ Artinya:  Dari  Rifa’ah  bin  Rafi’  r.a.  (katanya):  Sesungguhnya  Nabi  Muhammad  SAW.  pernah  ditanya,  manakah  usaha  yang  paling baik? beliau menjawab :  ialah amal usaha seseorang   Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, Kairo: Juz III,  Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147.
 Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, Kairo: Juz III,  Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147.
 Yayasan  Penyelenggara  Penterjemah  Pentafsir  al-Qur’an,  Al-Qur’an dan  Terjemahnya,  Depag RI: Surabaya, 1980, hlm. 69.
 Sayyid  al-Imam  Muhammad  Ibn  Ismail  al-Kahlani  Al-San’ani,  Subul  al-Salam,  Kairo:  Juz III, Dâr  Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960, hlm. 4   dengan  tangannya  sendiri  dan  semua  jual  beli  yang  bersih.
(HR. al-Bazzar, dan dinilai Shahih oleh al-Hakim).
Landasan ijmanya, para ulama sepakat bahwa jual beli diperbolehkan  dengan  alasan  bahwa  manusia  tidak  akan  mampu  mencukupi  kebutuhan  dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik  orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang  sesuai.
 Jual  beli  itu  dihalalkan,  dibenarkan  agama,  asal  memenuhi  syaratsyarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’  Mujtahidin)  tak  ada  khilaf  padanya.  Memang  dengan  tegas-tegas  al-Qur’an  menerangkan  bahwa  menjual  itu  halal,  sedang  riba  diharamkan.
 Sejalan  dengan itu dalam jual beli ada persyaratan  yang harus dipenuhi, di antaranya  menyangkut  barang  yang  dijadikan  objek  jual  beli  yaitu  barang  yang  diakadkan  harus  ada  ditangan  si  penjual,  artinya  barang  itu  ada  di  tempat,  diketahui  dan  dapat  dilihat  pembeli  pada  waktu  akad  itu  terjadi.  Hal  ini  sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq: Adapun tentang syarat barang yang diakadkan ada enam yaitu (1)  bersihnya  barang.  (2)  dapat  dimanfaatkan.  (3)  milik  orang  yang  melakukan akad. (4) mampu menyerahkannya. (5) mengetahui. (6)  barang yang diakadkan ada di tangan.
Dalam  kaitan  ini  Ibnu  Rusyd  menjelaskan,  barang-barang  yang  diperjual belikan itu ada dua macam: pertama, barang yang benar-benar sudah   Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.
 T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang:  PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.
 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 150.
 jadi barang sehingga diketahui sifat dan wujudnya. Kedua, barang yang belum  jadi  barang  atau  b elum  dibuat  sehingga  belum  bisa  diketahui  sifat  dan  wujudnya. Menurut Imam Malik dibolehkan jual beli barang yang belum jadi  barang  atau  belum  dibuat,  namun  harus  bisa  diketahui  lebih  dahulu  sifat  wujudnya  oleh  pembeli.  Menurut  Abu  Hanifah  dibolehkan  jual  beli  barang  yang  belum  jadi  barang  atau  belum  dibuat,  dan  belum  bisa  diketahui  lebih  dahulu sifat wujudnya oleh pembeli.
 Pandangan  kedua  ulama  tersebut  (Imam  Malik  dan  Abu  Hanifah)  berbeda dengan pandangan Imam al-Syafi'i yang tidak membolehkan jual beli  barang yang tidak tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi.
 Sehubungan  dengan  itu,  menariknya  tema  ini  adalah  karena  di  desa  Waruk  Kecamatan  Karangbinangun  banyak  terjadi  jual  beli  ikan  dengan  penundahan penentuan harga  yang belu m di  buat. Dengan perkataan lain, di  desa  Waruk  Kecamatan  Karangbinangun  sudah  menjadi  tradisi,  dalam  penjualan hasil budidaya ikan tambak penjual pada waktu itu hendak menjual  hasil  budidaya ikan  tambak  tersebut kepada  agen  (pembeli),  namun  pembeli  bersedia memberi perkeranjang untuk mendapat barang yang di inginkan dan  tidak  mau  memberitahu  harganya  perkeranjang  kepada  penjual.  Sebelum  di  tiba di pasar lamongan dia menjual semua hasil budidaya ikan tambak tersebut  kepada  pembeli  lain.  Dan  ketika  itulah  pembeli/agen  tersebut  baru  mau  mengasih tahu berapa harga ikan yang di jual kepadanya.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi