BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia pada
umumnya dilahirkan seorang
diri, namun demikian hidupnya
harus bermasyarakat. Dalam hal
ini Allah SWT
telah menjadikan manusia
masing-masing berhajat kepada
yang lain, agar
mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala
urusan kepentingan hidup masing-masing, baik
dengan jual beli,
sewa menyewa, bercocok
tanam, dalam urusan diri sendiri
maupun untuk kemaslahatan umum.
Keterangan di atas menjadi
indikator bahwa manusia untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan
orang lain. Salah
satu kebutuhan yang memerlukan interaksi dengan orang lain adalah akad jual beli. Peristiwa ini terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang
menimbulkan akibat hukum
yaitu akibat sesuatu tindakan
hukum.
Dalam
hukum Islam, secara
etimologi jual beli
adalah menukarkan sesuatu
dengan sesuatu yang
lain, sedangkan menurut
syara’ ialah menukarkan
harta dengan harta.
Syekh
Muhammad ibn Qasyim
al-Gazzi menerangkan: Surojo
Wignyodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983, Cet ke-3, hlm. 38.
Syekh
Zainuddin bin Abd
al-Aziz al-Malibari, Fath
al- Mu’in Bi
Sarkh Qurrah al-‘Uyun, Semarang: Karya Toha Putra, tth,
hlm. 66: Jual beli itu menurut bahasanya ialah suatu bentuk akad penyerahan sesuatu
dengan sesuatu yang
lain. Karena itu
akad ini memasukkan
juga segala sesuatu
yang tidak berupa
uang, seperti tuak. Sedangkan
menurut syara’, maka pengertian jual beli yang
paling benar ialah
memiliki sesuatu harta
(uang) dengan mengganti sesuatu
atas dasar izin syara’, atau sekedar memiliki manfaatnya
saja yang diperbolehkan
syara’untuk selamanya, dan
yang demikian itu
harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.
Dalam kitabnya,
Sayyid Sabiq merumuskan,
jual beli menurut pengertian
lughawinya adalah saling
menukar (pertukaran), sedang
menurut pengertian syari’at, jual
beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan
milik dengan ganti
yang dapat dibenarkan.
Jual
beli dibenarkan oleh
al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma
umat. Landasan Qur’aninya, firman Allah: “ Dan
Allah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan
riba (alBaqarah: 275) Landasan sunnahnya sabda Rasulullah SAW.
ﺐ
( ٦ Artinya: Dari
Rifa’ah bin Rafi’
r.a. (katanya): Sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW.
pernah ditanya, manakah
usaha yang paling baik? beliau menjawab : ialah amal usaha seseorang Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, Kairo: Juz
III, Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm.
147.
Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, Kairo: Juz
III, Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm.
147.
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Pentafsir
al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI: Surabaya, 1980, hlm. 69.
Sayyid
al-Imam Muhammad Ibn
Ismail al-Kahlani Al-San’ani,
Subul al-Salam, Kairo: Juz III, Dâr
Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960, hlm. 4 dengan
tangannya sendiri dan
semua jual beli
yang bersih.
(HR. al-Bazzar, dan dinilai
Shahih oleh al-Hakim).
Landasan ijmanya, para ulama
sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak
akan mampu mencukupi
kebutuhan dirinya, tanpa bantuan
orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Jual
beli itu dihalalkan,
dibenarkan agama, asal
memenuhi syaratsyarat yang
diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’ Mujtahidin)
tak ada khilaf
padanya. Memang dengan
tegas-tegas al-Qur’an menerangkan
bahwa menjual itu
halal, sedang riba
diharamkan.
Sejalan dengan itu dalam jual beli ada
persyaratan yang harus dipenuhi, di
antaranya menyangkut barang
yang dijadikan objek
jual beli yaitu
barang yang diakadkan
harus ada ditangan
si penjual, artinya
barang itu ada
di tempat, diketahui
dan dapat dilihat
pembeli pada waktu
akad itu terjadi.
Hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq: “Adapun tentang syarat barang
yang diakadkan ada enam yaitu (1) bersihnya barang.
(2) dapat dimanfaatkan.
(3) milik orang
yang melakukan akad. (4) mampu
menyerahkannya. (5) mengetahui. (6) barang
yang diakadkan ada di tangan.
Dalam kaitan
ini Ibnu Rusyd
menjelaskan, barang-barang yang diperjual
belikan itu ada dua macam: pertama, barang yang benar-benar sudah Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.
T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh
Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 150.
jadi barang sehingga diketahui sifat dan
wujudnya. Kedua, barang yang belum jadi barang
atau b elum dibuat
sehingga belum bisa
diketahui sifat dan wujudnya.
Menurut Imam Malik dibolehkan jual beli barang yang belum jadi barang
atau belum dibuat,
namun harus bisa
diketahui lebih dahulu
sifat wujudnya oleh
pembeli. Menurut Abu
Hanifah dibolehkan jual
beli barang yang
belum jadi barang
atau belum dibuat,
dan belum bisa
diketahui lebih dahulu sifat wujudnya oleh pembeli.
Pandangan
kedua ulama tersebut
(Imam Malik dan
Abu Hanifah) berbeda dengan pandangan Imam al-Syafi'i yang
tidak membolehkan jual beli barang yang
tidak tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi.
Sehubungan
dengan itu, menariknya
tema ini adalah
karena di desa Waruk Kecamatan
Karangbinangun banyak terjadi
jual beli ikan
dengan penundahan penentuan
harga yang belu m di buat. Dengan perkataan lain, di desa
Waruk Kecamatan Karangbinangun sudah
menjadi tradisi, dalam penjualan
hasil budidaya ikan tambak penjual pada waktu itu hendak menjual hasil
budidaya ikan tambak tersebut kepada agen
(pembeli), namun pembeli bersedia memberi perkeranjang untuk mendapat
barang yang di inginkan dan tidak mau
memberitahu harganya perkeranjang
kepada penjual. Sebelum
di tiba di pasar lamongan dia
menjual semua hasil budidaya ikan tambak tersebut kepada
pembeli lain. Dan
ketika itulah pembeli/agen
tersebut baru mau mengasih
tahu berapa harga ikan yang di jual kepadanya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi