BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia merupakan
makhluk sosial, yang artinya manusia tidak bisa hidup sendiri dalam
memenuhi kebutuhan untuk
mempertahankan hidupnya. Oleh
sebab itu, sudah seharusnya manusia
saling tolong menolong.
Disadari atau tidak,
dalam hidup bermasyarakat manusia selalu berhubungan satu
dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena
pada suatu saat
seseorang memiliki sesuatu
yang dibutuhkan orang
lain, sedangkan orang
lain membutuhkan sesuatu
yang dimiliki seseorang
tersebut, sehingga terjadilah hubungan saling memberi dan
menerima.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman ”
Dan tolong menolonglah
kamu dalam kebajikan
dan taqwa, dan
janganlah tolong menolonglah
dalam berbuat dosa dan
kebajikan, dan bertaqwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.
(QS. Al -Maidah : 2) Sebagaimana perekonomian
sebagai salah satu
sakaguru kehidupan negara.
Perekonomian negara
yang kokoh juga
akan mampu menjamin
kesejahteraan rakyat.
Untuk itu
Allah memberi inspirasi
kepada mereka untuk
mengadakan penukaran dan semua yang kiranya bermanfaat
dengan jalan jual
beli dan semua
cara penghitungan, sehingga
hidup manusia dapat
berdiri dengan lurus
dan mekanisme hidup
ini bekerja dengan baik dan produktif.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim Dan
Terjemah Bahasa Indonesia (Ayat Pojok), Kudus: Menara Kudus, hlm.106 Dengan
berkembangnya teknologi telah
mendorong masyarakat untuk mengadakan spesialisasi
produksi. Dalam tingkatan
ini orang tidak
lagi memproduksi untuk dirinya sendiri, melainkan mereka
memproduksi untuk pasar. Dalam hal ini muncul peranan jual beli atau perdagangan.
Jual beli
secara umum adalah suatu
perjanjian, dengan perjanjian itu kedua belah pihak mengatakan dirinya untuk menyerahkan hak
milik atas suatu barang dan pihak yang lain
membayar harga yang telah dijanjikan.
Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan langsung dan dapat pula dengan lelang.
Cara jual beli dengan sistem lelang dalam fiqih disebut Muzayyadah.
Muzayyadah adalah salah satu jenis jual beli
di mana penjual menawarkan barang dagangannya di
tengah-tengah keramaian, lalu
para pembeli saling
menawar dengan harga yang lebih tinggi sampai pada harga yang
paling tinggi dari salah satu pembeli, lalu terjadilah akad dan pembeli tersebut mengambil
barang dari penjual.
Lelang masa kini tidak hanya terjadi pada
lembaga informal saja, lembaga formal juga banyak
yang melaksanakan proses
lelang. Khususnya lembaga
yang mempunyai produk gadai seperti pada Lembaga Keuangan
yaitu Pegadaian Syariah.
Dalam Pegadaian
Syariah sistem lelang
berlaku bagi nasabah,
apabila nasabah tersebut tidak mampu membayar utangnya setelah
jatuh tempo. Penjualan barang gadai setelah
jatuh tempo adalah
sah. Hal itu,
sesuai dengan maksud
dari pengertian hakikat gadai itu sendiri, yakni sebagai keperca yaan dari suatu utang
untuk dipenuhi harganya, bila yang
berutang tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang. Karena A. M. Syaefuddin, Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, Jakarta
: Dirjen Lembaga Islam Depag RI, 1997, hlm.
Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam Juz. III,
Beirut : Darul Kutub Al -Ilmiyah, 1995, hlm.
Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib Al-Arba’ah Juz. II
, Beirut Libanon, 1992, hlm.
257 itu,
barang gadai dapat
dijual untuk membayar
utang, dengan cara
mewakilkan penjualannya kepada
orang yang adil dan terpercaya.
Jual beli
sistem lelang merupakan
suatu sarana yang
sangat tepat untuk menampung
para pembeli untuk mendapatkan barang yang telah diinginkannya. Sehingga benar-benar apa yang telah diinginkannya telah
tercapai. Jual beli dengan sistem lelang juga
harus mempunyai sistem
menajemen yang professional
dalam menjalankan tugas dan perannya
di masyarakat. Sehingga
pelelangan yang terjadi
merupakan pelelangan yang berbasis keadilan, yaitu harga yang
digunakan harus adil.
Islam mengartikan
harga sebagai harga
yang adil yaitu
harga yang diserahkan pada
keseimbangan pasar.
Harga
diserahkan kepada hukum
pasar untuk memainkan perannya secara wajar, sesuai dengan penawaran
dan permintaan yang ada.
Kesalahan dalam penentuan
harga dapat menimbulkan
berbagai konsekuensi dan dampaknya berjangkauan
jauh. Tindakan penetapan
harga yang melanggar
etika dapat menyebabkan
para pelaku usaha
tidak disukai oleh
para pembeli, bahkan
para pembeli dapat melakukan
suatu reaksi yang dapat menjatuhkan nama baik pelaku usaha. Apabila kewenangan
harga tidak berada
pada pelaku usaha
melainkan berada pada
kebijakan pemerintah, maka
penentuan harga yang tidak diinginkan oleh para pembeli (dalam hal
ini
sebagian masyarakat) bisa
mengakibatkan suatu reaksi
penolakan oleh banyak orang/kalangan.
Tetapi,
seringkali harga pasar
yang tercipta dianggap
tidak sesuai dengan kebijakan dan keadaan perekonomian secara keseluruhan. Dalam dunia nyata
mekanisme http://hargyangadill.blogspot.com/2011/02/definisi-harga-menurut-islam.html diakses
pada 30 -03-2012 pukul 14.35.
Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, Solo:
Era Intermedia,2003, hlm.
http://www.daneprairie.com. Diakses pada
26-03- 2012 pukul 20.30 pasar
terkadang tidak dapat
berjalan dengan baik
karena adanya berbagai
faktor yang mendistorsinya.
Sebagaimana jual
beli dalam kasus
lelang, dalam pematokan
harga banyak triktrik kotor berupa komplotan lelang (auction ring) dan komplotan penawar (bidder’s ring) yaitu sekelompok pembeli
dalam lelang yang bersekongkol untuk menawar dengan harga rendah, dan jika berhasil kemudian dilelang
sendiri di antara mereka.
Pasar
lelang (auction market)
sendiri didefinisikan sebagai
suatu pasar terorganisir,
dimana harga menyesuaikan
diri terus menerus
terhadap penawaran dan permintaan,
serta biasanya dengan barang dagangan standar, jumlah penjual dan pembeli cukup besar dan tidak saling mengenal. Menurut
ketentuan yang berlaku di pasar tersebut, pelaksanaan
lelang dapat menggunakan
persyaratan tertentu seperti
si penjual dapat menolak tawaran
yang dianggapnya terlalu
rendah yaitu dengan
memakai batas harga terendah/cadangan
(reservation price) atau harga bantingan (upset price).
'� 7 s a �_ a '> ditiadakan. Timbul
masalah, bagaimana seandainya
harta wakaf tersebut
sudah tidak bermanfaat
lagi, ia akan
menjadi lebih bermanfaat
lagi apabila harta tersebut
diubah peruntukannya.
Menurut pendapat
Sayyid Sabiq, seperti
dikutip oleh Rahmadi
Usman dalam buku Hukum
Perwakafan di Indonesia,
bahwa apabila wakaf
telah terjadi maka tidak boleh
dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang
menghilangkan kewakafannya. Bila
orang yang berwakaf
mati, maka wakaf
tidak diwariskan. Sebab
yang demikian inilah
yang dikehendaki oleh wakaf
dan karena ucapan Rasulullah SAW, seperti yang disebut dalam hadits Artinya :
“Dari Ibnu Umar ra. berkata,
Umar telah menguasai tanah di Khaibar, kemudian
ia datang kepada
Nabi SAW guna
meminta instruksi sehubungan tanah tersebut. Ia berkata: “Ya
Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah
di Khaibar, yang
aku tidak menyenanginya
seperti padanya, apa
yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?” Beliau bersabda: “Jika kamu
menginginkan, tahanlah aslinya
dan sadaqahkan hasilnya.
Maka bersadaqahlah „Umar, tanah
tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan,
dan tidak diwariskan. Ia
mensadaqahkannya kepada orang-orang
fakir, budak-budak, pejuang di jalan Allah, ibnu sabil dan
tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya
memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang ma‟ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi