Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah:PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN KEMBALI HARTA SESERAHANPASCA PERCERAIAN (Studi Kasus di Desa Sindangjaya Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes)


 BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Setiap makhluk diciptakan saling berpasangan, begitu juga manusia. Jika  pada  makhluk  lain  untuk  berpasangan  tidak  memerlukan  tata  cara  dan  peraturan  tertentu,  tidak  demikian  dengan  manusia.  Pada  manusia  terdapat  beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan  untuk  hidup  bersama  pasangan,  baik  itu  peraturan  agama,  adat-istiadat  maupun sosial kemasyarakatan.
 Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan inilah istilah perkawinan  atau  pernikahan  disebutkan.  Perkawinan  merupakan  sebuah  upacara  penyatuan  dua  jiwa  manusia,  menjadi  sebuah  keluarga  melalui  akad  perjanjian  yang  diatur  oleh  agama.
  Penyatuan  antara  dua  manusia  menjadi  sakral  dan  agung  oleh  sebab  adanya  tata  cara  khusus  ini,  setiap  agama  memiliki tata cara peraturan tersendiri. Kesemuanya mengacu padasatu hal  yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mulia, mempunyai karunia  akal budi sehingga dalam banyak perilaku kehidupannya tidak sama dengan  makhluk lain seperti halnya binatang.
 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakat, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 11-12.
 M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, Yogyakarta:  Hanggar Kreator, 2008, hlm. 1.

 Perkawinan pertama-tama harus dipahami sebagai ikhtiar manusia untuk  menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggungjawab. Dari sini,  diharapkan  akan  terjalin  hubungan  kasih  sayang,  cinta,  dan  tanggungjawab  untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan  peradaban manusia.
 Sebagaimana  dipahami  dari  teks-teks  suci  Islam,  Al-Qur’an  dan  assunnah  (hadis  Nabi),  perkawinan  juga  dimaksudkan  sebagai  usaha  menyelamatkan  dan  mengamankan  alat-alat  kelamin  dari  berbagai  bentuk penyimpangan  seksual  yang  pada  gilirannya  dapat  merusak  fungsi-fungsi  reproduksi.  Jadi,  perkawinan  merupakan  sarana  atau  wahana  bagi  perkembangbiakan  manusia  seecara  sehat  dalam  arti  yang  seluas-luasnya,  baik menyangkut fisik, psikis, mental dan spiritual, serta sosial.
 Perkawinan  berasal  dari  kata  nikah  yang  menurut  bahasa  artinya  mengumpulkan,  saling  memasukan,  dan  digunakan  untuk  arti  bersetubuh  (wathi).
  Sedangkan  menurut  istilah  hukum  Islam,  perkawinan  menurut  syara’  yaitu  akad  yang  ditetapkan  syara’  untuk  membolehkan  bersenangsenang  antara  laki-laki  dengan  perempuan  dan  menghalalkan  bersenangsenangnya perempuan dengan laki-laki.
 Perkawinan  menurut  Kompilasi  Hukum  Islam  yaitu  akad  yang  sangat  kuat  atau  miitsaaqon  gholiidhan  untuk  menaati  perintah  Allah  dan   Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama Dan Gender,  Yogjakarta: LKiS, 2001, hlm. 105.
 Ibid, hlm. 105.
 Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam Juz 3, Bandung: Dahlan, t.t, Jilid 3,  hlm. 109.
 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, cet ke-3,  hlm 29.
 melaksanakannya  merupakan  ibadah.  Perkawinan  bertujuan  untuk  mewujudkan  kehidupan  rumah  tangga  yang  sakinah,  mawaddah,  dan  warahmah.
 Pengertian  pernikahan  ini  tidak  beda  jauh  dengan  Undang-Undang  Perkawinan  yang  menyebutkan  bahwa  perkawinan  adalah  ikatan  lahir  batin  anatara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum apabila sudah memenuhi  syarat-syarat  sah  dan  rukun  pernikahan.  Salah  satu  syarat  sah  pernikahan  adalah  dengan  adanya  pemberian  mahar atau  maskawin  kepada  calon  mempelai putri/calon isteri. Menurut kesepakatan para ulama,  maharadalah  pemberian wajib bagi calon suami kepada calon isteri yang merupakan salah  satu syarat sahnya pernikahan.
 Mahar secara  etimologi artinya  maskawin.  Secara  terminologi,  mahar adalah  pemberian  wajib  dari  calon  suami  kepada  calon  isteri  sebagai  ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang  isteri kepada calon suaminya.
 Kata  mahar ini  berasal  dari  bahasa  Arab  dan  telah  menjadi  bahasa  Indonesia terpakai, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai perkataan   Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hlm. 7.
 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Jakarta: Pradnya  Paramita, 2008, hlm. 537-538.
 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
101.
 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, Bandung: CV. Pustaka setia, 1999,  cet ke-1, hlm. 105.
 maskawin.
  Dalam  Al-Qur’an  kata  mahar tidak  digunakan,  akan  tetapi  digunakan kata shaduqah.
 Mahardalam bahasa Arab disebut dengan berbagai macam nama, yaitu:  mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba, ujr, uqar, dan alaiq,  tetapi ada juga  yang  mengatakan  dengan  kata  thaul.
  Keseluruhan  kata  tersebut  mengandung  arti  pemberian  wajib  sebagai  imbalan  dari  sesuatu  yang  diterima.
Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  mahar adalah  pemberian  dari  calon  mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang  atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
 Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita  dengan  memberi  hak  kepadanya,  di  antaranya  adalah  hak  untuk  menerima  mahar.  Maharhanya diberikan oleh calon suami kepada calon isteri, bukan  kepada  wanita  lainnya  atau  siapa  pun,  walaupun  sangat  dekat  dengannya.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi