BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap makhluk diciptakan saling berpasangan,
begitu juga manusia. Jika pada makhluk
lain untuk berpasangan
tidak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu,
tidak demikian dengan
manusia. Pada manusia
terdapat beberapa ketentuan yang
merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk
hidup bersama pasangan,
baik itu peraturan
agama, adat-istiadat maupun sosial kemasyarakatan.
Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan
inilah istilah perkawinan atau pernikahan
disebutkan. Perkawinan merupakan
sebuah upacara penyatuan
dua jiwa manusia,
menjadi sebuah keluarga
melalui akad perjanjian
yang diatur oleh
agama.
Penyatuan
antara dua manusia
menjadi sakral dan
agung oleh sebab
adanya tata cara
khusus ini, setiap
agama memiliki tata cara
peraturan tersendiri. Kesemuanya mengacu padasatu hal yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang
mulia, mempunyai karunia akal budi
sehingga dalam banyak perilaku kehidupannya tidak sama dengan makhluk lain seperti halnya binatang.
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakat, Jakarta:
Kencana, 2006, hlm. 11-12.
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan
Perkawinan Adat Jawa, Yogyakarta: Hanggar
Kreator, 2008, hlm. 1.
Perkawinan pertama-tama harus dipahami sebagai
ikhtiar manusia untuk menyalurkan hasrat
seksualnya secara sah dan bertanggungjawab. Dari sini, diharapkan
akan terjalin hubungan
kasih sayang, cinta,
dan tanggungjawab untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang
akan meneruskan perjalanan peradaban
manusia.
Sebagaimana
dipahami dari teks-teks
suci Islam, Al-Qur’an
dan assunnah (hadis
Nabi), perkawinan juga
dimaksudkan sebagai usaha menyelamatkan dan
mengamankan alat-alat kelamin
dari berbagai bentuk penyimpangan seksual
yang pada gilirannya
dapat merusak fungsi-fungsi reproduksi.
Jadi, perkawinan merupakan
sarana atau wahana
bagi perkembangbiakan manusia
seecara sehat dalam
arti yang seluas-luasnya, baik menyangkut fisik, psikis, mental dan
spiritual, serta sosial.
Perkawinan
berasal dari kata
nikah yang menurut
bahasa artinya mengumpulkan,
saling memasukan, dan
digunakan untuk arti
bersetubuh (wathi).
Sedangkan
menurut istilah hukum
Islam, perkawinan menurut syara’
yaitu akad yang
ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenangsenang antara
laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenangsenangnya perempuan dengan laki-laki.
Perkawinan
menurut Kompilasi Hukum
Islam yaitu akad
yang sangat kuat
atau miitsaaqon gholiidhan
untuk menaati perintah
Allah dan Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi
Kiyai Atas Wacana Agama Dan Gender, Yogjakarta:
LKiS, 2001, hlm. 105.
Ibid, hlm. 105.
Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul
Al-Salam Juz 3, Bandung: Dahlan, t.t, Jilid 3, hlm. 109.
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh,
Beirut: Dar al-Fikr, 1989, cet ke-3, hlm
29.
melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Pengertian
pernikahan ini tidak
beda jauh dengan
Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir
batin anatara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum
apabila sudah memenuhi syarat-syarat sah
dan rukun pernikahan.
Salah satu syarat
sah pernikahan adalah
dengan adanya pemberian
mahar atau maskawin kepada
calon mempelai putri/calon
isteri. Menurut kesepakatan para ulama,
maharadalah pemberian wajib bagi
calon suami kepada calon isteri yang merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan.
Mahar secara
etimologi artinya maskawin. Secara
terminologi, mahar adalah pemberian
wajib dari calon
suami kepada calon
isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang isteri
kepada calon suaminya.
Kata
mahar ini berasal dari
bahasa Arab dan
telah menjadi bahasa Indonesia terpakai, akan tetapi di Indonesia
ada juga yang memakai perkataan Kompilasi
Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hlm. 7.
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,Jakarta: Pradnya Paramita,
2008, hlm. 537-538.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
101.
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat
I, Bandung: CV. Pustaka setia, 1999, cet
ke-1, hlm. 105.
maskawin.
Dalam
Al-Qur’an kata mahar tidak
digunakan, akan tetapi digunakan kata shaduqah.
Mahardalam bahasa Arab disebut dengan berbagai
macam nama, yaitu: mahar, shadaq,
nihlah, faridhah, hiba, ujr, uqar, dan alaiq,
tetapi ada juga yang mengatakan
dengan kata thaul.
Keseluruhan
kata tersebut mengandung
arti pemberian wajib
sebagai imbalan dari
sesuatu yang diterima.
Dalam Kompilasi Hukum
Islam mahar adalah pemberian
dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berbentuk barang, uang atau jasa
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai
kedudukan seorang wanita dengan memberi
hak kepadanya, di
antaranya adalah hak
untuk menerima mahar.
Maharhanya diberikan oleh calon suami kepada calon isteri, bukan kepada
wanita lainnya atau
siapa pun, walaupun
sangat dekat dengannya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi