BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah Dalam diskursus keagamaan kontemporer,
dijelaskan bahwa "agama" ternyata
mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti pemahaman orang-orang terdahulu, yakni
semata-mata hanya terkait dengan persoalan
ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya
yang memang mengasumsikan bahwa
persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama juga terkait erat dengan
persoalan-persoalan historis kultural
yang merupakan keniscayaan manusia.
Campur aduk masalah keagamaan dengan
kepentingan-kepentingan yang lain,
merupakan suatu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk dipecahkan. Apalagi terkait
masalah agama dengan politik kenegaraan.
Karena memang hal itu mempunyai multi tafsir, dan analisis serta sudut pandang yang berbeda dari para pemikir.
Wacana tentang hubungan antara
Islam dan politik, atau Islam dan negara
senantiasa menarik untuk dikaji. karena wacana tersebut juga melibatkan berbagai kalangan, baik itu dari
kiai, politisi, akademisi, partai maupun
negara, dan juga melintasi rentang waktu yang panjang dalam sejarah Moh Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam,h.5 politik di negeri ini. Wacana tersebut telah
melahirkan berbagai bentuk konflik dan
kompromi yang mencerminkan kekuatan sekaligus kelemahan kelompok Islam itu sendiri. Dengan kekuatan
dan kelemahan itu, Islam diharapkan bisa
lebih kongkrit berperan dalam kehidupan bernegara.
Ada beberapa hal yang menarik
perhatian para pemikir, aktifis dan ahli hukum muslim Indonesia selama kurang lebih
enam puluh tahun, sejak kemerdekaan
Indonesia. Mereka ingin membaharui muslim Indonesia dengan wajah yang baru dan dengan pemikiran yang baru
pula. Seperti kaum muslimin di belahan
dunia lainnya, kaum muslim Indonesia merespon beberapa persepsi tersebut secara berbeda.
Dari respon yang yang ada, kelompok muslim
dapat dikatagorisasikan menjadi beberapa
kelompok. Salah satu kelompok utama yang sering disebut dengan “santri”, yakni kelompok muslim yang
mengidentifikasi diri dengan kuat pada
keyakinan, ritual, dan fikih tradisional Islam Timur Tengah dan berupaya menyesuaikan budaya lokal, pemikiran
intelektual, dan istitusiinstitusi politik dengan sistem keagamaan tersebut.
Istilah santri ini menjadi istilah yang multi makna tergantung pada
konteks apa kata ini digunakan.
Dalam bahasa antropologi seperti
dikenalkan oleh Clifford Geertz, santri adalah varian yang dilawankatakan
dengan kata abangan, yang tidak memiliki gairah keIslaman lebih dari sekedar identitas
kependudukan. Sementara dalam Howard M.
Federspiel, Labirin Idiologi Muslim, h.7 Ibid,h.7 terma keagamaan di Indonesia, santribermakna
orang-orang yang pernah belajar di
pesantren.
Kelompok kedua yang sering disebut “muslim
puritan” masih terikat dengan
adat-istiadat dan nilai-nilai pribumi Asia Tenggara, yang kadangkadang
memperbaharui keyakinan dan ritual Islam agar terhubung dengan beberapa ciri penting dari nilai-nilai pribumi
dan menyukai teknologi serta mendukung
solusi-solusi politik yang tampak sesuai dengan sistem nilai ini.
Kelompok ketiga yang sering disebut dengan
“nasionalis”merespon pemikiran sekuler
barat tentang negara bangsa, tentang pentingnya nilai-nilai kewargaan yang muncul secara nasional, dan
tentang pengunaan teknologi untuk
menciptakan ekonomi nasional yang makmur.
Perbedaan ketiga kelompok tersebut di atas
terletak pada aspek interpretasi
ideologis yang melatarbelakangi aplikasi pikiran-pikiran kebangsaan mereka. Tujuannya sama mulia, yaitu
merealisasikan kedamaian, kemakmuran dan
kesejahteraan. Tetapi bagaimana menggapainya adalah hal yang berbeda. Inilah yang melahirkan perbedaan
simbol dan wacana di antara mereka.
Interaksi dari ketiga kelompok
ini merupakan faktor penting dalam perkembangan
kehidupan sosial dan politik di Indonesia pada abad yang lalu.
Ada problem-problem nyata dalam
masalah ini, tapi beberapa kategori Ibid,
h. 7 Ibid,h.8 Ibid. h.8 semacam ini penting untuk mengindentifikasi
kelompok-kelompok dalam kehidupan
masyarakat Indonesia saat ini.
Organisasi-organisasi Islam
utama, yang muncul di Indonesia pada abad
ke-20, antara lain Syarekat Islam, Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama’ dan Masyumi. Semuanya mewakili kelompok yang
menekankan keyakinankeyakinan dan praktek-praktek Islam Timur Tengah
Tradisional.
Semua mementingkan
keunggulan hukum Islam, walaupun konsep-konsep mereka tantang apa sebenarnya hukum Islam itu kabur
antara satu dengan yang lainnya.
Alasan-alasan yang menyebabkan
tidak terjadinya kesepakatan dan kekaburan
itu terletak pada perbedaan-perbedaan tentang apa yang sebenarnya membentuk sumber-sumber agama Islam, walaupun
ada perbedaan interpretasi tertentu
mengenai sumber-sumber ini. Kaum tradisionalis (kaum tua), yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama’,
meyakini bahwa kebenaran agama termuat
di dalam tulisan-tulisan ulama’ salaf, khususnya kitab yang ditulis oleh fuqaha’ dan para teolog.
Kaum modernis (kaum muda), yang
diwakili oleh Muhammadiyyah, berpendapat
bahwa penelitian dan interpretasi baru (ijtihad) terhadap dasardasar agama
harus dilakukan, bukan bertumpu pada tradisi para penafsir masa silam. Pendekatan ketiga mungkin lebih tepat
sebagai sesuatu variasi dari pendekatan
kaum modernis, yang diwakili oleh Persatuan Islam yang menjadi Ibid, h.8 salah satu materi pokok dalam penulisan
skripsi ini, yaitu memberikan penekanan
khusus pada makna penting al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber penelitian keagamaan.
Dari berbagai pandangan tentang kebenaran
agama yang termuat dalam al-Qur’an dan
Sunnah serta hubunganya dengan teori suatu negara Islam memang menjadi suatu masalah tersendiri.
Di dunia pesantren, sulit diperoleh suatu
karya yang berarti tentang masalah ini. Banyak kalangan yang berbicara tentang sebuah negara dengan agama,
namun sayangnya belum ada yang mampu
mengartikulasikan hakekat dan corak suatu negara yang ingin mereka ciptakan.
Federspiel mengolongkan kelompok masyarakat
yang memandang hakekat dan corak suatu
negara menjadi tiga.
Pertama,adalah golongan sekuler,
yakni golongan yang memisahkan antara
agama dan negara, mereka memandang bahwa antara agama dan negara tidak ada kaitannya, keduanya berjalan
sendiri-sendiri. Agama dipandang hanya
mengatur urusan individu dengan Tuhannya dan negara terlepas dari aturan-aturan agama itu. Negara
mempunyai cara sendiri untuk mengatur
pemerintahannya, dan tanpa agamapun suatu negara bisa berdiri sendiri.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi