BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
efektif merupakan dambaan setiap warga
negara di manapun. Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil
mereka kurang memperoleh perhatian dan
pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat
(pelayanan publik) dan penegakan hukum
yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance).
Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan
pemerintahan diwarnai dengan praktek
maladministrasi, antara lain terjadinya
korupsi, kolusi, nepotisme, sehingga
mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, demi terwujudnya
penyelenggaraan negara dan pemerintahan
yang efektif dan efesien, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari Sunaryati Hartono, dkk, Panduan Investigasi
Untuk Ombudsman Indonesia, h. 1 Pasal 1
ayat 3 UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, Maladministrasiadalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseoarangan.
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan
yang baik hanya dapat tercapai dengan
peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara
dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik.
Setalah reformasi bergulir, reformasi
mengamanatkan perubahan kehidupan
bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang demokratis.
Sejalan dengan semangat reformasi
itu, pemerintah melakukan perubahanperubahan mendasar dalam sistem
ketatanegaraan dan sistem pemerintahan Republik
Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan membentuk lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga
pemerintahan yang baru. Salah satu
diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut Ombudsman Nasional.
Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000, berdasarkan
Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
Penjelasan atas UU RI No. 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia Galang
Asmara, Ombudsman Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, h. 2 Untuk pertama kalinya anggota Komisi
Ombudsman Nasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, dan berjumlah 8
(delapan) orang termasuk seorang ketua dan seorang wakil ketua yang masing-masing merangkap
sebagai anggota. Mereka dilantik dan diambil sumpah pada tanggal 20 Maret 2000 di Istana Negara
oleh Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid. Adapun susunan keanggotaan Ombudsman
Nasional adalah sebagaimana berikut: Ketua merangkap anggota: Antonius Sujata, SH.; Wakil
Ketua merangkap anggota Prof. Dr. C. F. G.
Sunaryati Hartono, SH.;
anggota-anggota: 1. Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL; 2. Teten Masduki; 3.
Ir. Urip; 4. R.M. Surachman, SH;
5. Pradjoto, SH. MA; 6. KH. Masdar Mas’udi, MA.
Pembentukan lembaga Ombudsman bertujuan untuk
membantu menciptakan dan mengembangkan
kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) melalui peran serta masyarakat.
Dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, UUD 1945 dengan jelas membedakan
cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam
fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA),
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (mains state organs).
Adapun selain itu, seperti Komisi Yudisial,
Kepolisian Negara, Tentara Nasional
Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas
Persaiangan Usaha (KPPU), termasuk Ombudsman Republik Indonesia dan sebagainya adalah sebagai
lembaga negara bantu (state auxiliary bodies).
Selama ini kita memang telah memiliki lembaga
pengawas baik yang bersifat struktural
oleh Inspektorat Jenderal, maupun fungsional yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan terdapat lembaga
pengawas yang secara eksplisit dicantumkan
dalam Undang-Undang Dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
h. 209 ibid, h. 211 Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank
Indonesia. Selain itu, juga ada terdapat
organisasi non pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut
beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan
penyelenggaraan negara.
Akan tetapi kesemua lembaga itu memiliki
catatan tersendiri sehingga mengecewakan
masyarakat. Lembaga pengawas struktural yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri
karena secara organisatoris merupakan bagian
dari kelembagaan atau departemen. Pengawasan fungsional oleh Badan Pemeriksa Keuangan hanya sempit pada masalah
pengawasan uang negara dan tidak
menerima keluhan yang bersifat individual. Dewan Perwakilan Rakyat dengan fungsi pengawasannya kepada pemerintah
lebih bersifat politis karena memang
secara kelembagaan adalah lembaga politik dan tidak terlepas dari kelompok yang mereka wakili. Kemudian
pengawasan yang dilakukan oleh LSM karena
lembaga swasta dan kurang fokus sehingga sering ditanggapi “acuh tak acuh”. Oleh karena itu, keberadaan Ombudsman
sebagai lembaga negara yang mandiri dan
bebas dari kekuasaan manapun serta menerima pengaduan masyarakat sangat dibutuhkan.
Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional
pengaduan pelayanan publik hanya
disampaikan kepada instansi yang dilaporkan dan penegakannya sering dilakukan oleh pejabat yang dilaporkan
sehingga masyarakat belum memperoleh Antonius
Sujata, dkk., Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, h. 70 ibid:
71 - 72 perlindungan yang memadai.
Selain itu, untuk menyeleseikan pengaduan pelayanan publik, selama ini dilakukan dengan
mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Penyeleseian melalui pengadilan tersebut
memerlukan waktu cukup lama dan biaya
yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni Ombudsman Republik Indonesia yang dapat
menangani pengaduan pelayanan publik
dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya.
Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman
Republik Indonesia pada tanggal 7
oktober Tahun 2008, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi