Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK UNTUK KEADILAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Zakat merupakan salah satu kewajiban umat Islam, sebagaimana tersebut dalam rukun Islam yang keempat. Zakat menjadi sumber dana bagi kesejahteraan umat terutama untuk mengentaskan dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial.
  Dalam al-Quran terdapat 32 ayat zakat dan 82 kali diulang dengan mengunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata sedekah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting dalam Islam.
  Dari 32 ayat dalam al-Quran tersebut, 29 diantaranya menghubungkan ketentuan zakat dan salat. Rangkaian kata zakat dengan salat dalam al-Quran sering kali ditemukan secara konsisten. Hanya dalam tiga ayat ketentuan zakat tidak dirangkaikan dengan salat, yaitu 1. QS al Kahfi (18):  Artinya:Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
  Menurut mayoritas ulama, dalam redaksi yang berbeda-beda disimpulkan bahwa zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, dimana Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kapada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.

  Sebagaimana termaktub dalam al-Quran QS. at- Taubah (9): 103 yang berbunyi: Artinya:Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya do¶amu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
  Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrument dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 25.
  Didin Hafidhuddin, `Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 7.
  Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 273.
 Pada masa Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar ibn Khattab dan Umar ibn Affan, zakat di kelola oleh negara, bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar ibn Khattab dilakukan penyerangan terhadap penentang pembayar zakat.
 Kemudian seiring perkembangan wilayah Islam diberlakukan sistem pajak yang disebut dengan jizyahyang pada mulanya hanya diberlakukan kepada kalangan non muslim atas jaminan yang mereka terima dari negara.
  Pada masa Khalifah Umar ibn Affan terjadi tatkala pasukan muslimin baru saja berhasil menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saranísaran pembantunya memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan.
 Tanahítanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukkan dengan perjanjian damai tetap dianggap milik penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk diwilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.
 Penarikan pajak selanjutnya terus berlangsung meski dengan alasan yang berbedaíbeda. Seiring berjalannya waktu, hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik. Dimulai dengan kemunduran kaum muslimin, penjajahan Eropa, dan hegemoni peradaban barat sehingga hukumíhukum syar’i semakin ditinggalkan, dan sebaliknya hukumíhukum barat buatan manusia diutamakan. Kewajiban  Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 4.
 zakat disubordinasikan dan diganti dengan kewajiban pajak.
  Dalam perkembangannya persoalan zakat dan pajak merupakan salah satu persoalan yang banyak mendapat perhatian dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam. Persoalan ini muncul karena adanya dua kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Islam, yaitu kewajiban membayar pajak sebagai kewajiban seorang warga negara terhadap negaranya, dan kewajiban zakat yang merupakan perintah agama dan salah satu rukun Islam.
  Hal ini terlihat jelas dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang berbeda, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan (PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum muslimin sebagai suatu beban yang berat. Beban ini akan bertambah berat lagi jika kaum muslimin diwajibkan pula membayar pajak bumi bangunan (PBB) yang harus mereka bayar dengan uang atau harta simpanan yang telah dizakati. Makin berat lagi, tatkala kaum muslimin diwajibkan pula membayar pajak petambahan nilai (PPN), karena mengonsumsi barang/jasa tentu yang menurut pemerintah bukan kebutuhan pokok (sekunder/mewah).
  Kaum muslimin tidak boleh diberati dengan kewajiban berganda. Zakat yang sudah dipungut harus dijadikan sebagai pengurang ( kredit pajak) langsung, sehingga  Siti Arifah, ³Konstitusi Negara Berbicara  ³Zakat Mengurang Penghasilan Kena Pajak,´ http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=20&no=15, Download pada tanggal 08/07/2010.
  Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 23.
  Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 7.
 pajak yang harus dibayar kaum muslimin hanya tambahannya saja. Berdasarkan dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan, zakat dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan (biaya). Hal ini memang suatu perkembangan baru dalam aplikasi hukum Islam di Indonesia.
  Atas dasar pendekatan tersebut diatas, jelaslah kiranya bahwa kecenderungan selama ini untuk memisahkan zakat dengan lembaga upeti yang kini diperhalus menjadi pajak merupakan suatu cara pandang yang sesat dan menyesatkan. Sebagaimana kita alami, dengan anggapan itu, kita pun tenggelam dalam arus dikotomis untuk selalu memisahkan sesuatu yang duniawi dari yang ukhrawi.
 Dalam sejarah kehidupan Modern, dikotomis itu memuncak pada penghadapan yang sangat diyakini antara negara disatu pihak dan agama dipihak lain. Jika yang tersebut pertama memungut dari kantong rakyat dana wajib yang disebutnya pajak, maka yang kedua memungut dari kantong umat dana wajib yang disebutnya zakat. Yang pertama pusat kekuasaannya ada ditangan umara, sedang yang kedua pusat kekuasaanya ada ditangan ulama.
 Islam (ideal) sebagai agama fitrah, pemikiran dualisme yang dikotomistis itu tidaklah dikenal. Bahwa ada sesuatu yang bersifat duniawi disamping sesuatu yang bersifat ukhrawi adalah nyata. Seperti juga nyata bahwa disamping ada ruhani ada jasmani, ada jiwa, ada raga, ada tujuan, ada cara, ada nilai, ada lembaga, ada subtansi, ada bentuk, ada prinsip, ada prosedur dan seterusnya.
  Ibid., hlm. 221.
 Akan tetapi kedua hal yang disebut berbeda itu, bukan untuk dipisahkan.
 Melainkan supaya diesakan, disatukan dalam pola kesatuan dialektis (dialectical unity).Yaitu suatu pola kesatuan dimana kedua pihak saling mempersyaratkan yang lain demi terjadinya proses transformasi diri secara terus menerus menuju kesempurnaan yang (sebenarnya) tak terhingga. Dalam bahasa agama, kesempurnaan yang tak terhingga itulah Tuhan adanya. Demikianlah,  prinsip kesatuan dialektis yang fitrah ini yang seharusnya terus dapat dipertahankan, juga dalam hubungan antar agama dengan negara. Karena sekali dipisahkan dan kemudian dipersaingkan atau diperhadapkan satu terhadap yang lain, yang terjadi tentulah dosa yang sulit diampuni.
  Menurut Masdar Farid Mas’udi proses transformasi lembaga pajak/upeti ini digerakkan oleh Islam bukan dengan cara menyaingi atau menjajari lembaga pajak dengan lembaga zakat, seperti dipersepsi orang selama ini. Melainkan dengan cara merasukkan sepirit ajaran zakat ke dalam lembaga pajak. Zakat sebagai ruhnya pajak sebagai badannya, zakat sebagai komitmen spiritual moral, pajak sebagai ujud kelembagaan yang hendak menjadi ajang pengejawentahannya.
  Dan dalam terminologi Islam, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat disebut zakat, karena pajak dibayarkan bukan sebagai persembahan (udliyah) kapada raja, juga bukan sebagai imbalan jasa (jizyah) dengan negara,  Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadialan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,Jakarta: P3M, 1993, hlm. 97.
  Ibid., hlm. 100-104.
 melainkan sebagai sedekah lillah yang diamanatkan kepada negara/pemerintah.
  Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik ketika Masdar Farid Mas’udi berbicara tentang konsep penyatuan zakat dan pajak, dimana telah menjadi keyakinan umum bahwa zakat dan pajak merupakan dua kewajiban yang berbeda, bahwa zakat adalah kewajiban kepada Allah SWT dan hanya ditasarufkan kepada delapan asnaf. Sementara pajak merupakan kewajiban kepada negara dan ditasarufkan untuk kepentingan negara secara menyeluruh (umum). Dan bagaimana jika pemikiran Masdar Farid Mas’udi tersebut diterapkan di Indonesia apakah akan menyebabkan dampak yang baik bagi kelembagaan zakat maupun kelembagaan pajak. Untuk mengkaji lebih jauh pemikiran Masdar Farid Mas’udi beserta kerangka pemikirannya, penulis perlu melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Penyatuan Zakat Dan Pajak Untuk Keadilan Sosial” (Studi Pemikiran Masdar Farid Mas’udi).

 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat penulis rumuskan permasalahan yang akan menjadi inti dari pembahasan skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana konsep pemikiran Masdar Farid Mas’udi tentang zakat dan pajak? 2. Bagaimana metode penalaran hukum Masdar Farid Mas’udi terhadap penyatuan zakat dan pajak?  M. Tuwah dkk, Islam Humanis (Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2001, hlm. 105.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi