BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Zakat merupakan
salah satu kewajiban umat Islam, sebagaimana tersebut dalam rukun Islam yang
keempat. Zakat menjadi sumber dana bagi kesejahteraan umat terutama untuk
mengentaskan dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial.
Dalam
al-Quran terdapat 32 ayat zakat dan 82 kali diulang dengan mengunakan istilah
yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata sedekah dan infak.
Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi
dan peranan yang sangat penting dalam Islam.
Dari 32
ayat dalam al-Quran tersebut, 29 diantaranya menghubungkan ketentuan zakat dan
salat. Rangkaian kata zakat dengan salat dalam al-Quran sering kali ditemukan
secara konsisten. Hanya dalam tiga ayat ketentuan zakat tidak dirangkaikan
dengan salat, yaitu 1. QS al Kahfi (18): Artinya:Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan
mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Menurut
mayoritas ulama, dalam redaksi yang berbeda-beda disimpulkan bahwa zakat
merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, dimana Allah SWT
mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kapada yang berhak menerimanya
dengan persyaratan tertentu pula.
Sebagaimana
termaktub dalam al-Quran QS. at- Taubah (9): 103 yang berbunyi: Artinya:Ambillah
zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya do¶amu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi
mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Nuruddin
Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrument dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006, hlm. 25.
Didin
Hafidhuddin, `Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press,
2002, hlm. 7.
Departemen
Agama RI, op. cit., hlm. 273.
Pada masa Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar
ibn Khattab dan Umar ibn Affan, zakat di kelola oleh negara, bahwa pada masa
kekhalifahan Abu Bakar ibn Khattab dilakukan penyerangan terhadap penentang
pembayar zakat.
Kemudian seiring perkembangan wilayah Islam
diberlakukan sistem pajak yang disebut dengan jizyahyang pada mulanya hanya
diberlakukan kepada kalangan non muslim atas jaminan yang mereka terima dari
negara.
Pada
masa Khalifah Umar ibn Affan terjadi tatkala pasukan muslimin baru saja
berhasil menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saranísaran pembantunya
memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas
wilayah taklukan.
Tanahítanah yang direbut dengan kekuatan
perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukkan
dengan perjanjian damai tetap dianggap milik penduduk setempat. Konsekuensinya,
penduduk diwilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan
sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi
awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.
Penarikan pajak selanjutnya terus berlangsung
meski dengan alasan yang berbedaíbeda. Seiring berjalannya waktu, hubungan
zakat dan pajak menjadi terbalik. Dimulai dengan kemunduran kaum muslimin,
penjajahan Eropa, dan hegemoni peradaban barat sehingga hukumíhukum syar’i
semakin ditinggalkan, dan sebaliknya hukumíhukum barat buatan manusia
diutamakan. Kewajiban Nuruddin Mhd. Ali,
op. cit., hlm. 4.
zakat disubordinasikan dan diganti dengan
kewajiban pajak.
Dalam
perkembangannya persoalan zakat dan pajak merupakan salah satu persoalan yang banyak
mendapat perhatian dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam. Persoalan ini muncul
karena adanya dua kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Islam, yaitu
kewajiban membayar pajak sebagai kewajiban seorang warga negara terhadap
negaranya, dan kewajiban zakat yang merupakan perintah agama dan salah satu
rukun Islam.
Hal ini
terlihat jelas dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang
berbeda, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan
(PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah
kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum muslimin sebagai suatu beban
yang berat. Beban ini akan bertambah berat lagi jika kaum muslimin diwajibkan
pula membayar pajak bumi bangunan (PBB) yang harus mereka bayar dengan uang
atau harta simpanan yang telah dizakati. Makin berat lagi, tatkala kaum
muslimin diwajibkan pula membayar pajak petambahan nilai (PPN), karena
mengonsumsi barang/jasa tentu yang menurut pemerintah bukan kebutuhan pokok
(sekunder/mewah).
Kaum muslimin
tidak boleh diberati dengan kewajiban berganda. Zakat yang sudah dipungut harus
dijadikan sebagai pengurang ( kredit pajak) langsung, sehingga Siti Arifah, ³Konstitusi Negara
Berbicara ³Zakat Mengurang Penghasilan
Kena Pajak,´ http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=20&no=15, Download pada
tanggal 08/07/2010.
Nuruddin
Mhd. Ali, op. cit., hlm. 23.
Gusfahmi,
Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 7.
pajak yang harus dibayar kaum muslimin hanya
tambahannya saja. Berdasarkan dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak
penghasilan, zakat dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan (biaya). Hal
ini memang suatu perkembangan baru dalam aplikasi hukum Islam di Indonesia.
Atas
dasar pendekatan tersebut diatas, jelaslah kiranya bahwa kecenderungan selama
ini untuk memisahkan zakat dengan lembaga upeti yang kini diperhalus menjadi
pajak merupakan suatu cara pandang yang sesat dan menyesatkan. Sebagaimana kita
alami, dengan anggapan itu, kita pun tenggelam dalam arus dikotomis untuk
selalu memisahkan sesuatu yang duniawi dari yang ukhrawi.
Dalam sejarah kehidupan Modern, dikotomis itu
memuncak pada penghadapan yang sangat diyakini antara negara disatu pihak dan
agama dipihak lain. Jika yang tersebut pertama memungut dari kantong rakyat
dana wajib yang disebutnya pajak, maka yang kedua memungut dari kantong umat
dana wajib yang disebutnya zakat. Yang pertama pusat kekuasaannya ada ditangan
umara, sedang yang kedua pusat kekuasaanya ada ditangan ulama.
Islam (ideal) sebagai agama fitrah, pemikiran
dualisme yang dikotomistis itu tidaklah dikenal. Bahwa ada sesuatu yang
bersifat duniawi disamping sesuatu yang bersifat ukhrawi adalah nyata. Seperti
juga nyata bahwa disamping ada ruhani ada jasmani, ada jiwa, ada raga, ada
tujuan, ada cara, ada nilai, ada lembaga, ada subtansi, ada bentuk, ada
prinsip, ada prosedur dan seterusnya.
Ibid.,
hlm. 221.
Akan tetapi kedua hal yang disebut berbeda
itu, bukan untuk dipisahkan.
Melainkan supaya diesakan, disatukan dalam
pola kesatuan dialektis (dialectical unity).Yaitu suatu pola kesatuan dimana
kedua pihak saling mempersyaratkan yang lain demi terjadinya proses
transformasi diri secara terus menerus menuju kesempurnaan yang (sebenarnya)
tak terhingga. Dalam bahasa agama, kesempurnaan yang tak terhingga itulah Tuhan
adanya. Demikianlah, prinsip kesatuan
dialektis yang fitrah ini yang seharusnya terus dapat dipertahankan, juga dalam
hubungan antar agama dengan negara. Karena sekali dipisahkan dan kemudian
dipersaingkan atau diperhadapkan satu terhadap yang lain, yang terjadi tentulah
dosa yang sulit diampuni.
Menurut
Masdar Farid Mas’udi proses transformasi lembaga pajak/upeti ini digerakkan
oleh Islam bukan dengan cara menyaingi atau menjajari lembaga pajak dengan
lembaga zakat, seperti dipersepsi orang selama ini. Melainkan dengan cara
merasukkan sepirit ajaran zakat ke dalam lembaga pajak. Zakat sebagai ruhnya
pajak sebagai badannya, zakat sebagai komitmen spiritual moral, pajak sebagai
ujud kelembagaan yang hendak menjadi ajang pengejawentahannya.
Dan
dalam terminologi Islam, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat disebut zakat,
karena pajak dibayarkan bukan sebagai persembahan (udliyah) kapada raja, juga
bukan sebagai imbalan jasa (jizyah) dengan negara, Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadialan:
Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,Jakarta: P3M, 1993, hlm. 97.
Ibid.,
hlm. 100-104.
melainkan sebagai sedekah lillah yang
diamanatkan kepada negara/pemerintah.
Dari
uraian tersebut di atas, penulis tertarik ketika Masdar Farid Mas’udi berbicara
tentang konsep penyatuan zakat dan pajak, dimana telah menjadi keyakinan umum
bahwa zakat dan pajak merupakan dua kewajiban yang berbeda, bahwa zakat adalah
kewajiban kepada Allah SWT dan hanya ditasarufkan kepada delapan asnaf.
Sementara pajak merupakan kewajiban kepada negara dan ditasarufkan untuk
kepentingan negara secara menyeluruh (umum). Dan bagaimana jika pemikiran
Masdar Farid Mas’udi tersebut diterapkan di Indonesia apakah akan menyebabkan
dampak yang baik bagi kelembagaan zakat maupun kelembagaan pajak. Untuk
mengkaji lebih jauh pemikiran Masdar Farid Mas’udi beserta kerangka
pemikirannya, penulis perlu melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan
judul “Penyatuan Zakat Dan Pajak Untuk Keadilan Sosial” (Studi Pemikiran Masdar
Farid Mas’udi).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang
di atas dapat penulis rumuskan permasalahan yang akan menjadi inti dari
pembahasan skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana konsep pemikiran Masdar Farid
Mas’udi tentang zakat dan pajak? 2. Bagaimana metode penalaran hukum Masdar
Farid Mas’udi terhadap penyatuan zakat dan pajak? M. Tuwah dkk, Islam Humanis (Islam dan
Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan
Masyarakat Marginal, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2001, hlm. 105.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi