BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bank Syari’ah di Indonesia secara resmi
pertama kali diperkenalkan pada tahun
1992 setelah diberlakukannya UU No. 7
Tahun 1992 tentang perbankan.
Namun, dalam kurun waktu lebih
dari 8 (delapan) tahun perkembangan bank syari’ah masih belum seperti yang diharapkan, maka
berlakulah UU No. 10 Tahun 1998 yang mengatur
operasional dual banking system. Undang-Undang tersebut sebagai landasan penting pengembangan perbankan
syari’ah di tanah air dan diharapkan dapat
berkembang dengan baik dan dapat menjadi salah satu komponen penting dalam upaya pengembangan industri perbankan
Indonesia.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia tahun 2008,
diketahui jumlah jaringan kantor bank
syari’ah pada tahun tersebut meningkat lebih dari empat kali lipat dari tahun 2007 yaitu sejumlah 487 kantor menjadi
596 kantor pada tahun 2008.
Sejalan dengan meningkatnya jaringan kantor
bank industri, perbankan syari’ah juga
mengalami peningkatan total aset sebesar 11,66 kalilipat setara dengan pertumbuhan sebesar 65,24% pertahun dari
sebesar Rp. 1,79 Triliun pada tahun 2003 Syafi’I Antonio “Bank Syari’ah Suatu
Pengenalan Umum”. Sambutan Gubenur BI, hal ix Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan
Perbankan Syari’ah tahun 2008”, hal. 20. Sejalan dengan perkembangannya tahun 2007, Bank Umum syari’ah
3 buah dan BPRS 105 buah. Unit usaha syari’ah 20, kantor 531, kantor layanan syari’ah 456.
Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan Perbankan Syari’ah Tahun 2008”, artikel diakses pada 19
juli 2009 dari http://www.bi.go.id menjadi
Rp. 20.88 Triliun pada tahun 2008.
Jika dibandingkan dengan total asset perbankan nasional, total asset perbankan
syari’ah meningkat 1,47% dari 1,26% pada tahun 2008. Walapun total asetnya masih kecil
jika dibandingkan dengan perbankan konvensional,
bukan tidak mungkin total aset tersebut akan terus meningkat apabila melihat perkembangan perbankan syari’ah yang
semakin menjamur.
Perbankan syari’ah juga mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat dalam hal penghimpunan
dana pihak ketiga. Peningkatan tersebut terjadi pada semua komponen, baik giro sebesar 26,2%,tabungan
31.0% maupun deposito 31.4%.
Naiknya penghimpunan dana
Perbankan Syari’ah tersebut mencerminkan adanya respon positif dari masyarakat terhadap
Perbankan Syari’ah.
Dilihat dari segi pembiayaan yang diberikan
oleh perbankan syari’ah, terdapat kenaikan
34,2% dari sebesar Rp. 15,2 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp. 20,4 triliun pada tahun 2008.
Kenaikan ini lebih besar dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang sebesar 32,6%.
Pembiayaanperbankan syari’ah tersebut masih didominasi oleh pembiayaan yang menggunakan
akad murabahahsebesar 61,7%, lalu di
ikuti oleh mudharabah33%, musyarakah31,5% dan istisna 1,65%. Sejalan dengan peningkatan penghimpunan danadan
pembiayaan yang diberikan, financing to
Deposit Ratio bank syari’ah masih di
atas Loan To Deposit Ratio bank Bank Indonesia, “Cetak Biru Perkembangan
Perbankan Syari’ah Indonesia”, hal.1-4 Bank
Indonesia, “Laporan Perkembangan Perbankan Syari’ah tahun 2008”, hal. 20.
Ibid. hal 21 Loan to Deposit Ratio (LDR)adalah
perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang berhasil
dikerahkan oleh bank. Dalam surat edaran Bank Indonesia No.
26/5/BPPP, besarnya LDR tidak
boleh melebihi 110%. Jadi dalam pemberian kredit atau pembiayaan tidak boleh melebihi batas 110%.
konvensional yaitu sebesar 93,6%.
Meningkatnya pembiayaan syari’ah dilakukan tanpa mengorbankan Aktiva Produktif.
Namun, data di atas juga menunjukkan bahwa perbankan syari’ah juga tidak lepas dari
resiko pembiayaan bermasalah.
Walaupun tidak sebesar kredit
konvensional, pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah juga tidak lepas dari pembiayaan yang
kemungkinan bermasalah. Dampak negatif
yang bisa ditimbulkan dari pembiayaan-pembiayaan yang bermasalah tersebut, ternyata belum terakomodasidi dalam
UU Perbankan seperti : 1. Tidak cukup banyak pasal yang mengatur
tentang pembiayaan yang bermasalah.
2. Tidak mengatur jalan keluar dan
langkah-langkah yang harus ditempuh perbankan
jika menghadapi pembiayaan bermasalah.
3. Tidak menunjuk lembaga mana saja yang
menangani pembiayaan bermasalah dan
keterlibatan lembaga tersebut.
4. Tidak memberikan tempat yang cukup baik
kepada komisaris bank sebagai badan
pengawas.
Selain penyempurnaan terhadap sisi
kelembagaan, perlu juga memperhatikan sisi
hukum sebagai landasan penyelenggaraannya. Hal ini untuk mengantisipasi munculnya berbagai macam permasalahannya dalam
operasionalisasi. Penyelesaian sengketa
dapat dilakukanmelalui dua proses.
Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan,
kemudian berkembang proses penyelesaian
sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Seperti diketahui bahwa penyelesaian sengketa
perbankan syari’ah yang timbul dari Ibid. hal 21 Aktifa Produktif adalah penamaman dana bank
syari’ah dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, gard, surat
berharga syari’ah, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening
administrative serta sertifikat wadiahBank Indonesia.
Frans Hendra Winarta, Teknis Penyelesaian
Kredit Bermasalah Melalui Pendekatan Hukum, hal.24 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Hukum
Arbitrase, hal. 14 pembiayaan
bermasalah seringkali penyelesaiannya menggunakan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
Mengapa ? Karena melalui proses
di luarpengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif. Keuntungan yang akan di peroleh apabila menggunakan
penyelesaian masalah secara komprehensif
adalah terbangunnya kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik antar pihak yang bersengketa. Akan tetapi,
dinegara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan
proses non litigasiini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil
keputusannya pun tidak dipublikasikan.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini
umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute
Resolution(ADR).
Namun, semenjak disahkannya UU
No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian BASYARNAS menjadi salah satu lembaga diluar pengadilan yang diakui keberadaannya karena dalam
Undang-Undang tersebut negara memberikan
kebebasan kepada masyarakatuntuk menyelesaikan sengketa bisnisnya diluar lembaga peradilan, baik melalui
konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi/penilaian
para ahli. Saat itu memang belum ada lembaga hukum yang mempunyai kewenangan absolut karena peradilan
umum tidak menggunakan Hukum Perdata
Islam (Fiqih Mu’amalah) dalam hukum formil maupun hukum materiilnya.
Selanjutnya ditulis BASYARNAS saja Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip
Syari’ah,hal.208 Namun, sejak
disahkannya UU No.3 Tahun 2006 tentang peradilan agama yang kemudian disusul dengan UU No. 21 Tahun 2008
tentang perbankan syari’ah yang mengamanatkan
penyelesaian sengketa bidang perbankan syari’ah pada lingkungan peradilan agama, karena sebelum UU tersebut
keluar wewenang pengadilan agama hanya
sebatas perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. Kemudian, setelah disahkannya UU No. 3 Tahun 2006
pengadilan agama tentang perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya,
yaitukewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi syari’ah. Masalah ini muncul
akibat dari bunyi pasal 55UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah,
yakni : Pasal 55 1.
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah, dilakukan oleh pengadilan dilingkungan pengadilan agama 2.
Dalam hal para pihak telah memperjanjikann penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad 3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syari’ah Dari bunyi pasal
55 ayat (1) tersebut sangat jelas, bahwa pengadilan agama mempunyai wewenang baru yang bisa dikatakan
sebagai tantangan dan sekaligus peluang
bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena selama ini bagi pengadilan agama belum ada pengalaman
apapun dalam menyelesaikan sengketa
dibidang ekonomi syari’ah dan hal tersebut tidak dibarengi pula dengan Undang-Undang Perbankan Syari’ah 2008 (UU RI
No. 21 Tahun 2008), Sinar Grafika perangkat
hukum yang mengaturnya lebih lanjut, baik perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil, menjadi cacatan
penting adalah mengenai putusan BASYARNAS
untuk mengeksekusi sebuah perkara arbitrase. Selama ini eksekusi putusan arbitrase dilakukan oleh pengadilan
negeri bukan pengadilan agama. Maka Mahkamah
Agung sesuai dengan kewenangannya telah memberikan edaran bahwa putusan BASYARNAS di register di pengadilan
agama dan karena itu baru dapat di eksekusi
sebagaimana eksekusi putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan itu, tidak ada
keraguan lagi bagi pengadilan agama untuk melaksanakan wewenang baru tersebut sesuai
dengan SEMA (Surat Edaran Mahkamah
Agung) No. 08 Tahun 2008.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi