Sabtu, 16 Agustus 2014

Skripsi Syariah:PENYELESAIAN SENGKETA BANK SYARI’AH DENGAN NASABAH MELALUI BASYARNAS MENURUT UU NO. 30 TAHUN 1999 DAN PENGADILAN AGAMA MENURUTUU NO. 21 TAHUN 2008 (STUDI KOMPARATIF)

BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang  Bank Syari’ah di Indonesia secara resmi pertama kali diperkenalkan pada  tahun 1992 setelah diberlakukannya UU  No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
Namun, dalam kurun waktu lebih dari 8 (delapan) tahun perkembangan bank syari’ah  masih belum seperti yang diharapkan, maka berlakulah UU No. 10 Tahun 1998 yang  mengatur operasional dual banking system. Undang-Undang tersebut sebagai  landasan penting pengembangan perbankan syari’ah di tanah air dan diharapkan  dapat berkembang dengan baik dan dapat menjadi salah satu komponen penting  dalam upaya pengembangan industri perbankan Indonesia.
 Berdasarkan laporan Bank Indonesia tahun 2008, diketahui jumlah jaringan  kantor bank syari’ah pada tahun tersebut meningkat lebih dari empat kali lipat dari  tahun 2007 yaitu sejumlah 487 kantor menjadi 596 kantor pada tahun 2008.

 Sejalan dengan meningkatnya jaringan kantor bank industri, perbankan  syari’ah juga mengalami peningkatan total aset sebesar 11,66 kalilipat setara dengan  pertumbuhan sebesar 65,24% pertahun dari sebesar Rp. 1,79 Triliun pada tahun 2003   Syafi’I Antonio “Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum”. Sambutan Gubenur BI, hal ix   Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan Perbankan Syari’ah tahun 2008”, hal. 20. Sejalan dengan  perkembangannya tahun 2007, Bank Umum syari’ah 3 buah dan BPRS 105 buah. Unit usaha syari’ah  20, kantor 531, kantor layanan syari’ah 456. Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan Perbankan  Syari’ah Tahun 2008”, artikel diakses pada 19 juli 2009 dari http://www.bi.go.id   menjadi Rp. 20.88 Triliun pada tahun 2008.
 Jika dibandingkan dengan total asset  perbankan nasional, total asset perbankan syari’ah meningkat 1,47% dari 1,26% pada  tahun 2008. Walapun total asetnya masih kecil jika dibandingkan dengan perbankan  konvensional, bukan tidak mungkin total aset tersebut akan terus meningkat apabila  melihat perkembangan perbankan syari’ah yang semakin menjamur.
Perbankan syari’ah juga mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam hal  penghimpunan dana pihak ketiga. Peningkatan tersebut terjadi pada semua  komponen, baik giro sebesar 26,2%,tabungan 31.0% maupun deposito 31.4%.
Naiknya penghimpunan dana Perbankan Syari’ah tersebut mencerminkan adanya  respon positif dari masyarakat terhadap Perbankan Syari’ah.
 Dilihat dari segi pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syari’ah, terdapat  kenaikan 34,2% dari sebesar Rp. 15,2 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp. 20,4  triliun pada tahun 2008.
 Kenaikan ini lebih besar dibandingkan dengan tahun  sebelumnya yang sebesar 32,6%. Pembiayaanperbankan syari’ah tersebut masih  didominasi oleh pembiayaan yang menggunakan akad murabahahsebesar 61,7%,  lalu di ikuti oleh mudharabah33%, musyarakah31,5% dan istisna 1,65%. Sejalan  dengan peningkatan penghimpunan danadan pembiayaan yang diberikan, financing  to Deposit Ratio  bank syari’ah masih di atas Loan To Deposit Ratio  bank   Bank Indonesia, “Cetak Biru Perkembangan Perbankan Syari’ah Indonesia”, hal.1-4   Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan Perbankan Syari’ah tahun 2008”, hal. 20.
 Ibid. hal 21   Loan to Deposit Ratio (LDR)adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank  dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Dalam surat edaran Bank Indonesia No.
26/5/BPPP, besarnya LDR tidak boleh melebihi 110%. Jadi dalam pemberian kredit atau pembiayaan  tidak boleh melebihi batas 110%.
 konvensional yaitu sebesar 93,6%.
 Meningkatnya pembiayaan syari’ah dilakukan  tanpa mengorbankan Aktiva Produktif.
 Namun, data di atas juga menunjukkan  bahwa perbankan syari’ah juga tidak lepas dari resiko pembiayaan bermasalah.
Walaupun tidak sebesar kredit konvensional, pembiayaan berdasarkan prinsip  syari’ah juga tidak lepas dari pembiayaan yang kemungkinan bermasalah. Dampak  negatif yang bisa ditimbulkan dari pembiayaan-pembiayaan yang bermasalah  tersebut, ternyata belum terakomodasidi dalam UU Perbankan seperti :  1.  Tidak cukup banyak pasal yang mengatur tentang pembiayaan yang  bermasalah.
2.  Tidak mengatur jalan keluar dan langkah-langkah yang harus ditempuh  perbankan jika menghadapi pembiayaan bermasalah.
3.  Tidak menunjuk lembaga mana saja yang menangani pembiayaan bermasalah  dan keterlibatan lembaga tersebut.
4.  Tidak memberikan tempat yang cukup baik kepada komisaris bank sebagai  badan pengawas.
 Selain penyempurnaan terhadap sisi kelembagaan, perlu juga memperhatikan  sisi hukum sebagai landasan penyelenggaraannya. Hal ini untuk mengantisipasi  munculnya berbagai macam permasalahannya dalam operasionalisasi. Penyelesaian  sengketa dapat dilakukanmelalui dua proses.
 Proses penyelesaian sengketa tertua  melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses  penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Seperti  diketahui bahwa penyelesaian sengketa perbankan syari’ah yang timbul dari   Ibid. hal 21   Aktifa Produktif adalah penamaman dana bank syari’ah dalam rupiah maupun valuta asing dalam  bentuk pembiayaan, piutang, gard, surat berharga syari’ah, penyertaan modal sementara, komitmen  dan kontijensi pada transaksi rekening administrative serta sertifikat wadiahBank Indonesia.
 Frans Hendra Winarta, Teknis Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pendekatan Hukum, hal.24   Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Hukum Arbitrase, hal. 14   pembiayaan bermasalah seringkali penyelesaiannya menggunakan BASYARNAS  (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional)  sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
Mengapa ? Karena melalui proses di luarpengadilan menghasilkan kesepakatan yang  bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari  kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif. Keuntungan  yang akan di peroleh apabila menggunakan penyelesaian masalah secara  komprehensif adalah terbangunnya kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik  antar pihak yang bersengketa. Akan tetapi, dinegara-negara tertentu proses peradilan  dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan proses non litigasiini sifat kerahasiaannya,  karena proses persidangan dan bahkan hasil keputusannya pun tidak dipublikasikan.
 Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative  Dispute Resolution(ADR).
Namun, semenjak disahkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan  alternatif penyelesaian BASYARNAS menjadi salah satu lembaga diluar pengadilan  yang diakui keberadaannya karena dalam Undang-Undang tersebut negara  memberikan kebebasan kepada masyarakatuntuk menyelesaikan sengketa bisnisnya  diluar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi,  konsiliasi/penilaian para ahli. Saat itu memang belum ada lembaga hukum yang  mempunyai kewenangan absolut karena peradilan umum tidak menggunakan Hukum  Perdata Islam (Fiqih Mu’amalah) dalam hukum formil maupun hukum materiilnya.

 Selanjutnya ditulis BASYARNAS saja   Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip Syari’ah,hal.208   Namun, sejak disahkannya UU No.3 Tahun 2006 tentang peradilan agama yang  kemudian disusul dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah yang  mengamanatkan penyelesaian sengketa bidang perbankan syari’ah pada lingkungan  peradilan agama, karena sebelum UU tersebut keluar wewenang pengadilan agama  hanya sebatas perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. Kemudian,  setelah disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 pengadilan agama tentang perubahan atas  UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama mempunyai wewenang baru sebagai  bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitukewenangan untuk menerima, memeriksa dan  mengadili serta menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah. Masalah ini  muncul akibat dari bunyi pasal 55UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan  syari’ah,  yakni :  Pasal 55  1.  Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah, dilakukan oleh pengadilan  dilingkungan pengadilan agama  2.  Dalam hal para pihak telah memperjanjikann penyelesaian sengketa  selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelesaian sengketa  dilakukan sesuai dengan isi akad  3.  Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh  bertentangan dengan prinsip syari’ah  Dari bunyi pasal 55 ayat (1) tersebut sangat jelas, bahwa pengadilan agama  mempunyai wewenang baru yang bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus  peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena selama  ini bagi pengadilan agama belum ada pengalaman apapun dalam menyelesaikan  sengketa dibidang ekonomi syari’ah dan hal tersebut tidak dibarengi pula dengan   Undang-Undang Perbankan Syari’ah 2008 (UU RI No. 21 Tahun 2008), Sinar Grafika   perangkat hukum yang mengaturnya lebih lanjut, baik perangkat hukum materiil  maupun perangkat hukum formil, menjadi cacatan penting adalah mengenai putusan  BASYARNAS untuk mengeksekusi sebuah perkara arbitrase. Selama ini eksekusi  putusan arbitrase dilakukan oleh pengadilan negeri bukan pengadilan agama. Maka  Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya telah memberikan edaran bahwa  putusan BASYARNAS di register di pengadilan agama dan karena itu baru dapat di  eksekusi sebagaimana eksekusi putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum  tetap. Sehubungan dengan itu, tidak ada keraguan lagi bagi pengadilan agama untuk  melaksanakan wewenang baru tersebut sesuai dengan SEMA (Surat Edaran  Mahkamah Agung) No. 08 Tahun 2008.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi