BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan
Nasional adalah proses
mengawali, mengasah dan mempersiapkan potensi
anak-anak bangsa untuk
membangun kehidupan berbangsa
dan bernegara yang
lebih baik untuk
saat ini atau
masa depan dengan
bekal iman dan
ilmu pengetahuan. Hal
itu sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional yang
tertuang dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989, yang berbunyi: “Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri
serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan” Mutu
pendidikan merupakan hal
yang sangat penting dalam
mencapai tujuan pendidikan
nasional. Namun dalam
rangka pencapaian tersebut,
ada berbagai masalah dalam sistem
pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah lulusan/outputSekolah Menengah Tingkat Atas
(SMTA) dan perguruantinggi dianggap belum
sesuai dengan harapan
masyarakat dan belum siap
menjadi bagian warga
negara Indonesia yang
bertanggungjawab, aktif dan
produktif untuk membangun
bangsa ini menjadi
lebih baik, akhirnya
mereka hanya menjadi beban masyarakat.
Menurut
teori fungsi produksi,
jika pendidikan adalah sebagai
proses produksinya, maka
sekolah adalah pabriknya.
Kurikulum, buku dan
fasilitas “UU No.2 Tahun 1989,
Bab II Pasal 4 Tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan Pendidikan”.
pendidikan
lainnya adalah mesin cetaknya.
Pekerjanya adalah para guru dan tenaga kependidikan
lainnya. Semua itu
adalah masukan instrumental
yang akan mempengaruhi
kualitas keluaran lulusannya.
Oleh
karena itu, perlu adanya perbaikan
mutu pendidikan, dan
apabila mutu pendidikan
hendak diperbaiki, maka
perlu ada evaluasi
dan inovasi sistem
pendidikan nasional yang dapat diupayakan oleh masyarakat dan
pemerintah.
Upaya
pemerintah untuk peningkatan
mutu pendidikan, pemerataan
dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan
nasional perlu dukungan dari
semua pihak, baik dari komponen
pemerintah sendiri, sekolah dan masyarakat. Bukti konkret
keseriusan dan kesungguhan
pemerintah untuk peningkatan kualitas pendidikan yaitu digantinya Undang-undang No.2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) menjadi Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional,
karena UU No.2
tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dianggap
tidak lagi memadai
dan perlu disempurnakan, agar sesuai dengan amanat
perubahan Undang-undang Dasar 1945.
Penyempurnaan Undang-undang Sisdiknas tersebut
diharapkan agar sistem pendidikan nasional
mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu serta relevansi
dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan pendidikan baik dalam
sekala lokal, nasional maupun global.
Sri
Renani Pantjastuti dkk, Komite Sekolah: Sejarah dan Prospeknya di Masa Depan (Yogyakarta:
Hikayat Publishing, 2008), hlm. 5.
UU. No.
20 Tahun 2003 (Bandung: Fokus Media, 2006),hlm. 2.
Selain
penggantian Undang-undang Sisdiknas,
pemerintah juga telah mengganti keputusan
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI No.
0293/U/1993
Tentang Pembentukan Badan
Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan
(BP3) dengan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional
RI No.
044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah.
Dewan
Pendidikan dan Komite
Madrasah juga tertuang
dalam Undangundang Sisdiknas No.
20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 24 dan 25 yaitu: “Dewan Pendidikan adalah Lembaga mandiri yang
beranggotakan berbagai unsur masyarakat
yang peduli pendidikan”. (Ayat 24) “Komite
Sekolah/Madrasah adalah Lembaga
mandiri yang beranggotakan orang
tua/wali peserta didik,
Komite Sekolah, serta Tokoh
Masyarakat yang peduli
pendidikan.” (Ayat 25) Semua itu
merupakan keseriusan dan
kesungguhan pemerintah dalam
hal peningkatan kualitas
pendidikan, kesejahteraan guru serta
memberi kesempatan bagi anak usia
sekolah tujuh (7) tahun sampai usia lima belas (15) tahun
yang menjadi kewajiban
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah untuk menjamin tersedianya dana.
Berbagai
upaya pemerintah dalam
peningkatan kualitas
pendidikan telah dilakukan. Namun, peneliti menaruh perhatian
khusustentang keberadaan dan peran komite
sekolah dalam meningkatkan
mutu pendidikan sebagaimana tertuang
dalam pasal 56
ayat 3 UU
Nomor 20 Tahun
2003 tentang komite sekolah.
Himpunan
Undang-undang Republik Indonesia: Guru dan Dosen, Sisdiknas dan SNP (Surabaya:Wacana
Intelektual, 2009), hlm. 342.
htpp://www.arjunakabel.co.id/
Apa yang diharapkan dari Komite Sekolah?//htm (diakses 26 Desember 2009).
“Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga
mandiri, dibentuk dan berperan
dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkatsatuan pendidikan.”
Paradigma hubungan tri
pusat pendidikan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu paradigma
lama, paradigma transisional
dan paradigma baru.
Dalam paradigma lama,
hubungan antara keluarga,
sekolah dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang
berbeda-beda. Ketiganya belum berkomunikasi
secara efektif.
Paradigma
lama berpendapat bahwa
keluarga dan masyarakat
telah memberikan peran utama jika
mampu memberikan dukungan finansial kepada sekolah.
Masalah proses belajar
mengajar, pembinaan moral dan
segenap urusan yang
lain diserahkan sepenuhnya
kepada sekolah. Orang
tua dan masyarakat hanya ingin tahu bahwa anaknya
lulus dengan nilai yang tinggi.
Jika kemudian
ada anak yang
perilakunya menyimpang dan
tidak mencapai standar kelulusan, maka orang tua meminta
pertanggungjawaban kepada pihak sekolah.
Paradigma lama tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar:Pola Pikir Paradigma Lama Tri Pusat
Pendidikan Himpunan Undang-undang RI:
Guru dan Dosen, Sisdiknas dan SNP.Op.cit.,hlm. 346.
Sri
Renani Pantjastuti dkk,Op.cit., hlm .47.
Ibid.,hlm.
49.
Ibid..
SEKOLAH MASYARAKAT KELUARGA Apa yang dilakukan orang tua untuk kita (sekolah)? Ilustrasi
di atas menunjukkan
bahwa tidak ada
keterkaitan dan tanggungjawab
bersama antara keluarga,
sekolah dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan
di sekolah. Keluarga
dan masyarakat hanya menunggu
hasil/output dengan kualitas
yang baik dari
sekolah, tanpa ingin tahu bagaimana proses belajar mengajar
yang berlangsung di dalam kelas atau apa
yang dilakukan peserta didik di lingkungan sekolah.
Dewasa
ini, paradigma lama dalam batas-batas tertentu telah ditinggalkan dan
beralih pada paradigma
transisional. Dalam paradigma
ini keluarga memiliki hak untuk mengetahui tentang apa saja
yangdiajarkan oleh guru di sekolah.
Orang tua siswa memiliki hak untuk mengetahui dengan metode apa anak-anaknya diajar oleh guru-guru mereka.
Hubungankeluarga dan sekolah sudah mulai
terjalin, tetapi masyarakat
belum melakukan kontak
dengan sekolah. Berikut ilustrasi
pemikirannya: Gambar:Pola Pikir
Paradigma Transisional Tri Pusat Pendidikan
Sekolah memberikan
hak kepada keluarga
untuk mengetahui proses balajar
mengajar di sekolah,
sehingga keluarga mulai
tertarik untuk mengetahui
dan memahami pentingnya
pendidikan dan sekolah
bagi anak- Ibid.,hlm. 50.
SEKOLAH MASYARAKAT KELUARGA Apa yang dapat dilakukan masyarakat agar dapat membantu kita sekolah? anaknya.
Dengan demikian keluarga
mulai peduli untuk
memperhatikan kegiatan peserta
didik di sekolah, serta membantu sekolah
jika ada masalah.
Hanya
saja belum ada
kerjasama antara sekolah
dan keluarga dengan masyarakat.
Sedangkan
dalam paradigma baru
(new paradigm) hubungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat harus
terjalin secara sinergis
untuk meningkatkan mutu
layanan pendidikan, termasuk
untuk meningkatkan mutu
hasil belajar siswa di sekolah. Paradigma tersebut
digambarkan sebagai berikut: Gambar:
Pola Pikir Paradigma Baru Tri Pusat Pendidikan
Sekolah adalah
sebuah pranata sosial
yang bersistem, terdiri
atas komponen-komponen yang
saling terkait dan
pengaruh mempengaruhi.
Komponen
utama sekolah adalah
siswa, pendidik dan
tenaga kependidikan lainnya,
kurikulum, serta fasilitas
pendidikan. Dengan demikian,
dalam paradigma baru ini telah
memandang bahwa pendidikansekolah adalah milik bersama.
Selain
itu, pemangku kepentingan
(stakeholder) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses
penyelenggaraandan peningkatan mutu Ibid.,hlm.
52.
Ibid..
SEKOLAH KELUARGA MASYARAKAT Apa yang dapat kita kerjakan bersama-sama untuk mendidik anakanak kita dengan baik? pendidikan.
Dalam hal ini
orang tua dan
masyarakat merupakan pemangku kepentingan
yang harus dapat
bekerja sama secara
sinergis dengan sekolah.
Proses
penyelenggaraan pendidikan saat
ini menggunakan pola
manajemen yang dikenal dengan
manajemen berbasis sekolah (MBS), yang dalam aspek teknis edukatif dikenal dengan manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Untuk itu, maka orang tua siswa, khususnyayang tergabung dalam Komite Sekolah juga harus memahami pola
manajemen sekolah tersebut.
Kegiatan Managing Basic Education (MBE) atau
MBS, melibatkan orang tua siswa
dari masing-masing kelas
di suatu sekolah untuk
membentuk paguyuban kelas,
yang beranggotakan orang
tua siswa dengan tugas membantu guru kelas
dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran dengan
konsep PAKEM (pembelajaran
aktif, kreatif, efektif,
dan menyenangkan).
Ini
merupakan satu bentuk
keterlibatan keluarga dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Salah
satu tujuan pembentukan
Komite Sekolah adalah meningkatkan tanggung
jawab dan peran
serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di
satuan pendidikan.
Hal
ini berarti peran
serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam peningkatkan mutu
pendidikan, bukan hanya sekedar memberikan bantuan
berwujud material saja,
melainkan juga diperlukan bantuan
yang berupa pemikiran,
ide dan gagasan-gagasan inovatif
demi kemajuan suatu sekolah.
Isjoni,
Saatnya Pendidikan Kita Bangkit(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm 11.
Khaeruddin
dkk, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah(Jogjakarta: Nuansa Aksara, 2007),
hlm. 208.
E.
Mulyasa dkk, Pedoman Komite Madrasah: Dj II (Departemen Agama RI: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm.
14.
Permasalahannya perbedaan
persepsi pengembangan pendidikan
antara Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah belum ada titiktemu dengan segala keterbatasan akses komite di sekolah,
terkadang masih ada ego sektoral kepala sekolah,
sehingga cita-cita luhur yang dikonsep oleh Komite Sekolah menjadi hilang tanpa tujuan dan lepas dari fungsi
komite itu sendiri. Sehingga akhirnya komite
sekolah hanya berfungsi sebagai penonton atau sebuah organisasi mati yang tidak diperankan.
Selain
itu, ada indikasi keberadaan Komite Sekolah hanya menjadi beban masyarakat
(orang tua siswa)
di mana setiap
tahunnya biaya pendidikan cenderung
meningkat dan tanpa
terkendali. Bahkan ada
indikasi penyelewengan atas
pungutan dana dari
masyarakat yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan oleh
Kepala Sekolah dan KetuaKomite Sekolah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi