BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menghadap
ke arah kiblat menjadi syarat sah bagi umat Islam yang hendak menunaikan shalat
baik shalat fardhu lima waktu sehari semalam atau shalat-shalat sunat yang
lain. Ini sudah ditentukan sejak zaman rasulullah.
Rasulullah sendiri menurut
ijtihadnya sebelum hijrah ke Madinah, dalam melakukan shalat selalu menghadap ke
Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha sebagaimana dilakukan oleh nabi-nabi
sebelumnya.
Namun setelah kurang lebih 16 atau 17 bulan
Rasulullah saw. berada di Madinah dan selalu shalat menghadap ke Baitul Maqdis , akhirnya turunlah wahyu Allah swt. yang memerintahkan
Rasulullah saw. dan umatnya untuk memindahkan kiblat mereka dari Baitul Maqdis
ke Baitullah atau Masjidil Haram sebagai respon atas do’a dan keinginan
Rasulullah saw. untuk menghadap ke Ka’bah. Rasulullah langsung mengubah
kiblatnya menghadap ke ka’bah. Allah berfirman : “Sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja
kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1984, hlm. 3.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Pers, 1999, hlm. 241.
sesungguhnya orang-orang (Yahudi
dan Nasrani) yang di beri alKitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekalikali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-Baqarah : 144) Perubahan kiblat yang dilakukan Rasulullah
merupakan sebuah peristiwa yang sulit diterima oleh umat pada saat itu dan
ujian yang begitu berat bagi umat yang beriman.
Karena pada dasarnya manusia sangat sulit jika
dihadapkan pada suatu hal yang baru. Mereka lebih cenderung berbenturan dengan
paradigma lama. Namun untuk orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah,
ini bukanlah hal yang begitu sulit. Mereka menganggap ini adalah ujian ketaatan
mereka terhadap Allah swt.
Perjuangan Rasulullah dalam mengubah
arah kiblat begitu berat.
Cemoohan serta ejekan yang
diterima oleh beliau dari orang-orang yang dangkal pikirannya merupakan
indikasi bahwa perubahan itu sangat slit dilakukan. Namun beliau tetap
memperjuangkan dan melaksanakan perintah Allah untuk mengalihkan kiblatnya ke
Ka’bah.
Kata al-qiblahyang terulang
sebanyak 4 kali dalam al-Quran menunjukkan
bahwa masalah kiblat harus benar-benar diperhatikan. Oleh karena itu menghadap
arah kiblat merupakan suatu masalah yang penting dalam Islam. Menurut hukum
syariat, menghadap kiblat merupakan syarat
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur¶an dan Terjemahnya, Semarang
: Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 37.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir
al-Maraghi, Juz II, Penerjemah: Anshori Umar Sitanggal, Semarang: CV. Toha
Putra, 1993, hlm. 3.
Suksinan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek,
t.t, hlm.
sah bagi seseorang yang hendak melakukan shalat.
Menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan seseorang
menghadap ke arah ka'bah yang terletak di Makkah al Mukarramah yang merupakan
pusat tumpuan umat Islam untuk menyempurnakan ibadah-ibadah tertentu.
Pada dasarnya penentuan arah kiblat bukanlah
persoalan yang sederhana lagi. Sebagai contoh ketika KH Ahmad Dahlan mempelopori
perubahan arah kiblat di Yogyakarta menimbulkan reaksi yang keras untuk menentangnya,
sehingga harus meratakan suraunya dengan tanah. Beliau sudah berusaha dan
memperjuangkan pendapatnya secara hati-hati dan bijaksana.
Belum lama ini juga banyak daerah melakukan
verifikasi arah kiblat di masjid maupun mushola setempat, karena tidak sedikit
yang arah kiblatnya diperkirakan masih melenceng, sehingga belum bisa dikatakan
telah mengarah ke arah kiblat dalam pelaksanaan shalat maupun ibadah lain yang
diisyaratkan harus menghadap arah kiblat sebagaimana diberitakan dalam berapa
media cetak.
Namun banyak masyarakat yang tidak peduli
dengan hal ini.
Ketidakpedulian tersebut karena
dalam asumsi masyarakat telah mempunyai keyakinan bahwa masalah ini telah
diselesaikan oleh para pendahulunya, dan
Ibnu Rusyd al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz.
II, Beirut : Darul Kutub ‘Ilmiyyah, t.t., hlm. 115.
Sa’di Abu Habieb, Ensiklopedia Ijmak, Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1987, cet. ke-I, hlm. 320.
M.Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan :
Pemikiran dan Kepemimpinannya, Yogyakarta : MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005, hlm.
54- Baca tulisan M. Agus Yusrun Nafi’
tentang “ Perlukah Verifikasi Arah Kiblat´ dalam kolom “Opini” Wawasan Sore,
Senin, tanggal 04 Februari 2008.
juga bisa bermula dari pemahaman
tentang diwajibkan melaksanakan shalat menghadap kiblat hanya segi arahnya
saja, sehingga kebanyakan masyarakat tidak begitu memperdulikan masalah
tersebut.
Kecenderungan dari masyarakat
untuk menyerahkan masalah penentuan arah kiblat ini sepenuhnya kepada tokoh
masyarakat yang kurang atau bahkan tidak tahu tentang ilmu pengukuran arah
kiblat yang benar dan hanya memahaminya secara normatif dari kalangan mereka
sendiri, sehingga apa yang diputuskan oleh tokoh itulah yang diikuti, walaupun
belakangan ini diketahui bahwa penentuan arah kiblatnya itu kurang tepat. Hal
ini dapat terjadi pada kelompok masyarakat yang pola berpikirnya belum begitu
terbuka dan di sana ada seorang tokoh yang cukup berpengaruh, berwibawa, dan mempunyai
kharisma tinggi.
Kasus penolakan pelurusan kiblat
juga terjadi ketika penentuan arah kiblat yang dilakukan oleh KFPI (Konmunitas
Falak Perempuan Indonesia) di masjid Nurul Iman merupakan suatu permasalahan
yang ironis. Penolakan tersebut dikarenakan tanah masjid tersebut merupakan
waqaf yang tidak boleh diganggu gugat.
Hal serupa juga terjadi pada masjid al Ijabah
Gunung Pati, Semarang.
Arah kiblatnya diperkirakan
begitu melenceng dari arah sebenarnya. Hal ini berdasarkan pengecekan yang
dilakukan oleh H. Ahmad Izzuddin beserta timnya. Padahal sebelumnya masjid ini
sudah pernah dicek oleh ahli falak terkenal yaitu KH. Zubaer Umar Al-Jailany.
Akan tetapi sampai saat ini masih Pada
kegiatan “ Pengecekan Arah Kiblat Masjid Klaten” yang diselenggarakan oleh KFPI
(Komunitas Falak Perempuan Indonesia) pada tanggal 20 Desember 2009/ 3 Muharam 1430
H terjadi kemelencengan karena menurut mereka masjid tersebut masjid keramat.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi