Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG TIDAK TERPUTUSNYA HAK WARIS BAGI PEMBUNUH AHLI WARIS DALAM KITAB ALMUHALLA

BAB I  PENDAHULUAN
 A.  Latar Belakang  Waris  merupakan  salah  satu  kajian  dalam  Islam  yang  dikaji  secara  khusus dalam lingkup fiqh mawaris.
 Pengkhususan pengkajian dalam hukum  Islam  secara  tidak  langsung  menunjukkan  bahwa  bidang  waris  merupakan  salah satu bidang kajian yang penting dalam ajaran  Islam. Bahkan dalam alQur’an,  permasalahan  mengenai  waris  dibahas  secara  detail  dan  terperinci.
Hal  tersebut  tidak  lain  adalah  untuk  mencegah  terjadinya  sengketa  antar  anggota  keluarga  terkait  dengan  harta  peninggalan  anggota  keluarga  yang  telah mati.
 Ruang  lingkup  kajian  hukum  Islam  terkait  dengan  waris  sangat  luas.
Di  antaranya  meliputi  orang-orang  yang  berhak  menerima  waris,  bagianbagian  atau  jumlah  besaran  waris,  dan  masih  banyak  lagi  seperti  tentang  penambahan  atau  pengurangan  bagian  waris.  Orang  yang  berhak  menerima  waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni:  1.  Dzul  faraidh,  yakni  ahli  waris  yang  mendapat  bagian  warisan  tertentu  dalam keadaan tertentu pula.

  Secara  bahasa,  waris  berasal  dari  bahasa  Arab  yakni “warits”  yang  memiliki  arti  yang  ditinggal  atau  yang  kekal.  Sedangkan  secara  istilah,  makna  waris  kemudian  diartikan  sebagai  orang-orang  yang  berhak  untuk  menerima  pusaka  dari  harta  yang  ditinggalkan  oleh  orang  yang  telah  mati  yang  juga  dikenal  dengan  istilah  ahli  waris.  Lihat  dalam  Suhrawardi  K.  Lubis  dan  Komis S, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 52.
  Secara  lebih  jelas  dapat  dilihat  dalam  Ahmad  Azhar Basyir,  Hukum  Waris  Islam,  Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 3.
 Penjelasan mengenai penggolongan ahli waris dapat dilihat dalam Sajuti Thalib,  Hukum  Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 72-81.
 Ahli waris yang termasuk dalam  dzul faraidh, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an  meliputi:  anak  perempuan  yang  tidak  didampingi  oleh anak  laki-laki,  ibu,  bapak  jika  ada  anak,   2.  Dzul  qarabat,  yakni  ahli  waris  yang  menerima  warisan  dengan  bagian  yang  tidak  tertentu  atau  terbuka  bagiannya  atau  juga  ahli  waris  yang  menerima sisa.
 3.  Mawali, yakni ahli waris pengganti yang kedudukannya menggantikan ahli  waris yang seharusnya mendapat warisan namun karenasesuatu hal maka  ahli  waris  tersebut  tidak  mendapatkan  warisan  dan  digantikan  oleh  kelompok ahli waris mawali.
 Berdasarkan  penjelasan  tentang  penggolongan  orang  yang  berhak  menerima warisan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwasanya dalam  system  waris  posisi  seseorang  dapat  berubah-ubah  kedudukannya  dan  statusnya sebagai ahli waris sesuai dengan keadaan  yang berlangsung kecuali  ahli waris yang telah ditetapkan tidak dapat berubah kedudukan dan status ahli  warisnya. Menurut Ahmad Rofiq, ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya  saling mewarisi yakni:  duda,  janda,  saudara laki-laki dalam hal  kalalah,  saudara  laki-laki dan saudara perempuan  yang  bekerjasama dalam  kalalah, saudara perempuan dalam hal  kalalah. Dari kelompok tersebut yang  hanya menduduki dzul faraidh dan tidak dapat berubah tempat menjadi golongan lain dalam waris  adalah ibu, duda, dan janda; sedangkan yang lainnyadapat berubah kedudukan golongan warisnya.
Lihat dalam Ibid., hlm. 72.
 Ahli waris yang termasuk dalam dzul qarabat, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an  meliputi: anak laki-laki, anak perempuan yang didampingi anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki  dalam hal  kalalah, saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal  kalalah. Dari  kelompok tersebut yang tetap menjadi  dzul qarabattetap adalah anak laki-laki, sedangkan yang  lainnya hanya sesekali menjadi dzul qarabat dan dapat berubah menjadi ahli waris yang mendapat  bagian tertentu. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Ibid., hlm. 74.
 Yang dapat menjadi ahli waris mawaliadalah keturunan anak pewaris, keturunan saudara  pewaris,  atau  keturunan  orang  yang  mengadakan  semacam  perjanjian  waris  dengan  si  pewaris.
Lihat dalam Ibid., hlm. 80-81.
 Pada masa awal perkembangan Islam, ada empat sebabsaling mewarisi yakni pertalian  darah, janji setia, pengangkatan anak, dan persaudaraan antara Anshar dan Muhajirin. Namun pada  perkembangan  berikutnya,  hanya  sebab  pertama  yang  masih  dipertahankan  dalam  ajaran  Islam  sedangkan  ketiga  sebab  lainnya  ditiadakan  dan  diganti  dengan  sebab  ikatan  perkawinan  dan  membebaskan  hamba  sahaya.  Mengenai  penjelasan  tentang  sebab  mewarisi  dalam  Islam  dapat  dilihat  dalam  A.  Rofiq,  Hukum  Islam  di  Indonesia,  Jakarta:  Raja  Grafindo  Persada,  2000,  hlm.
398-402.
 1.  Al-qarabahatau pertalian darah. Maksudnya adalah semua ahli waris yang  memiliki  pertalian  darah,  baik  laki-laki,  perempuan,  anak-anak,  maupun  dewasa  memiliki  hak  untuk  menerima  bagian  menurut  dekat  jauhnya  hubungan kekerabatan.
2.  Al-musaharah atau  hubungan  perkawinan.  Maksudnya  adalah  dengan  adanya  hubungan  perkawinan,  maka  suami-isteri  berhak  menerima  warisan dari salah satu pihak yang meninggal dunia.
3.  Al-wala’atau memerdekakan hamba sahaya. Maksudnya adalah seseorang  akan  mendapat  hak  mewarisi  karena  memerdekakan  hamba  sahaya  atau  melalui perjanjian tolong menolong.
 Selain  adanya  penyebab  saling  mewarisi,  dalam  hukum Islam  juga  dijelaskan  adanya  penyebab  yang  menjadikan  seseorang  terhalang  untuk  mendapatkan warisan. Menurut Suhrawardi K Lubis danKomis S, ada dua hal  yang  dapat  menyebabkan  terhalangnya  hak  waris  seseorang.  Kedua  hal  tersebut adalah sebagai berikut:  1.  Karena adanya kelompok keutamaan  Dalam  hukum  waris  Islam  juga  dikenal  dengan  pengutamaan  kelompok ahli waris. Kedekatan jarak hubungan nasabahli waris menjadi  dasar  utama  dalam  klasifikasi  keutamaan  kelompok.  Selain  karena   Ahli waris yang mendapat bagian warisan karena memerdekakan budak disebut  mu’tiq (laki-laki) dan  mu’tiqah(perempuan). Bagian yang diterima adalah sebesar 1/6 dari harta warisan  pewaris. Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, sebab ketiga tidak dicantumkan karena  di Indonesia tidak dikenal perbudakan, sehingga dalam konteks hukum Islam di Indonesia, sebab  kewarisan  hanya  ada  dua,  yakni  karena  hubungan  pertalian  darah  dan  ikatan  perkawinan.  Lihat  dalam Ibid., hlm. 402.
 Penjelasan mengenai dua sebab penghalang ahli waris untuk mendapatkan warisan dapat  dilihat dalam Suhrawardi K. Lubis dan Komis S, op. cit., hlm. 53-59.
 kedekatan  jarak  hubungan,  para  ulama  bersepakat  bahwasanya  yang  menjadi  penyebab  keutamaan  kelompok  waris  adalah  adanya  keutamaan  sebab. Seperti orang yang mempunyai dua sebab untukmenjadi ahli waris,  yaitu ayah dan ibu lebih utama daripada orang yang  hanya memiliki satu  sebab saja, ayah atau ibu saja.
Dengan adanya keutamaan kelompok tersebut, maka dalam sistem  waris  Islam  timbul  akibat  adanya  pihak  ahli  waris  yang  tertutup  atau  terhalang untuk mendapatkan warisan. Kelompok ini disebut juga dengan  kelompok terhijab (terhalang).
 2.  Karena halangan warisan  Halangan  warisan  yang  dapat  menyebabkan  seseorang  terhalang  hak warisnya meliputi sebab-sebab sebagai berikut:  a.  Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris kepada pewaris.
b.  Perbedaan  agama  karena  orang  Islam  tidak  menjadi  ahli  waris  orang  kafir  dan  sebaliknya  orang  kafir  tidak  akan  menjadi ahli  waris  dari  orang Islam.
c.  Penghambaan  karena  orang  yang  belum  merdeka  tidak  memiliki  hak  untuk mewarisi.
 Penjelasan tentang kelompok utama yang menghalangikelompok lain, selain dijelaskan  dalam Surahwardi K Lubis dan Komis S juga dijelaskandalam Ibnu Rusyd,  Bidayatul Mujtahid,  terj. Imam Ghozali Said dan A. Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 1995, hlm. 47-49.
  Dalam  buku  Suhrawardi  K.  Lubis  dan  Komis  S  hanya  dijelaskan  dua  sebab  yakni  pembunuhan  dan  perbedaan  agama.  Penjelasan  mengenai sebab  pertama  hingga  ketiga  di  atas  dapat  dibaca  dalam  Ahmad  Azhar  Basyir,  op.  cit.,  hlm.  21-22.  Sedangkan  penjelasan  mengenai  keempat  sebab  tersebut  dapat  dibaca  dalam  Sudarsono,  Pokok-Pokok  Hukum  Islam,  Jakarta:  Rineka Cipta, t.t., hlm. 298-300.
 d.  Tidak tentu kematiannya.
Terkait dengan pembahasan dalam penelitian ini yangjuga merupakan  salah  satu  sebab  penghalang  waris  bagi  ahli  waris,  yakni  pembunuhan,  terdapat  perbedaan  pendapat  di  kalangan  ulama  mazhab.  Bagi  kelompok  pengikut  mazhab  Syafi’i,  setiap  pembunuhan  baik  sengaja  maupun  tidak  sengaja menghalangi seseorang untuk mendapatkan hakwarisnya. Sedangkan  tiga  imam  mazhab  lainnya  memberikan  pengecualian  terhadap  pembunuhan  tertentu sehingga tidak akan menghalangi hak waris  bagi pembunuh. Menurut  Imam  Malik,  pembunuhan  yang  dapat  menghalangi  hak  waris  adalah  pembunuhan  yang  dilakukan  dengan  sengaja,  sehingga  pembunuhan  yang  tidak  disengaja  tidak  akan  menghalangi  seseorang  untuk  mendapatkan  hak  warisnya.
  Berbeda  dengan  Imam  Malik,  Imam  Hambali  menjelaskan  bahwasanya pembunuhan yang didasarkan pada hak tidak akan menghalangi  hak  waris  karena  pembunuhan  tersebut  juga  tidak  dikenakan  sanksi  akhirat.
Sedangkan Imam Hanafi  menyebutkan bahwasanya pembunuhan yang dapat  menjadi  penghalang  hak  waris  adalah  pembunuhan  yang dikenai  sanksi  qishas,  sehingga  pembunuhan  yang  tidak  dikenai  sanksi  qishas  tidak  menghalangi hak waris pembunuhnya.
 Meskipun berbeda pendapat, dari pendapat para imam  mazhab di atas  dapat  diketahui  bahwasanya  pembunuhan  masih  dapat  menjadi  penyebab  terputusnya  hak  waris  dari  pembunuh  meskipun  dengan ketentuan  masing-  Mengenai  batasan  tentang  kesengajaan  dalam  pembunuhan  dapat  dilihat  dari  tempat,  alat, dan cara pembunuhannya. Hal ini dapat dilihatdalam Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam  Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 285.
 Penjelasan mengenai perbedaan pendapat di kalanganulama mazhab dapat dilihat dalam  Suhrawardi K. Lubis dan Komis S, op. cit., hlm. 54-55.
 masing  mazhab.  Justru  pendapat  yang  berbeda  dilontarkan  oleh  Ibnu  Hazm  yang  berpendapat  bahwasanya  pembunuhan,  baik  disengaja  maupun  tidak  disengaja,  tidak  akan  menjadi  penghalang  hak  waris  seseorang.  Hal  tersebut  diungkapkannya dalam salah satu karyanya, yakni kitab Al-Muhalla.
Dalam  kitab  tersebut,  Ibnu  Hazm  menjelaskan  bahwasanya  pendapat  tentang  terhalangnya  hak  waris  pembunuh  karena  membunuh  merupakan  seburuk-buruk ucapan yang pernah ia dengar. Tanggapan beliau tersebut tidak  lepas  dari  dua  argumen.  Pertama,  menurut beliau, belum  tentu  pembunuhan  tersebut  didasarkan  pada  maksud  orang  yang  membunuh untuk  segera  mendapatkan  warisan.

  Secara  tidak  langsung,  Ibnu  Hazm  menegaskan  bahwasanya  perlu  adanya  penelusuran  terlebih  dahulu sebab-sebab  yang  menimbulkan pembunuhan tersebut.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi