Jumat, 15 Agustus 2014

Skripsi Syariah:PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI TANPA BATAS WAKTU DAN DAMPAKNYA DALAM MASYARAKAT DESA KERTAGENA DAYA KECAMATAN KADUR KABUPATEN PAMEKASAN


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah.
Islam adalah agama yang rahmah li al-‘a>lami>n, Islam juga agama yang  lengkap dan sempurna yang telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dalam semua  sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga muamalah (hubungan antar  makhluk). Setiap orang pasti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling  menutupi kebutuhan dan saling tolong-menolong diantara mereka. Karena itulah  sangat perlu sekali kita mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan  kita sehari-hari, diantaranyayang bersifat interaksi sosial dengan sesama manusia,  khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang  lainnya.

Kehadiran seseorang atau individu dalam kelompok keluarga maupun  kelompok masyarakat ditandai dengan wujud fisiknya. Wujud fisik sebagai  bagian dari alam selalu tunduk padaalam. Wujud fisik ini tersusun dan  mempunyai struktur fisika, seperti mempunyai berat, volume dan sifat fisika  lainnya  . Individu sebagai bagian dari alamnya hidup bersama lingkungan  alamnya, baik lingkungan material maupun lingkungan sosial. Kondisi alam yang   Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar,h.
208  1   berubah, seperti perubahan geografis, ekosistem, cuaca, maupun perubahan yang  terjadi pada masyarakat secara langsung ataupun tidak menyebabkan perubahan  pada individu, karena setiap individu harus beradaptasi dengan lingkungannya.
Penyesuaian diri ini dapat timbul dari dalam, seperti terwujudnya kreatifitas atau  gerak refleks, maupun timbul dari luar karena meniru atau sebagai hasil dari  latihan atau pendidikan. Proses masuknya pengaruh dari luar ini disebut  internalisasi  .
Menurut kodratnya, manusia adalah makhluk masyarakat. Manusia selalu  hidup bersama dan berada diantara manusia lainnya. Dalam bentuk kongkretnya,  manusia bergaul, berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya.
Keadaan ini terjadi karena dalam dirimanusia terdapat dorongan untuk hidup  bermasyarakat di samping dorongan keakuan yang mendorong manusia bertindak  untuk kepentingan dirinya sendiri  .
Maka dari itu Islam mengajarkan kepada manusia untuk selalu tolong  menolong dalam kebaikan, hal ini terdapat dalam surat al-Mā’idah : 2 yang  berbunyi :  َ (   ibid. h. 210   ibid. h. 217   Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan terjemahannya, h. 107   ...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan  jangan tolong-menolong dalam berbuatdosa dan pelanggaran. dan bertakwalah  kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Mā’idah  : 2) Sejak dilahirkan manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya interaksi  sosial dengan yang lainnya, sebagai makhluk sosial manusia perlu berinteraksi  dengan manusia guna memenuhi hajat hidup dan kelangsungan hidupnya,  kehidupan manusia merupakan satu kesatuan yang menimbulkan hubungan  timbal balik antara manusiaitu sendiri yangdari hubungan timbal balik itu  tercipta suatu tatanan masyarakat yang komplek, yang memerlukan aturan-aturan  hukum untuk mengaturnya.
Aristoteles (384-322 SM), seorang ahli pikir Yunani kuno menyatakan  dalam ajarannya, manusia itu adalah  Zoon Politicon, artinya manusia sebagai  makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama  manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena sifatnya  yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial  .
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai hasrat untuk hidup bersama,  lebih-lebih dalam zaman modern ini tidakmungkin bagi seseorang untuk hidup  secara layak dan sempurna tanpa bantuan dari atau kerja sama dengan orang lain.
Oleh sebab itu kerja sama antara sesama manusia merupakan sebuah kebutuhan,  dan kebutuhan itu bisa dalam berbagai bentuk, misalnya dalam kehidupan sehari- Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 29.
 hari manusia tidak terlepas dari kebutuhan hidup yang mau tidak mau akan selalu  datang setiap waktu.
Sebagaimana yang disebutkan diawal tulisan ini bahwa Islam sudah  memberikan kaidah-kaidah dasar kepada manusia dalam urusan ibadah dan  mu‘amalah. Muamalah sendiri adalah aturan-aturan Allah yang mengatur  hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat  keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik  . Bentuk-bentuk muamalah  dalam Islam yang banyak macamnya, salah satu diantaranya adalah masalah gadai  (rahn).
Menurut bahasanya, (dalam bahasa arab) Rahn adalah tetap dan lestari,  seperti juga dinamai al-H{asb, artinya penahanan  . Adapun dalam pengertian  syara’, ia berarti : menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut  pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh  mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu  .
Rahndapat juga diartikan menahan salah satu harta milik si peminjam  sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut  memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh  jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya  .
 Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah,h. 2   Sabiq, Sayyid,Fikih Sunnah 12, h. 150   ibid.
 Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah,h. 187   Sedangkan menurut Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Mali>ba>ry  Rahn adalah  Rahn (Gadai) ialah menjadikan barang yang sah dijual sebagai  kepercayaan hutang, dimana akan dibayardari padanya, jika terpaksa tidak  dapat melunasi hutang.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, ar-Rahn adalah menahan salah satu  harta milik si peminjam yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki  nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan  untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara  sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau  gadai  . Sedangkan menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy Rahn ialah akad yang  obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh  pembayaran dengan sempurna dari padanya  .
Dasar hukum tentang kebolehan gadai dalam al-Qur’a>n adalah surat alBaqarah : 283 :  َ”Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),  sedangkan kalian tidak mendapati seorang penulis, hendaknya ada barang  tanggungan yang dipegang.”   al-Mali>ba>ry, Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath} al-Mu‘i>n 2,terj. Abul Hiyadh, h. 258.
 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, h.128.
 Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 86-87.
 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahannya, h. 50    Sedangkan dalam h{adi>s | Nabi adalah h{adi>s |yang diriwayatkan oleh  ‘A<’isyah ra.
”Diriwayatkan dari ‘A<’isyah r.a. :Sesungguhnya Rosulullah S{allallahu  ’alaihi wa sallam pernah membeli makanan dengan waktu tertentu (tempo)  kepada orang yahudi, dan beliau memberikan agunan berupa baju perisai besi  kepadanya ” Pemilik gadai berhak mengambil manfaat dan pengembangannya karena  barang itu menjadi miliknya. Orang lain tidak boleh mengambil manfaatnya tanpa  izinnya. Jika pemegang gadai meminta izin kepada penggadai untuk  memanfaatkan barang gadaian tanpa konpensasi dan modal dari gadai dianggap  sebagai hutang. Maka yang demikian ini tidak sah karena telah menjadi hutang  dengan menarik manfaat. Adapun jika barang gadai berupa kendaraan dan hewan,  maka pemegang gadai boleh mengendarainya dan memerahnya sesuai dengan  biaya perawatan yang dikeluarkan tanpa izin penggadai  . Hal ini berdasarkan  h{adis | :   al-Munz}iri, Al-Ha>fiz} Zaki> al-Di>n ‘Abd Al- ‘Az}i>m, Ringkasan S{ah}i>h}  Muslim,  terj. Mukhtas}ar S{ah{i>h{ Muslim, Syinqithy Djamaluddin dan H.M Mukhtar Zoerni (penerj), h. 523   Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam  pandangan 4 maz|hab…, h. 177.
( “Punggung hewan dikendarai jika digadaikan, air susu hewan perahan  diminum jika digadaikan, dan orang yang mengendarai dan meminumnya wajib  mengeluarkan nafkahnya”.(H.R. at-Turmudzi).
Pada umumnya di daerah pedesaan banyak transaksi-transaksi yang perlu  ditinjau ulang mengenai kebolehannya menurut hukum Islam. Karena terkadang  banyak permasalahan yang sudah tidak sesuai dengan garis-garis yang telah  diberikan oleh Islam. Dari pengamatan awal yang dilakukan dilapangan, penulis  dapat memberi kesimpulan bahwa praktek gadai yang terjadi di masyarakat masih  menggunakan cara-cara tradisonal, hal ini terbukti bahwa dalam praktek tersebut  masih belum ada tanda atau bukti bahwa diantara kedua belah pihak telah terjadi  perjanjian / akad gadai. Praktek gadai yang ada dalam masyarakat masih  mengedepankan sebuah kepercayaanterhadap amanat tersebut.
Dalam Fath} al-Qari>b,Asy-Syekh Muhammad bin Qasim al-Ga>zy  menjelaskan bahwa :  ُ Penggadai itu terletak diatas dasar amanah (kepercayaan) dan dalam  keadaan yang demikian itulah, maka bagi orang yang menerima gadai tidak wajib  mengganti barang gadaian, kecuali apabila orang yang menerima gadai  keterlaluan (yakni perbuataanya melampaui batas).
 al-Ga>zy, Muhammad bin Qasim, Fath} al-Qari>b,terj. Achmad Sunarto, h. 360   Menurut Ahmad Azhar Basyir, pada dasarnya barang gadai tidak boleh  diambil manfaatnya baik oleh debitur maupun kreditur kecuali bila mendapat izin  dari masing-masing pihak yang bersangkutan  .
Pada umumnya praktek gadai yang terjadi di masyarakat, selain tidak tertulis  juga tidak ada batasan waktu atau jatuh tempo. Yang bisaa dijadikan barang  gadaian adalah tanah pertanian. Dalam masyarakat, bisaanya jika ada seseorang  menggadaikan tanah pertaniannya maka hak mengambil manfaat dari tanah  tersebut jatuh ke tangan penerima gadai (murtahin). Hal ini jika disinggungkan  dengan kitab-kitab klasik jelas banyak ulama yang mengharamkan pengambilan  manfaat dari tanah tersebut oleh murtahin.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi