BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Islam adalah agama yang rahmah li
al-‘a>lami>n, Islam juga agama yang lengkap dan sempurna yang telah meletakkan
kaidah-kaidah dasar dalam semua sisi
kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang pasti butuh
berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong-menolong
diantara mereka. Karena itulah sangat
perlu sekali kita mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranyayang bersifat
interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya
berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Kehadiran seseorang atau individu
dalam kelompok keluarga maupun kelompok
masyarakat ditandai dengan wujud fisiknya. Wujud fisik sebagai bagian dari alam selalu tunduk padaalam. Wujud
fisik ini tersusun dan mempunyai
struktur fisika, seperti mempunyai berat, volume dan sifat fisika lainnya
. Individu sebagai bagian dari alamnya hidup bersama lingkungan alamnya, baik lingkungan material maupun
lingkungan sosial. Kondisi alam yang Mawardi
dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar,h.
208 1 berubah,
seperti perubahan geografis, ekosistem, cuaca, maupun perubahan yang terjadi pada masyarakat secara langsung
ataupun tidak menyebabkan perubahan pada
individu, karena setiap individu harus beradaptasi dengan lingkungannya.
Penyesuaian diri ini dapat timbul
dari dalam, seperti terwujudnya kreatifitas atau gerak refleks, maupun timbul dari luar karena
meniru atau sebagai hasil dari latihan
atau pendidikan. Proses masuknya pengaruh dari luar ini disebut internalisasi
.
Menurut kodratnya, manusia adalah
makhluk masyarakat. Manusia selalu hidup
bersama dan berada diantara manusia lainnya. Dalam bentuk kongkretnya, manusia bergaul, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan manusia lainnya.
Keadaan ini terjadi karena dalam
dirimanusia terdapat dorongan untuk hidup bermasyarakat di samping dorongan keakuan yang
mendorong manusia bertindak untuk
kepentingan dirinya sendiri .
Maka dari itu Islam mengajarkan
kepada manusia untuk selalu tolong menolong
dalam kebaikan, hal ini terdapat dalam surat al-Mā’idah : 2 yang berbunyi : َ
( ibid. h. 210 ibid. h. 217 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan
terjemahannya, h. 107 ...dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuatdosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Mā’idah : 2) Sejak dilahirkan manusia tidak bisa hidup
sendiri tanpa adanya interaksi sosial
dengan yang lainnya, sebagai makhluk sosial manusia perlu berinteraksi dengan manusia guna memenuhi hajat hidup dan
kelangsungan hidupnya, kehidupan manusia
merupakan satu kesatuan yang menimbulkan hubungan timbal balik antara manusiaitu sendiri
yangdari hubungan timbal balik itu tercipta
suatu tatanan masyarakat yang komplek, yang memerlukan aturan-aturan hukum untuk mengaturnya.
Aristoteles (384-322 SM), seorang
ahli pikir Yunani kuno menyatakan dalam
ajarannya, manusia itu adalah Zoon
Politicon, artinya manusia sebagai makhluk
pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka
bermasyarakat. Oleh karena sifatnya yang
suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial .
Sebagai makhluk sosial, manusia
mempunyai hasrat untuk hidup bersama, lebih-lebih
dalam zaman modern ini tidakmungkin bagi seseorang untuk hidup secara layak dan sempurna tanpa bantuan dari
atau kerja sama dengan orang lain.
Oleh sebab itu kerja sama antara
sesama manusia merupakan sebuah kebutuhan, dan kebutuhan itu bisa dalam berbagai bentuk,
misalnya dalam kehidupan sehari- Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, h. 29.
hari manusia tidak terlepas dari kebutuhan
hidup yang mau tidak mau akan selalu datang
setiap waktu.
Sebagaimana yang disebutkan diawal
tulisan ini bahwa Islam sudah memberikan
kaidah-kaidah dasar kepada manusia dalam urusan ibadah dan mu‘amalah. Muamalah sendiri adalah
aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling
baik . Bentuk-bentuk muamalah dalam Islam yang banyak macamnya, salah satu
diantaranya adalah masalah gadai (rahn).
Menurut bahasanya, (dalam bahasa
arab) Rahn adalah tetap dan lestari, seperti
juga dinamai al-H{asb, artinya penahanan
. Adapun dalam pengertian syara’,
ia berarti : menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang,
hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu .
Rahndapat juga diartikan menahan
salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian,
pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya .
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah,h. 2 Sabiq, Sayyid,Fikih Sunnah 12, h. 150 ibid.
Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid, Lembaga
Keuangan Syariah,h. 187 Sedangkan
menurut Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Mali>ba>ry Rahn adalah Rahn (Gadai) ialah menjadikan barang yang sah
dijual sebagai kepercayaan hutang,
dimana akan dibayardari padanya, jika terpaksa tidak dapat melunasi hutang.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio,
ar-Rahn adalah menahan salah satu harta
milik si peminjam yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan hutang atau gadai . Sedangkan menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy
Rahn ialah akad yang obyeknya menahan
harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna dari padanya .
Dasar hukum tentang kebolehan
gadai dalam al-Qur’a>n adalah surat alBaqarah : 283 : َ”Jika
kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak mendapati seorang
penulis, hendaknya ada barang tanggungan
yang dipegang.” al-Mali>ba>ry,
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath} al-Mu‘i>n 2,terj. Abul Hiyadh, h. 258.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari
Teori Ke Praktik, h.128.
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Pengantar Fiqh
Muamalah, h. 86-87.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
terjemahannya, h. 50 Sedangkan dalam h{adi>s | Nabi adalah
h{adi>s |yang diriwayatkan oleh ‘A<’isyah
ra.
”Diriwayatkan dari ‘A<’isyah
r.a. :Sesungguhnya Rosulullah S{allallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli makanan
dengan waktu tertentu (tempo) kepada
orang yahudi, dan beliau memberikan agunan berupa baju perisai besi kepadanya ” Pemilik gadai berhak mengambil
manfaat dan pengembangannya karena barang
itu menjadi miliknya. Orang lain tidak boleh mengambil manfaatnya tanpa izinnya. Jika pemegang gadai meminta izin
kepada penggadai untuk memanfaatkan
barang gadaian tanpa konpensasi dan modal dari gadai dianggap sebagai hutang. Maka yang demikian ini tidak
sah karena telah menjadi hutang dengan
menarik manfaat. Adapun jika barang gadai berupa kendaraan dan hewan, maka pemegang gadai boleh mengendarainya dan
memerahnya sesuai dengan biaya perawatan
yang dikeluarkan tanpa izin penggadai .
Hal ini berdasarkan h{adis | : al-Munz}iri, Al-Ha>fiz} Zaki>
al-Di>n ‘Abd Al- ‘Az}i>m, Ringkasan S{ah}i>h} Muslim, terj. Mukhtas}ar S{ah{i>h{ Muslim,
Syinqithy Djamaluddin dan H.M Mukhtar Zoerni (penerj), h. 523 Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, dkk.,
Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam pandangan
4 maz|hab…, h. 177.
( “Punggung hewan dikendarai jika
digadaikan, air susu hewan perahan diminum
jika digadaikan, dan orang yang mengendarai dan meminumnya wajib mengeluarkan nafkahnya”.(H.R. at-Turmudzi).
Pada umumnya di daerah pedesaan
banyak transaksi-transaksi yang perlu ditinjau
ulang mengenai kebolehannya menurut hukum Islam. Karena terkadang banyak permasalahan yang sudah tidak sesuai
dengan garis-garis yang telah diberikan
oleh Islam. Dari pengamatan awal yang dilakukan dilapangan, penulis dapat memberi kesimpulan bahwa praktek gadai
yang terjadi di masyarakat masih menggunakan
cara-cara tradisonal, hal ini terbukti bahwa dalam praktek tersebut masih belum ada tanda atau bukti bahwa
diantara kedua belah pihak telah terjadi perjanjian / akad gadai. Praktek gadai yang
ada dalam masyarakat masih mengedepankan
sebuah kepercayaanterhadap amanat tersebut.
Dalam Fath}
al-Qari>b,Asy-Syekh Muhammad bin Qasim al-Ga>zy menjelaskan bahwa : ُ
Penggadai itu terletak diatas dasar amanah (kepercayaan) dan dalam keadaan yang demikian itulah, maka bagi orang
yang menerima gadai tidak wajib mengganti
barang gadaian, kecuali apabila orang yang menerima gadai keterlaluan (yakni perbuataanya melampaui
batas).
al-Ga>zy, Muhammad bin Qasim, Fath}
al-Qari>b,terj. Achmad Sunarto, h. 360 Menurut Ahmad Azhar Basyir, pada dasarnya
barang gadai tidak boleh diambil
manfaatnya baik oleh debitur maupun kreditur kecuali bila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan .
Pada umumnya praktek gadai yang
terjadi di masyarakat, selain tidak tertulis juga tidak ada batasan waktu atau jatuh tempo.
Yang bisaa dijadikan barang gadaian
adalah tanah pertanian. Dalam masyarakat, bisaanya jika ada seseorang menggadaikan tanah pertaniannya maka hak
mengambil manfaat dari tanah tersebut
jatuh ke tangan penerima gadai (murtahin). Hal ini jika disinggungkan dengan kitab-kitab klasik jelas banyak ulama
yang mengharamkan pengambilan manfaat
dari tanah tersebut oleh murtahin.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi