BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menghadap
kiblat adalah salah
satu syarat dalam
melaksanakan shalat.
Kiblat adalah arah atau jarak
terdekat sepanjang lingkaran besar yang melewati ke Ka’bah (Makkah) dengan tempat kota yang
bersangkutan . Sebelum kiblat berpindah
ke Masjidil Haram,
Rasulullah Saw. ketika
berada di Madinah, beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis
selama kurang lebih 17 bulan.
Dalam
sebuah riwayat dijelaskan
bahwasannya Rasulullah Saw.
selalu menghadap ke
langit seraya memanjatkan
do'a agar kiblat
berpindah dari Baitul
Maqdis ke Baitul Haram,
kemudian turunlah wahyu
Allah Swt. yang memerintahkan Rasulullah
Saw. untuk menghadap
kiblat yakni Ka'bah
yang ada di Saudi Arabia sebagai respon atas do’a dan keinginan
Rasulullah Saw.
untuk menghadap ke Ka’bah.
Hal ini sebagaimana Allah SWT. berfirman :.( Muhyiddin
Khazin, Ilmu Falak
(Dalam Teori dan
Praktik), Yogyakarta :
Buana Pustaka, cet. I, 2004. hlm.
hlm. 50.
Muslim, Sahih Muslim, Juz. I, Beirut : Darul
Kutubil ‘Ilmiyyah, t.t., hlm. 214.
Muhammad Ali as-Shabuni, Rawa'i al-Bayan fi Tafsiri
Ayat al-Ahkam, Dar al-Kutub alIlmiyyah Bairut, 1999. hlm.32.
Artinya
: “Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja
kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani)
yang di beri
alKitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu
adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekalikali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan” (QS. Al -Baqarah : 144).
Dari
pemaparan di atas
para ulama dan para
fuqaha sepakat bahwasannya ka'bah
merupakan kiblat di mana ketika shalat
umat Islam harus menghadapnya sebagai
salah satu syarat syahnya shalat sesuai dengan kaidah ushul fiqih sebagai berikut Artinya : “Suatu
kewajiban yang tidak sah kecuali dengan adanya suatu syarat tertentu, maka syarat itu adalah menjadi wajib
pula.
Apabila dalam
keadaan tertentu misalnya
ketakutan karena diserang musuh ketika dalam peperangan, dalam
keadaan darurat diperbolehkan tidak menghadap kiblat, sesuai dengan kaidah ushul
fiqih yang menyatakan Artinya : “(Dalam keadaan) darurat diperbolehkan segala
hal yang dilarang.
Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang : Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 37.
Jalaluddin
Abdurrahman bin bin
Abu Bakr as-Suyuthi.
al-Asybah wa an-Nadhair.
Jakarta : Dar Ihya’ al-Kutub
al-Arabiyyah. hlm. 101.
Abdullahbin Sa’id al-Hadrami. Idlahu Qawa’id
al-Fiqhiyyah, Jakarta : Haramain, t.t.
hlm. 42.
Ketika
dalam keadaan sakit
berat dan
ketika melaksanakan shalat sunnah
di atas kendaraan
maka juga diperbolehkan
untuk tidak menghadap kiblat . Hal
ini sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari sebagai berikut ( Artinya
: “Muslim berkata
kepada kami, bercerita
Hisyam, bercerita Yahya bin Abi
Katsir dari Muhammad
bin Abdurrahman dari
Jabir berkata :
Ketika Rasulullah SAW
shalat di atas
kendaraan (tunggangannya) beliau
menghadap ke arah
sekehendak tunggangannya, dan
ketika beliau hendak
melakukan shalat fardlu beliau turun kemudian menghadap
kiblat.”(HR. Bukhari).
Berdasarkan al-Quran dan al-Hadis
di atas menghadap kiblat merupakan syarat sah
shalat, ketika melaksanakan shalat
seseorang harus yakin
bahwa sudah menghadap kiblat
dengan benar . Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw., sebagai berikut : Artinya :
Dari Abi Hurairah
r.a berkata :
Rasulullah SAW. bersabda :“menghadaplah kiblat lalu takbirlah”
(HR.Bukhari).
Lihat QS. Al-Baqarah ayat 239.
Lihat QS. Al-Baqarah ayat 115.
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Juz. I, Beirut : Dar al-Kutubil
‘Ilmiyyah, t.t, hlm. 130-131.
Ibid. hlm. 130.
Dalam kitabTafsir Ayat al-Ahkam terdapat uraian tentang apakah wajib menghadap
ke Ain al-Ka'bah
atau arahnya
saja?, Ali as-Shabuni menjelaskan
bahwa golongan Syafi’iyah
dan Hanabilah berpendapat bahwasanya
menghadap kiblat harus
dilakukan dengan cara
menghadap ke benda
Ka'bah itu sendiri,
bukan sekedar arah
Ka'bah saja. Mereka
sepakat bahwa seseorang
harus benar-benar menghadap
ke benda Ka'bah
sebagai syarat syahnya shalat.
Hal
ini berbeda dengan
golongan Hanafiyah dan
Malikiyah yang menyatakan bahwa bagi penduduk Makkah yang
dapat menyaksikan Ka’bah, maka wajib
menghadap kepada benda Ka'bah,
tetapi bagi yang
tidak dapat melihat
Ka’bah cukup dengan
menghadap ke arahya
saja sebagaimana penduduk
yang berada sangat
jauh dari wilayah
Mekkah misalnya negaranegara
Asia, Afrika, Australia,
Amerika dan sebagainya
sebagaimana hadis dari Abu Hurairah.
( Artinya
: ”Dari Abi Hurairah r.a berkata : Rasulullah Saw. Bersabda Baitullah adalah
kiblat bagi orang-orang
di Masjid al-Haram,
Masjid alHaram adalah
kiblat bagi orang-orang
penduduk tanah haram Ain al-ka'bahadalah ka'bah yang terbuat dari
batuan-batuan yang disusun berbentuk kubus.
Lihat C. E. Bostworth, et. al (ed), The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, Leiden
: E. J. Brill, 1978, hlm. 317.
Muhammad Ali as-Shobuni, op.cit, hlm. 34.
Ibid, hlm. 35.
Imam al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Juz I,Beirut:
Libanon, t.t, hlm. 143. Lihat juga Imam al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t,hlm.
562 (Mekkah),
dan tanah haram
adalah kiblat bagi
semua umatku di bumi,
baik di barat maupun di timur (HR. Baihaqi.) Mereka juga merujuk pada hadits
Rasululah SAW. yang berbunyi Artinya :
”Bercerita Hasan bin
Bakar al-Maruzy bercerita
al-Ma’ally bin Manshur
bercerita Abdullah bin
Ja’far al-Mahzumy dari
Utsman bin Muhammad al-Akhnas
dari Sa’id al-Maqbury dari Abi Hurairah r.a
berkata : Rasulullah SAW. bersabda :“Arah yang ada di antara timur
dan barat adalah
Kiblat” (HR. Tirmidzi
dan dikuatkan oleh Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwasanya
bagi yang tidak
mampu untuk melihat
atau menyaksikan Ka'bah
cukup dengan arahnya
saja sesuai dengan
posisi tempat di
mana hendak didirikan
shalat dengan mempertimbangkan koordinat
lintang dan bujur
kota atau tempat tersebut dari kota Mekkah.
Banyak anggapan
dari masyarakat negeri
ini yang cenderung meremehkan
bagaimana menghadap kiblat
ketika shalat. Mereka barpandangan
bahwa arah kiblat
banyak disalahpahami sebagai
arah barat.
Arah kiblat di Indonesia berkisar
antara o sampai o dari barat ke utara.
Lihat
Muhammad ibnu Ismail
ash-Shan’ani, Subulus Salam,
juz. I, Beirut
: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, t.t. hlm. 250. Disamping itu
banyak ditemukan arah
kiblat masjid-masjid besar
dan bersejarah yang
kurang tepat ke
arah ka'bah. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Totok Roesmanto
yang menyatakan bahwa : “Keberadaan
bangunan masjid di
sebelah barat alun-alun
menyebabkan sumbu bangunannya
sering dikaitkan dengan
arah timur-barat. Bangunan masjid
kuno di anggap
menghadap ke timur.
Lajur-lajur shalat telah disesuaikan dengan
arah kiblat sehingga
tidak lagi tegak
lurus pada sumbu bangunan. Sebenarnya,
sumbu bangunan masjid
juga tidak mengarah
timurbarat. Ada baiknya data
beberapa masjid kuno di bawah ini di simak, Masjid Menara
atau Masjidil Aqsa,
Kudus, yang di
bangun tahun 1549
memiliki sumbu bangunan
bergeser 25º ke arah
utara dari sumbu
bumi timur-barat.
Masjid Kotagede yang menempati
lahan bekas Dalem Ki Ageng Pemanahan, 1550, bergeser
19º. Masjid Mantingan
di seb elah timur
bangunan cungkup makam
Ratu Kalinyamat, 1559,
bergeser hampir 40
º. Masjid Agung
Jepara yang atap
aslinya bersusun lima
di bangun tahun
1700 bergeser 15º,
Masjid Tembayat, Klaten,
1700, bergeser 26º,
dan Masjid Agung
Surakarta, 1757, bergeser 10º”.
Begitu
juga dengan tulisan
Ahmad Izzuddin dalam
Suara Merdeka tentang
"Perlunya meluruskan arah
kiblat" yang menjadi pendorong
bagi penulis untuk penelitian ini
yang menyatakan bahwa : Realita di masyarakat
sampai sekarang, banyak
ditemukan masjidmasjid dan
mushalla-mushalla yang arah
kiblatnya berbeda-beda. Padahal menghadap
ke kiblat hukumnya
wajib bagi yang
melakukan shalat. Masjid Besar
Kauman Semarang (masih
dalam proses pembangunan
di lahan tanah banda wakaf
Masjid Kauman), seorang
kontraktor bangunan menyatakan,
ia pernah mengukur arah kiblat di
Semarang hanya 14 derajat dari titik barat ke utara. Padahal menurut perhitungan astronomi
yang akurat, arah kiblat untuk Semarang
24,5 derajat. Melihat fenomena
itu, kiranya kita perlu
meluruskan kiblat masjid, agar
dapat memberikan keyakinan dalam beribadah secara ain al-yaqin
atau mendekati bahkan
sampai haqqu al-yaqin,
bahwa kita benarbenar
menghadap kiblat (Kakbah).
Karena perbedaan per
derajat saja sudah memberikan perbedaan
kemelencengan arah seratusan
kilometer. Bagaimana kalau
perbedaan puluhan derajat,
bisa-bisa arah kiblat
melenceng jauh dari Masjidil
Haram, atau jauh dari Baitullah (Kakbah).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi