BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ratusan tahun
sudah ekonomi dunia
didominasi oleh perbankan dengan
sistem bunga. Banyak
negara yang telah
mencapai kemakmurannya dengan
sistem ini, meskipun
lebih banyak lagi
negara yang belum
termasuk negara yang
makmur. Pengalaman di
bawah dominasi perbankan
dengan sistem bunga
selama kurun waktu
tersebut membuktikan ketidakmampuan sistem
tersebut untuk menjembatani
kesenjangan ini. Di
antara negara maju dan negara
berkembang kesenjangan ini
semakin lebar, sedangkan
di dalam negara berkembang, kesenjangan itu pun semakin
dalam.
Dalam kaitan
dengan kesengajaan ekonomi
yang terjadi, para
ahli ekonomi lebih banyak
menyorotinya dari segi orang yang mengelolanya atau dari
segi manajemen. Masih
belum banyak yang
mau menyoroti sistemnya, yang
mungkin disebabkan sistem
perbankan dengan bunga
yang memiliki kerangka operasional yang lebih mudah sehingga
di anggap lebih baik.
Baru kira-
kira 20 tahun
yang lalu, para
ahli syari’ah Islam
yang belajar ekonomi
memperkenalkan sistem perbankan
bebas bunga. Latar belakang tumbuhnya
keinginan untuk menciptakan
sistem perbankan bebas bunga
ini adalah adanya kesangsian terhadap bunga, suatu argumentasi yang sangat
kuat yang menyamakan
bunga bank dengan
riba yang di
haramkan dalam Al-Qur’an
dan Hadits. Beberapa
ahli sejarah menggagap
tumbuhnya bank-bank syari’ah
berjalan bersamaan dengan
kebangkitan kembali nilainilai luhur agama islam yang pernah
tenggelam karena penjajahan Indonesia baru
memulai menggunakan sistem
bagi hasil pada
tahun 1992, yakni
dengan berdirinya BMI (Bank Muamalat
Indonesia), dan bank syari’ah semakin
tumbuh pesat setelah
adanya revisi dari
Peraturan Pemerintah no.72 tahun
1992 menjadi UU Perbankan no.10 tahun 1998 yang berisikan tentang bank yang beroperasinya dengan sistem bagi hasil.
Dan di perbaharui dengan
adanya Peraturan BI No. 6/24/PBI/2004
yang berisikan tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syari’ah.
Setelah
lahirnya UU tentang
perbankan, perkembangan perbankan syari’ah
semakin pesat. Hal
ini bisa kita
lihat dengan banyaknya
lembaga keuangan syari’ah
selain BMI (Bank
Muamalat Indonesia), yakni
lembaga keuangan bank
ada BNI Syari’ah,
Bank Syari’ah Mandiri
(BSM), Bank Perkreditan
Rakyat Syari’ah (BPRS),
dan lain-lain. Hadirnya
lembaga keuangan ini diharapkan
mampu menjangkau masyarakat paling bawah, untuk mengenal dan memanfaatkan jasa lembaga
keuangan.
Namun beberapa
hasil penelitian menunjukkan
bahwa lembaga keuangan bank, umumnya tidak mampu menjangkau
lapisan masyarakat dari golongan ekonomi
menengah dan bawah. Ketidakmampuan tersebut terutama dalam
sisi penanggungan risiko
dan biaya operasi,
juga dalam identifikasi Muhamad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer,
Yogyakarta: UII Press, Cet.I, 2000, hlm II Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di
Bank Syari'ah, Yogyakarta: UII Press, Cet.
I, 2000, hlm I usaha
dan pemantauan penggunaan kredit yang layak usaha. Ketidakmampuan ini menjadi penyebab terjadinya
kekosongan pada segmen pasar keuangan di
wilayah
pedesaan.
Dan
untuk menanggulangi kejadian
seperti ini, perlu adanya suatu
lembaga keuangan yang
mampu menjadi jalan
tengah. Wujud nyatanya adalah dengan memperbanyak
pengoperasionalan lembaga keuangan yang
berprinsip bagi hasil yang mampu menjangkau rakyat ekonomi menegah ke bawah.
Berdasar pada kebutuhan untuk
menciptakan pemerataan ekonomi dari atas
sampai bawah, maka lahirlah lembaga keuangan non bank yang di sebut dengan
Baitul Maal wa
Tamwil (BMT). Baitul
Maal wa Tamwil
(BMT) merupakan salah
satu perintis lembaga
keuangan non bank
dengan prinsip syari’ah di indonesia. Lahirnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dimulai
dari ide para aktivis Masjid Salman ITB
Bandung yang mendirikan Koperasi Jasa Keahlian
Teknosa pada tahun 80 an. Koperasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya
BMT. Dan akhirnya
BMT mulai lahir
sejak tahun 1992
yang diprakarsai oleh ARIES MUFTI
dengan mendirikan BMT Bina Insan Kamil di Jl. Pramuka Jakpus.
Baitul
Maal wa Tamwil
(BMT) sebagai lembaga
ekonomi yang bermisi memberdayakan pengusaha kecil bawah
dan kecil yang menerapkan prinsip
syari’ah, telah terbukti
berperan dalam membangun
perekonomian masyarakat khususnya
lapisan bawah. Dikarenakan
perannya yang sangat strategis inilah, akhirnya pada tanggal 7
Desember 1997 Presiden RI berkenan Ibid,
hlm.
WWW. Pikiran Rakyat, Minggu, 9 Oktober
2005 mencanangkan BMT sebagai gerakan nasional
dalam rangka memberdayakan masyarakat
lapisan bawah.
Dengan
banyaknya BMT yang
bermunculan di Indonesia,
salah satu BMT yang juga ikut berperan dalam pemberdayaan
masyarakat lapisan bawah yakni BMT Hudatama yang
didirikan pada tanggal
2 Oktober 1998
yang terletak di Jl.Tumpang Raya
No.32 Semarang.
BMT Hudatama
merupakan salah satu
BMT yang ada
di Semarang yang sangat
erat terhadap prinsip
syari’ah dalam operasional
keseharian.
Sehingga BMT
Hudatama menjadi salah
satu BMT yang
perkembangannya sangat pesat
di Semarang. Dengan
produk- produk pelayanan
funding dan landing yang mampu bersaing dengan lembaga
keuangan bank lain.
Sebagaimana kegiatan BMT lain pada umumnya,
BMT Hudatama juga melakukan kegiatan
yang sama. Pertama;
kegiatan produktif dalam
rangka menciptakan nilai
tambah baru dan
mendorong pertumbuhan ekonomi
yang bersumber daya
manusia. Kedua; kegiatan
pengumpulan dana dari
berbagai sumber seperti
zakat, infaq dan
shodaqoh dan lain-lain, yang
dapat dibagikan atau disalurkan kepada
yang berhak dalam mengatasi kemiskinan.
Sebagaimana fungsi
lembaga keuangan baik
bank maupun non
bank yang perperan
sebagai intermediary antara
masyarakat yang kelebihan
dana dan masyarakat
yang kekurangan dana,
BMT Hudatama melakukan penggalangan dana dari anggota dan
calon anggotanya. Kemudian dari
dana yang telah
dihimpun dari anggota
atau calon anggota
tersebut akan di Pedoman
Pengelolaan BMT-Balai Usaha Mandiri Terpadu, PINBUK, Dati II Jateng Laporan Keuangan BMT Hudatama Per 31 Maret
2012 kembalikan lagi pada mereka yang
membutuhkan dana, baik untuk kebutuhan produktif,
konsumtif maupun usaha.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi