Kamis, 14 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI AKAD IJARAH TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA TKI DAN PJTKI (PT. Amri Margatama cabang Ponorogo)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang sengaja diturunkan kepada manusia  untuk dijadikan sebagai petunjuk hukum dan juga sebagai pedoman hidup.
  Aturan-aturan dalam al-Qur’a>n bersifat mengatur dan membimbing (al-Qur’a>n  dapat dijadikan sebagai sumber hukumuntuk semua tingkah laku masyarakat).
 Dalam berbagai ayat Allah tidak hanya menyuruh kita untuk shalat, puasa tetapi  Allah juga menyuruh kita untuk mencari nafkah secara halal. Proses memenuhi  kebutuhan hidup inilah yang kemudian menghasilkan kegiatan ekonomi seperti  jual beli, sewa menyewa dan lain-lain termasuk bagaimana membantu sesama.
 Salah satu wujud manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia saling  membutuhkan antara satu orang dengan orang yang lain, makadari itu Allah  menyuruh kita untuk saling tolong menolong sebagaimana dinyatakan dalam AlQur’a>n surat Al-Ma>’idah ayat 2  Ar Rasikh, Al-Qur’an Sebagai pedoman Hidup, 18/04/2008 Ar Rasikh.wordpress.com   “….dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan, kebajikan  dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan  pelanggaran…” (Al-Ma>’idah: 2)  Selain itu Allah berfirman dalam surat lain yaitu surat Az-Zukhruf ayat  32:
 ْ “Apakah mereka yang membagi-bagirahmat Tuhanmu? Kami telah  menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,  dan kami telah meninggikan sebagianmereka atas sebagian yang lain  beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian  yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka  kumpulkan” 3  Setiap orang berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak  bagi kemanusiaan, hal inilah yang melandasi buruh migrant Indonesia mengadu  nasib di Negeri asing. Sempitnya lapangan kerja ditanah air dan tingginya angka  kemiskinan juga rendahnya skill(keahlian) yang dimiliki menjadi salah satu  pemicu utama meningkatnya angka buruh migran Indonesia yang keluar negeri  setiap tahunnya, tapi adanya kondisi  seperti ini malah tidak jarang di  manfaatkan oleh beberapa perusahaanpenyalur tenaga kerja untuk mencari  keuntungan yang dapat merugikan buruh migran, salah satunya dalam kontrak  kerja yang dibuat tidak disebutkan secarajelas, sehingga kerap kali kurang  menjelaskan akan hak dan kewajiban buruh migrant. Dibuatnya kontrak   DEPAG RI, Al Qur’an dan Terjemahan, h.107   Ibid, h.492   perjanjian kerja sangat penting karena memiliki kekuatan hukum dan juga  menjadi bukti tertulis apabila suatu harinanti terjadi pelanggaran-pelanggaran,  baik antara TKI dan pihak majikan atau PJTKI maupun antar negara.
 Adapun pengertian perjanjian itu sendiri adalah suatu perbuatan dengan  mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih  lainnya.
  Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut pasal 16019 Kitab  Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu  (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain (majikan) selama  suatu waktu tertentu dengan menerima upah.
  Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan  majikan yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri  untuk bekerja dengan menerima upah. Pihak ke dua ( majikan) mengikatkan diri  untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah sesuai perjanjian. Jika  sudah terjadi suatu perjanjian maka secaraotomatis timbul suatu ikatan, maka  para pihak berhak untuk menjalankan hak dan kewajiban yang sudah ditentukan.
 Dalam pembuatan perjanjian kerja harus memenuhi syarat-syarat yang telah  ditentukan yaitu mengenai subyek, obyek atau isinya dan bentuk-bentuk  perjanjian. Dalam membuat perjanjianapapun bentuknya ada unsur yang harus  dipenuhi yaitu salah satunya merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak.
   Djumialdji , Perjanjian Kerja, h.7   R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Perdata, h.389   Halili Toha dan Hari Pramono, Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh,h.9   Seseorang sebelum melakukan hubungan kerja dengan orang lain, terlebih  dahulu akan diadakan sesuatu perjanjian kerja baik dalam bentuk sederhana yang  pada umumnya dibuat lesan atau dibuat secara formal yaitu dalam bentuk  tertulis. Kesemua upaya tersebut dibuat untuk maksud perlindungan dan  kepastian akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hubungan kerja  sebagaimana realisasi dari perjanjian kerja hendaknya menunjukkan kedudukan  masing-masing pihak yang pada dasarnya akan menggambarkan hak-hak dan  kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap pekerja yang berpangkal pada  melakukan pekerjaan dan pembayaran upah.
 Mengenai orang-orang, hanyalah orang dewasa yang mempunyai  kemampuan untuk menyelenggarakan perjanjian kerja. Orang dewasa adalah  orang laki-laki atau wanita yang berusia 18 tahun ke atas, akan tetapi pasal  16019 BW memperkenankan seseorang yang belum dewasa mengadakan  perjanjian kerja, jika ia untuk itu diberikan kekuasaan oleh orang tuanya, baik  lesan maupun tertulis.
  Perjanjian dalam syariah Islam digolongkan kepada perjanjian sewamenyewa yaitu ija>rah amalyang artinya sewa-menyewa tenaga manusia untuk  melakukan perjanjian-perjanjian.
  Ija>rah yang berupa perjanjian kerja, adakalanya merupakan perjanjian  dengan orang-orang tertentu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan khusus bagi   R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Perdata, h.389   Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, h.152   seorang atau beberapa orang musta’jir tertentu, tidak untuk musta’jir lain dan  adakalanya merupakan perjanjian dengan orang-orang tertentu untuk melakukan  pekerjaan-pekerjaan yang tidak khusus bagi seorang atau beberapa orang  musta’jir tertentu.
  Dalam istilah hukum Islam pihak yang melakukan pekerjaan disebut  “a<jir” (a<jirini terdiri dari a<jirkhas yaitu seseorang/must}arakyaitu orang-orang  yang bekerja untuk kepentingan orang banyak). Sedangkan orang yang  memperoleh manfaat dari pekerjaan a<jirdisebut “musta’jir” dimana, ija>rah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi.
  Al-Ija>rah (perjanjian kerja) dalam Islam harus memuat beberapa  ketentuan dan kesepakatan bersama minimal mencantumkan 3 pokok yaitu:  Pertama, bentuk/jenis pekerjaan merupakan unsur utama yang tidak bisa “tidak”  harus dimuat dalam perjanjian kerja. Hal ini karena mempekerjakan sesuatu  pekerjaan yang masih belum diketahui hukumnya tidak boleh dan batal menurut  jenis pekerjaan yang akan dikerjakan. Kedua Kejelasan gaji/upah, Islam sangat  memperhatikan tentang upah untuk para pekerja. Hal ini kewajiban syara’ yang  harus dipenuhi oleh majikan atau pengusaha, oleh karenanya upah yang diberikan  kepada pekerja haruslah jelas dan bias diketahui. Ketiga,batas waktu pekerjaan,  merupakan hal yang ada dalam perjanjian kerja,  karena dapat menimbulkan hal-   Ahmad Azar Basyir, Hukum tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, h.31   Ibid. h.153   Izzuddin Khatib Al-Tamimi, Nilai Kerja dalam Islam, h.119   hal yang positif bagi kedua belah pihak seperti majikan akan tahu persis berapa  upah yang akan dibayar pada pekerjaan dan relative memperhitungkan dana yang  akan dikeluarkannya untuk biaya pekerja tersebut.
 Tapi perselisihan antara pengusaha dan buruh atau pekerja kerap terjadi  dalam dunia ketenaga kerjaan di tanah air.Salah satu faktor penyebabnya adalah  kurangnya pemahaman calon TKI (pekerja) terhadap akad atau perjanjian  kontrak yang digunakan sehingga masih banyak pihak yang belum mengerti  tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mereka miliki dalam suatu  perjanjian kerja yang notabene adalah suatu perikatan hukum. Dari kondisi ini  ada ketidakseimbangan posisi antara TKI dan PJTKI di satu sisi, ada pihak yang  berkuasa penuh, yang bebas menentukan peraturan semau mereka dan pihak lain  yaitu calon TKI mempunyai posisi yang lemah, yang harus mematuhi peraturan  yang diberikan oleh pihak pengusaha. Padahal dalam suatu hubungan kerja,  perjanjian harus dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak dan keduanya  memiliki posisi yang sama tidak ada pihak yang lebih penting karena pengusaha  dan TKI (Pekerja) masing-masing saling membutuhkan.
 Berdasarkan pengamatan sementara yang penulis lakukan di PT. Amri  Margatama cabang Ponorogo, ternyata masih ditemukan indikasi yang  meragukan jika dilihat dari segi akad yaitu dalam parjanjian kerja dengan mana  hanya terjadi antara pihak yang kesatu, buruh dengan Pimpinan PT. Amri  Margatama cabang Ponorogo, tanpa disertakan pihak majikan, untuk waktu    tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Perumusan ini adalah  kurang lengkap karena disiniyang mengikat diri hanyalah pihak buruh saja tidak  juga pihak lainnya yaitu majikan (pemberiupah), padahal padatiap perjanjian  yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang bersangkutan, padalah  untuk keberangkatan keluar negeri calon TKI telah mengeluarkan biaya yang  tidak sedikit sebagai biaya keberangkatan dan keperluan dan yang lain-lain.
 Adapun dari keterangan TKI yang pernah berangkat keluar negeri tidak pernah  diberi perjanjian kerja tertulis yang dibuat, bahwasanya perjanjian kerja tetap  dipegang pihak PJTKI.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi