BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Kiblat
berarti arah, menurut
fuqaha‟ kiblat adalah
suatu arah tertentu
kaum muslimin mengarahkan
wajahnya dalam ibadah
shalat.
Menghadap kiblat
di waktu shalat
merupakan salah satu
sahnya shalat, kecuali
ada alasan-alasan tertentu.
Selama Nabi Muhammad
SAW di Makkah,
beliau bersama pengikutnya
mengerjakan shalat dengan berkiblat
ke Baitul Maqdis.
Setelah beliau berada
di Madinah beliau diperintahkan oleh Allah SWT agar menghadap ke
ka‟bah.
Allah SWT berfirman “Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan
kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja
kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang di beri al-Kitab
(Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke
Masjidil Haram itu
adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah
dari apa yang
mereka kerjakan” (QS. Al-Baqarah
: 144).
Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pimpinan Kelembagaan
Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama /
IAIN Jakarta, 1992/1993, hlm. 629. Lihat
pula Muhammad Ali al Shabuni, Tafsir
ayat Al-Ahkam, Juz I; Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, Jilid I; Al-Hafizh „Imanuddin Abi al Fida‟ Ismail Ibn
Katsir, Tafsir Alqur’an al ‘Azhim
(Tafsir Ibnu Katsir) jus I.
Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang
: Kumudasmoro Grafindo, 1994,
hlm. 37.
Perubahan
itu sejalan dengan
keinginan Nabi Muhammad
Saw yang terjadi pada
tahun kedua Hijriyah.
Adapun tujuan utama
dari perpindahan arah
kiblat adalah untuk
memberikan pengertian dan kejelasan
bagi kaum musyrikin, orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa menurut Islam, dalam mengerjakan ibadah shalat
itu bukanlah arah Baitul Maqdis atau
Ka‟bah yang menjadi
tujuan, melainkan semata-mata menghadapkan diri kepada Allah SWT.
Sangat panjang sejarah
didirikannya ka‟bah hingga menjadi kiblat umat
Islam di seluruh penjuru dunia, hikmah Allah SWT menganjurkan manusia
untuk menghadap wajah
ke kiblat adalah
mengikat kaum muslimin
agar mereka mempunyai
satu tujuan dan
satu cita-cita dalam perjuangannya.
Pada lahirnya memang jasmani yang dihadapkan ke arah yang satu, namun pada hakikatnya hati yang
dihadapkan kehadirat Allah SWT.
Kata
al-qiblah yang terulang
sebanyak 4 kali
dalam al-Quran menunjukkan
bahwa masalah kiblat
harus benar-benar diperhatikan.
Masalah kiblat
tiada lain adalah
masalah arah, yakni
arah ka‟bah di Makkah.
Arah
kiblat akhir-akhir ini
telah mendapat perhatian
serius dari berbagai
kalangan, mulai dari
ta‟mir masjid, media
cetak, media DEPAG,
Ensiklopedi Islam di Indonesia, loc. cit, hlm.629.
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Lazuardi, 2001, hlm. 49.
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, cet. Ke-I, 2004. hlm. 49.
elektronik,
Kementerian Agama, DPR
dan Majlis Ulama‟
Indonesia (MUI).
Banyak pihak
yang mencoba mengecek
ulang arah kiblat
masjidmasjid, dengan alat-alat yang dimilikinya sesuai dengan
kemampuannya.
Ada yang
menggunakan alat bantu
theodolit dilengkapi dengan
GPS (Global Positioning
System), menggunakan kompas,
rasyd al-qiblah global,
rasyd al-qiblah lokal, dan tongkat istiwa‟.
Hasil dari
berbagai pengecekan diperoleh
kesimpulan bahwa banyak
masjid yang arah
kiblatnya melenceng (tidak
tepat) dari yang sebenarnya.
Dan yang menarik lagi diberitakan bahwa kemelencengan itu disebabkan
karena akibat gerak
lempeng bumi atau
gempa. Disisi lain, Indonesia sering
dilanda gempa yang
silih berganti yang
hampir tiada henti.
Hal inilah yang
nampaknya ditangkap oleh
Majlis Ulama‟ Indonesia (MUI),
gempa bumi di Indonesia selalu ada,
berarti arah kiblat selalu berubah.
MUI khawatir, masyarakat
muslim Indonesia menjadi resah,
bingung, jangan-jangan harus
membongkar masjid atau
musholla hanya untuk
menyesuaikan arah kiblat
yang salah, hingga
akhirnya lahirlah fatwa MUI nomor
03 tahun 2010.
Perkembangan
penentuan arah kiblat
ini dialami oleh
kaum muslimin secara
antagonistik, artinya suatu
kelompok telah mengalami Rashd al-qiblah adalah ketentuan waktu dimana
bayangan benda yang terkena sinar matahari
menunjuk ke arah kiblat. Lihat Buku Ahmad Izzuddin, Menentukan Arah Kiblat
Praktis.
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010.
hlm. 38.
Slamet
Hambali. Arah Kiblat
Perspektif Nahdlatul Ulama’.
Makalah disampaikan dalam
seminar nasional merespons
fatwa MUI nomor
03 tahun 2010
tentang arah Kiblat
di Indonesia, hari Kamis, 27 Mei
2010, di IAIN Walisongo Semarang. kemajuan
jauh ke depan,
sementara yang lainnya
masih ketinggalan zaman.
Misalnya
dengan media kompas,
yang jarumnya sangat
mudah bergeser jika
disekelilingnya ada medan
magnet (besi, HP,
dan sebagainya). Selain itu
adalah kondisi sosial masyarakat, serta kepercayaan mereka
yang terlalu mempercayai
pada wali, tokoh
agama, serta orang yang
di hormati dalam menentukan arah kiblat.
Kepercayaan masyarakat
yang diserahkan sepenuhnya
kepada tokoh agama
setempat yang tidak
begitu menguasai ilmu
falak menjadi alasan penolakan pelurusan arah kiblat. Kasus
penolakan pelurusan kiblat juga terjadi
ketika penentuan arah
kiblat yang dilakukan
oleh KFPI (Komunitas
Falak Perempuan Indonesia)
di masjid Nurul
Iman merupakan suatu
permasalahan yang ironis.
Penolakan tersebut dikarenakan
tanah masjid tersebut
merupakan waqaf yang
tidak boleh diganggu gugat.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi