BAB I
A. Latar Belakang Di
antara tanda-tanda kekuasaan
Allah SWT adalah
Dia menjalankan matahari
pada lintasan yang
teratur (orbit) yang
biasanya berbentuk ellips.
Keteraturan
lintasan dan pergerakan
matahari dapat dipelajari
oleh manusia sehingga
dapat dimanfaatkan untuk
keperluan hidup manusia
sehari-hari.
Demikian pula,
keteraturan ini menjadi
suatu patokan yang
jelas dalam menentukan
waktu ibadah setiap
hari dengan melihat
bayang-bayang matahari yang biasa disebut dengan Rasdul Kiblat.
Di
dalam agama Islam,
shalat menempati bagian
yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim, sebagai
perjalanan spiritual menuju Allah SWT yang dilakukan
pada waktu-waktu tertentu
dalam setiap harinya.
Perjalanan spiritual seperti
itu bertujuan untuk
melepaskan diri mereka dari berbagai beban kehidupan yang memberatkan hatinya, dan sekaligus sebagai pembuka cakrawala harapan yang cerah bagi kelanjutan hidupnya.
Seorang muslin yang sudah baligh
dan berakal (tidak gila) dan bagi wanita yang
tidak terhalang oleh haid atau nifas
berkewajiban untuk
mengerjakan shalat Bentuk
lingkaran yang tidak
bundar, melainkan bulat
seperti telur. Lihat
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu
Falak, cet. I (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005) hlm.
Ketentuan
waktu dimana bayangan
benda yang terkena
sinar matahari menunjuk
ke arah kiblat. Lihat Susiknan
Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, cet II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm. 179 fardhu
lima kali dalam
sehari semalam, yaitu
shalat Shubuh, Dzuhur,
Ashar, Maghrib dan Isya‟.
Dalam wacana
fiqh, shalatnya seorang
muslim dikatakan sah
apabila memenuhi syarat
dan rukunnya. Ijma‟ ulama
sepakat bahwa menghadap
kiblat merupakan salah satu
syarat sahnya shalat yang tidak dapat ditawar-tawar kecuali dalam
beberapa hal. Pertama,
bagi mereka yang
dalam keadaan ketakutan, keadaan terpaksa, dan dalam
keadaan sakit berat diperbolehkan tidak menghadap kiblat pada waktu melaksanakan shalat.
Kedua, mereka yang shalat sunnah di atas
kendaraan.
Sebagaimana
firman Allah yang
tertuang dalam al-quran
QS. alBaqarah ayat 115 dan 239.
“Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan
barat, maka ke
mana pun kamu menghadap di
situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha
Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (2:115) Jika kamu dalam keadaan takut
(bahaya), maka salatlah
sambil berjalan atau
berkendaraan.
Kemudian apabila
kamu telah aman,
maka sebutlah Allah
(salatlah), sebagaimana Allah
telah mengajarkan kepada
kamu apa yang
belum kamu ketahui. (2:239).
Masalah kiblat
tiada lain adalah
masalah arah, yakni
arah Ka‟bah di Makkah.
Arah Ka‟bah ini
dapat ditentukan dari
setiap titik atau
tempat di permukaan bumi dengan melakukan perhitungan
dan pengukuran. Oleh sebab itu, Muhammad
Bagir al-Habsyi, Fiqh
Praktis I Menurut
al-Quran, as-Sunnah, dan Pendapat
Para Ulama, cet. I (Bandung: Mizan Pustaka, 1999) hlm.
Depag RI, Al-Qur‟an dan
Terjemahanny al-Jumanatul „Ali Seuntai Mutiara yang Maha Luhur, (Bandung: CV Penerbit J-ART, 2005) hlm.
18-39 perhitungan arah kiblat pada
dasarnnya adalah perhitungan untuk mengetahui
dan guna menetapkan ke arah
mana Ka‟bah di
Makkah itu dilihat dari suatu tempat di permukaan bumi ini, sehingga semua gerakan orang
yang sedang melaksanakan shalat,
baik ketika berdiri, ruku‟, maupun sujud selalu berimpit
dengan arah yang menuju ke Ka‟bah.
Dalam
sejarah dikatakan bahwa
Sebelum Rasulullah SAW.
hijrah ke Madinah, belum ada ketentuan dari Allah SWT.
tentang kewajiban menghadap ke arah kiblat
bagi orang yang
melakukan shalat. Rasulullah
sendiri menurut ijtihadnya,
dalam melakukan shalat
selalu menghadap ke
Baitul Maqdis atau Masjidil
Aqsha sebagaimana dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya.
Namun
demikian dalam sebuah
riwayat lain dijelaskan
bahwa meskipun Rasulullah SAW. dalam menjalankan shalat
selalu menghadap ke Baitul Maqdis, beliau
pun selalu menghadap ke Baitullah atau
Masjidil Haram ketika berada di Makkah
dengan jalan menghimpun
kedua kiblat tersebut
ketika mengerjakan shalat, dan
dalam hatinya selalu
memiliki kecenderungan untuk
menghadap ke Ka‟bah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika Rasulullah SAW berada di Makkah, beliau pada waktu melaksanakan shalat selalu mengambil tempat
di Muhyiddin Khazin,
Ilmu Falak Dalam
Teori dan Praktek,
cet. I (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2004) hlm.
Lihat Abdur
rachim, Penentuan Awal Waktu
Shalat dan Arah Kiblat menurut Syari‟at Islam, dalam materi Workshop Nasional
“Mengkaji Ulang Metode Penentuan Awal Waktu Shalat dan
Arah Kiblat Dalam
Perspektif Ilmu Syari‟ah dan
Astronomi”, Universitas Islam
Indonesia, Sabtu. Tanggal
07 April 2001, hlm. 1.
Muhammad
Rasyid Ridlo, Tafsirul
Qur‟anil Karim (asy-Syahir
bi Tafsiril Manaar), Juz. II, Beirut : Darul Ma‟rifat, t.t., hlm. 2.
sebelah
selatan Ka‟bah, sehingga
beliau dapat menghadap
ke Ka‟bah sekaligus menghadap ke Masjidil Aqsha.
Setelah kurang
lebih 16 atau
17 bulan Rasulullah
SAW. selalu shalat menghadap
Baitul Maqdis, kemudian
turunlah wahyu Allah
SWT yang memerintahkan Rasulullah SAW dan umatnya untuk
shalat menghadap ke ka‟bah, sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah
ayat 144.
“Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu
menengadah ke langit,
maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu
ke kiblat yang
kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orangorang
(Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al
Kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke
Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali
tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan (2:144) Arah kiblat yang
berkaitan dengan masalah
arah tidak lain
adalah arah terdekat
menuju Ka‟bah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi