Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PEMINUM MINUMAN KERAS

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai agama yang selalu sesuai dengan perkembangan zaman tidak menolak perubahan dan perkembangan. Sebagai agama yang terakhir dan rahmatan lil¶alamintentunya menjadi problem solving permasalahan kekinian bagi pemeluknya. Tidak ada permasalahan yang tidak dapat ditemukan jawabannya dalam agama Islam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari agama yang benar (dinul haq).
Dalam perkembangannya, umat Islam saat ini dianggap terbelakang dibanding umat agama besar lain di dunia (Yahudi dan Nasrani). Meskipun secara eksplisit kita tidak bisa memakai oposisi binner dalam memaknai Islam yang diwakili wilayah Timur sedangkan agama non Islam (yahudi dan Nasrani) mewakili wilayah Barat.
 Keterbelakangan umat Islam tidak hanya dalam bidang teknologi dan pengetahuan, lebih dari itu dalam bidang hukum sebagai social engineering.

Sampai saat ini masih banyak orang Islam yang pemahamannya masih  Menurut Mu’ammar Qadhahafi di Arab atupun Negara Barat terdiri dari masyarakat yang heterogen dalam memeluk kepercayaan, sehingga pertikaian antara Barat dan Timur bukanlah berdasar kepercayaan (agama) lebih dari itu merupakan persaingan antara strata kedudukan kelas sebuah negara. Lihat Mahmuod Ayoub, Islam dan Teori Dunia Ketiga, Pemikiran Keagamaan Mu¶ammar Qadhdhafi, Bogor: Humaniora Press, 2004, hlm. 117.
 normatif dan kaku sehingga menjadi kurang toleran. Akibatnya hukum Islam menjadi kaku, ekslusif dan belum bisa menyentuh realitas sosial  .
Kesalahan paradigma tentang tujuan hukum Islam sebatas kepatuhan terhadap teks tidak lepas dari realita perkembangannya. Dinamika hukum Islam (dialektika fiqh) terbentuk oleh interaksi antara wahyu dan rasio.
Kombinasi dua paradigma pemikiran inilah yang mendorong tradisi ijtihad.
Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam terdapat dua aliran di kalangan para pendiri mazhab. Kelompok pertama dikenal dengan ahl ra¶yi (mereka mengedepankan rasio sebagai ”panglima” dalam memahami al Quran), sedangkan kelompok kedua dikenal dengan ahl hadis (mereka mengedepankan Hadis Nabi dalam memahami al Quran). Kelompok pertama memberikan peluang adanya manivestasi rasio/akal dalam memahami otoritas wahyu. Sedangkan kelompok dua menolaknya  .
Begitu juga dalam mensikapi perkembangan zaman, kelompok ahl hadis cenderung mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan accomodative thinking. Artinya, apa yang tersurat dalam kalam ilahi adalah final, sakral, permanen dan tidak dapat diubah. Model pemikiran tersebut  Pemahaman Islam yang normatif sebenarnya berangkat dari pola fikir yang deduktif, yakni ajaran Islam yang diyakini benar secara mutlak itu kemudian dipahami apa adanya tanpa melalui proses berpikir dengan melibatkan secara langsung persoalan-persoalan realitas sosial yang plural. Islam masih dipandang sebagai ajaran-ajaran langit yang selamanya melangit, sebab model pola pikir inilah Islam mandul dalam misinya menjadi agen social of change, lihat Mu’arif, Pembaruan Pemikiran Islam, Bantul: Pondok Edukasi, 2005, Hlm. 10.
 Madzhab yang dimaksud tidak spesifik untuk madzhab dalam fiqih, secara historis perkembangan madzhab pemikiran berawal dari madzhab daerah, yang terkenal pada masa awal yaitu madzhab Iraqi dan Hijazi. Menurut Ali al Khaffi seorang anggota badan riset Islam (Majma¶ al Buhuts Islamiyah)aliran Iraq lebih cenderung longgar dan bersandar kepada penalaran, analogi dan tujuan-tujuan hukum (maqoshid al syari¶ah). Sebaliknya mazhab Hijaz lebih condong kepada mengikuti hadis yang berkembang. Lihat Sumanto al Qurtubi, KH. MA. Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999, hlm Vdan 5.
 sebagian besar masih dianut oleh masyarakat Indonesia. Sebagai akibatnya yaitu sakralitas fiqih, karena secara tidak langsung fiqih merupakan menifestasi dari penafsiran al Quran dan Hadis dalam bidang hukum.
Lain halnya kelompok ahl ra¶yi. Bagi mereka, adalah satu tuntutan zaman, manakala proses interaksi wahyu-rasio berjalan seiring. Artinya, suatu keniscayaan bagi wahyu untuk menerima bagi segala kemungkinan interpretasi akal.
Tidak terlepas dari pergulatan keberpihakan kepada tekstualiatas yang diwakili ahl hadisdan kontekstualitas yang diwakili ahl ra¶yi. Keduanya mempunyai satu tujuan yaitu kemaslahatan bagi kehidupan umat Islam, hal tersebut berdasarkan tujuan tasyri¶.
 Secara embrional kecenderungan ortodoksi yang tekstualis dan formalistik ini bermula sejak masa-masa awal. Yakni ketika beberapa sahabat, antara lain Bilal bin Abi Rabah, secara tegas menolak ijtihad Umar. Adalah Umar bin Khatab dalam sejarah dikenal sebagai khalifah yang kontroversial, tegas dan berani. Ijtihad yang dia lakukan baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum dalam banyak hal sering berseberangan dengan praktek Nabi.
  Tasyri¶adalah bentuk mashdardari kata syara¶ayang berarti membuat syariat. Tasyri’ memiliki tiga pondasi. Pertama, tidak adanya kesempitan sebaliknya harus bertujuan melapangkan. Kedua, memperingankan tidak memberatkan. Ketiga, tasyri¶dilakukan secara bertahap. Lihat Khudlori Bik, Tarehk at Tasyri¶al Islamy, Mesir: Maktabah Tijariyah Qubra, 1965, hlm. 17.
 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khatab (Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa itu) diterjemahkan Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2008, hlm. vi.
 Dia membentuk diwan-diwansebagai aparatur pemerintahannya seperti di Persia,  menetapkan rampasan perang (ghanimah)dan upeti (fa¶i) yang merupakan barang tetap milik negara tidak hanya seperlimanya,  memberi gaji kepada tentara, menghapuskan hak mu¶allafah qulubuhum  memperoleh bagian zakat, tidak melakukan hukuman potong tangan, memperberat hukuman pemabuk dan sebagainya. Semua yang dilakukan Umar bin Khatab itu dalam rangka mencapai kemaslahatan.
Tidak terlepas dari metodologi yang dipakai Umar bin Khatab dalam rangka keluar dari kungkungan tekstulitas al Quran dan Sunnah Nabi. Dalam sejarahnya Umar tetap menjalankan seluruh peraturan lewat koridor yang telah dilakukan rasul atau himbauannya.
Di antara hasil kebijakan Umar yang pernah ditetapkan yaitu kebijakannya tentang penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Penetapan Umar dalam menambah hukuman cambuk bagi peminum minuman keras ternyata berimplikasi terhadap hukum yang diistinbathkan para ulama fiqih klasik maupun kontemporer. Banyak pendapat para ulama fiqih yang berbeda tentang ketetapan penambahan Umar terhadap hukuman cambuk bagi peminum minuman keras.
  Ibid., hlm. 249.
 Ibid., hlm. 671.
 Al-Sayyid al-Sabiq memberikan pengertian al-Muallafsebagaimana yang dikutip dalam tafsir al-Manar, yaitu: sekelompok orang yang dibujuk hatinya agar bergabung dengan Islam, atau mereka menahan diri dari melakukan kejahatan terhadap orang-orang Islam, atau orang-orang yang jasanya diharapkan untuk membantu dan membela kaum muslimin. Lihat, al-Sayyid alSabiq,Fiqh al-Sunnah,Jilid I, hlm.328.
 Perbedaan pendapat terkait dengan hukum yang ditetapkan Umar dalam penambahan hukuman jilid bagi peminum minuman keras adalah ta’zir atau had itu sendiri. Kelompok besar syafi’iah menyetujui bahwa itu adalah ta’zir, sebaliknya ketiga imam selain Syafi’i menjadikannya sebagai had bagi peminum minuman keras. Khudlori Bik, loc. cit., hlm. 649.
 Umar menentukan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras pada awal pemerintahannya sebanyak 40 kali, masih mengikuti pendahulunya yaitu Nabi dan Sahabat Abu Bakar. Kebijakannya berubah pada akhir pemerintahannya menjadi 80 kali. Adapun keputusan tersebut berdasarkan usulan para sahabat, karena keadaan masayarakat pada waktu itu sangat menggemari minuman keras.
 Alasan Umar menambahkan hukuman menjadi 40 kali cambukan, tidak terlepas dari sebab utama yaitu membuat jera para pemabuk untuk berhenti meminum minuman keras. Umar menambahkan hukuman menjadi 60 kali, dianggap belum mencegah kejahatan tersebut maka Umar menambahkan menjadi 80 kali.
 Secara historis Umar mempunyai alasan sosiologis. Sebagai khalifah Umar mempunyai tanggung jawab membenahi kehidupan masyarakat. Ketika terjadi sebuah distabilisasi karena suatu fenomena, ketegasan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan mutlak dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Terkait dengan maraknya minuman keras pada masa Umar, menuntutnya untuk memecahkan permasalahan sesuai dengan kemaslahatan.
Ijtihad yang dilakukan Umar tetap berpijak pada ketetapan al Quran dan hadis, adapun faktor sosiologis menjadi landasan permasalahan yang harus diselesaikan dengan merujuk kepada keduanya. Permasalahan dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras ini dimulai dari  Muhammad Ruwas Qal’aji, Mausu¶ah Fiqih Umar Ibn Khattab, Kuwait: Maktabah al Falah, t.th , hlm. 81.
 Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, Fatawa wa Aqdhiyya Amirul Mu¶minin Umar Ibn Khathab, Kairo: Maktabah al Qur’an, 1986, hlm. 267.
 ketetapan Umar bin Khatab untuk menghukum seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin yang dahulu ikut hijrah pertama kali. Umar memvonisnya dengan hukuman cambuk, sebaliknya laki-laki tersebut tidak puas dengan keputusan Umar.
Laki-laki itu memprotes Umar dengan alasan tidak ada hukum yang mendasari ketetapan Umar untuk memberi hukuman cambuk. Lalu Umar balik bertanya terkait ayat yang mengandung kandungan bahwa seorang pemabuk tidak dapat didera/cambuk. Laki-laki tersebut membacakan salah satu ayat dari al Quran.
Artinya:Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh Karena memakan makanan yang Telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, Kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS. Al-Maidah: 93)  Laki-laki tersebut berkilah bahwa dirinya adalah orang-orang saleh yang gemar berbuat kebajikan. Bahkan dia menambahi, bahwa dirinya pernah ikut perang bersama Rasulullah. Menurutnya Allah menyukai orang sepertinya, sehingga tidak ada alasan bagi Umar untuk menghukumnya.

Mendengar penjelasan tersebut, Umar meminta pertimbangan kepada sahabat yang lain. Kemudian Ibnu Abbas memberikan opsi yang menyatakan bahwa ayat di atas merupakan dalil bagi orang-orang terdahulu sebelum  Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996, hlm.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi