BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam kajian
ilmu fikih, terdapat
beberapa hal dan
aturan tentang pengebumian jenazah seorang muslim yang
disusun dan dirangkai sedemikian rupa menurut
sunnah dan ajaran
yang dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad SAW..
Aturan-aturan tersebut selanjutnya
dilaksanakan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pemeluk agama Islam. Dari sekian banyak tuntunan tersebut, di antaranya adalah memposisikan
jenazah menghadap arah kiblat.
Sejauh penelusuran
penulis, dapat kami
simpulkan bahwa para
ahli fikih Islam
terbagi menjadi dua
golongan dalam menghukumi
hal di atas.
Pertama, posisi mayat majib
menghadap ke arah kiblat. Golongan ini adalah dari kebanyakan ulama‟ Syafi‟iyyah (pengikut
Imam Muhammad bin Idris AlSyafi‟i,
w. 204 H) dan Hanabilah
(pengikut Imam Ahmad
Muhammad Ibn Hambal, murid Ibn Abbas dan Al-Imam
Al-Syafi‟i, w. 241 H).
Dasar
landasannya adalah hadist
Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh imam Abu Daud
dan At-Tirmidzi mengatakan, yang telah diartikan oleh hafid dasuki dan kawan-kawan sebagaimana
berikut: “ kiblat orang yang telah meninggal dunia
adalah kiblat orang
yang masih hidup
”.
Alasan
kedua, Baca: Abdul Rahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar AlKutub
Al-„Ilmiyyah, t. t.), hlm. 485-486. Lihat juga dalam kitab terkenal karangan
Taqiyuddin Abi Bakr Ad-Damsyiqy, Kifayat
Al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, t. t.), juz. I, hlm. 168 -169.
Hafidh Dasuki, dkk, Ensiklopedia
Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996), cet. I, hlm. 340-341.
HR. Imam Abu Dawud nomor 7.875, Imam an Nasa-i Juz 2 halaman 165, hasan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al
Albani -
Kitab Irwa al Gholil Juz 3 halaman 154.
adalah prosesi pemakaman Rasulullah SAW.,
beliau juga dihadapkan ke arah kiblat
ketika pengebumiannya. Pendapat di atas juga sesuai dengan pendapat ulama‟ Hanafiyyah (pengikut Imam
Abu Hanifah, w. 150 H) dan
Imamiyah (Imam Ja‟far Ash-Shadiq
guru dari Imam Abu Hanifah, w. 1488 H).
Kedua,
para ulama‟ Malikiyyah
(pengikut Imam Malik
bin Anas, w.
179 H) yang berpendapat bahwa
tata cara tersebut hanya bersifat sunnah saja dan
tidak wajib.
Imam
malik adalah imam
yang terkenal sebagai
ahl alhadist, pemegang
kuat al-Quran dan
al-Hadist. Menurut Malikiyyah,
hal ini dikarenakan
tidak adanya perintah
langsung yang secara
eksplisit terdapat dalam
nash, baik al-Qur‟an
maupun hadist Nabi
SAW.. Termasuk dalam sunnah pula,
ketika menaruh jenazah
dalam liang lahad
agar menumpukan badannya di atas dada sebelah kanan (agar
menghadap kiblat), mengganjalnya dengan batu
bata atau yang
sejenisnya. Dan bagi
yang meletakkannnya hendaklah membaca Artinya: “ dengan nama
Allah, dan mengikuti agama (sunnah) Rasulullah. ” Hukum sunnah ini berlaku
dalam berbagai situasi dan kondisi. Dalam keadaan
darurat pun sunnah
menghadap kiblat tetap
berlaku. Disebutkan Penjelasan lainnya lihat juga dalam sebuah karya seorang ulama‟
Hanafiyyah, „Alauddin Abi bakr Al-Kasani, Bada‟i‟ As-Sana‟i‟ Fi Tartibi
As-Syara‟i‟, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-„Ilmiyyah, t. t.), juz. II, hlm.
355-356.
Walaupun
dalam fikih empat
madzhab disebutkan bahwa
ulama‟ Hanafiyyah hanya mensunnahkannya, tetapi
dalam buku lain
disebutkan bahwa mereka
tidak hanya mensunnahkannya tetapi
mewajibkannya, dengan syarat
tertentu. Lihat Muhammad
Jawad Mughni, Fiqih Lima Madzhab,
(Jakarta: Lentera, 2008), cet. XXI, hlm, 54 -55.
Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah, (Jakarta: Darul
Fath, 2004), cet. I, hlm. 180, dan hampir semua
kitab berbagai madzhab
membahas hal yang
sama, walaupun terdapat
perbedaan lafadz dikarenakan perbedaan matan hadist antara satu
dengan yang lainnya.
bahwa
apabila terdapat seseorang
yang meninggal di
atas kapal dan
kapal tersebut tidak
menemukan daratan sehingga
tidak dapat menguburkannya, serta
ditakutkan akan segera
membusuk di kapal,
maka mayat boleh dihanyutkan. Cara
menghanyutkan mayat yaitu
dengan memiringkan badannya
di atas dada
kanan terlebih dahulu
sehingga diperkirakan menghadap ke arah kiblat, lantas dilempar ke
laut lepas.
Yang
berusaha penulis tekankan
adalah bahwasanya perkara menghadap ke arah kiblat bukanlah hal yang
bisa dianggap sepele dan remeh.
Dalam al-Qur‟an
kata ‟kiblat‟ diulang-ulang
sebanyak empat kali,
dan perintah menghadap
ke arahnya sebanyak
tiga kali.
Kita
dapat mengatakan bahwa
Allah SWT dan Rasul-Nya
menaruh perhatian khusus
terhadap arah kiblat. Setidaknya, kita sebagai ummat Islam
juga harus memperhatikannya.
Sebagaimana dalam salat fardlu,
menghadap ke arah kiblat merupakan salah
satu syarat sah salat terkecuali bagi orang-orang yang tidak mampu atau dalam keadaan sakit.
Menurut penulis, hal ini setidaknya juga
berlaku dalam pemakaman jenazah
seorang muslim. Apalagi
mayoritas warga negara Indonesia
adalah penganut madzhab
al-Syafi‟i yang mengatakan
bahwa menghadapkan jenazah ke
arah kiblat merupakan sebuah kewajiban.
Muhammad Al-Maghribi, Mawahib Al-Jalil Li
Syarkhi Mukhtasar Khalil, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, t. t.), juz. II, hlm.
77.
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004),
hlm. 49. Buka
juga dalam buku
karya Wahbah Az-Zuhaily,
At-Tafsir Al-Munir, (Damaskus: Darul Fikr, 1991). Hlm. 24.
Pendapat Jumhur ulama‟ dalam kitab Ibnu
Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat
AlMuqtasid, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, t. t.), juz. II, hlm. 115.
Dalam tafsirnya, Ali As Shabuni
mengatakan wajib hukumnya
menghadapkan wajah kita
ketika sedang melaksanakan salat,
baik dalam keadaan
salat safar ataupun
salat hadlir. Safar
berarti ketika orang
sedang melakukan salat ketika
bepergian dan atau di atas kendaraan. Dan salat hadlir berarti salat dalam keadaan
waktu yang leluasa,
tidak bepergian. Muhammad
Ali As-Shabuni, Shafwat
At-Tafasir, (Beirut: Dar
Al-Qur‟an Al-Karim, 1981), hlm. 104.
Menurut
penulis, menghadap ke
arah kiblat adalah
suatu tuntunan syari‟ah
(wajib sebagai batas
maksimalnya dan sunnah
sebagai batas minimalnya) dalam melaksanakan berbagai
ibadah. Tidak ada perselisihan di kalangan ahli fikih (fuqaha‟). Merupakan
syarat sahnya salat, wajib dilakukan ketika hendak
mengerjakan salat (menggetahui
arah kiblat dengan
tepat dan benar sebagaimana mengetahui masuk-belumnya
waktu salat) dan juga ketika menguburkan jenazah
orang Islam.
Merupakan
sunnah ketika melakukan azan, melantunkan doa, berdzikir, belajar,
membaca Al-Qur‟an, menyembelih binatang
dan sebagainya.
Dalam firman-Nya dikatakanArtinya:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah
Masjid al-Haram. dan
dimana saja kamu
(sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar
tidak ada hujjah bagi manusia atas
kamu, kecuali orang-orang
yang zalim diantara mereka.
Maka janganlah kamu
takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku
(saja). dan agar
Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS.
Al-Baqarah: 150) Arah kiblat sendiri
telah mengalami perubahan.
Yang sebelumnya menghadap
ke arah Bait
al-Maqdis yang terletak
di Palestina, oleh
Allah kemudian dipindahkan
ke arah bangunan
Ka‟bah, atas dikabulkannya
doa Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981),
hlm. 17.
Nabi SAW..
Yaitu 16 atau 17 bulan lamanya umat Islam
mengkiblat ke Bait al-Maqdis. Peristiwa
ini terjadi setelah
Nabi Muhammad selalu
berdoa dan mengharap
arah kiblat umat
Islam dipindahkan ke
Ka‟bah yang berada
di Makkah al-Mukarramah.
Terdapat perbedaan
di antara para
ahli fikih meskipun
mereka sependapat bahwa menghadap
arah kiblat adalah kewajiban, apakah kita harus benar-benar mengarah ke bangunan Ka‟bah di
Masjid Al-Haram? Umumnya para fuqaha‟
membaginya menjadi tiga
wilayah. Dalam buku
Ilmu Falak Dalam
Teori dan Prakek,
Muhyiddin Khazin mengatakan
bahwa Ka‟bah adalah kiblat bagi orang-orang yang
melaksanakan salat di dalam Masjid AlHaram atau sekitar Ka‟bah. Masjid Al-Haram
menjadi kiblat bagi orang-orang yang berada
di Makkah dan
sekitarnya. Dan bagi
orang-orang yang berada pada
jangkauan jauh, di
negara-negara yang bersebelahan
maupun berseberangan, cukup
menghadap ke arah kota Makkah.
Di sinilah peran ilmu falak
dibutuhkan, untuk menentukan arah kiblat masjid-masjid
dan khususnya area
pemakaman muslim. Kaitannya
dengan ibadah, ilmu
ini mempunyai empat
bahasan utama, yaitu:
arah kiblat dan bayangan arah
kiblat, waktu-waktu salat,
awal bulan dan
waktu gerhana.
Dengan ilmu falak, seseorang dapat mempelajari
dan mengetahui pergerakan bumi, bulan
dan matahari, kemanakah
seharusnya menghadap ketika mendirikan
salat, menghitung arah
kiblat area pemakaman,
mengetahui Muhammad Nasib
Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), hlm. 241.
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan
Prakek, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004),
cet. I, hlm. 51-54.
Ibid, hlm. 3-6.
waktu-waktu
salat yang merupakan
salah satu syarat
sahnya salat, masukbelumnya awal bulam kamariyah, kapan
terjadinya gerhana, dll.
Pada zaman
Rasulullah SAW., sebelum
berhijrah ke Madinah
beliau menentukan sendiri
dimanakah arah kiblat berada (melakukan ijtihad sendiri).
Hal terebut dilakukan ketika
kiblat kaum muslim menghadap ke arah Masjid Al-Aqsha
di Palestina, sebagaimana
dilakukan oleh para
nabi sebelumnya.
Seiring
berjalannya waktu dan
semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, berkembang pula
berbagai metode dan
alat bantu yang
lebih fleksibel dan akurat
guna menentukan arah kiblat.
Bentuk bumi
yang bulat tidak
membuat kesulitan dalam
menentukan arah kiblat.
Hal ini dikarenakan
posisi / tempat
yang akan diukur
kiblatnya dan Ka‟bah
yang tetap, serta
tidak dipengaruhi oleh
rotasi maupun revolusi bumi.
Walhasil, kita dapat
mengaplikasikan rumus matematis
segitiga bola atau
yang lebih dikenal
dengan trigonometri, yang
ditemukan oleh seorang scientist dan ahli matematik Islam bernama
Al-Khawarizmi.
Walaupun begitu,
sekarang ini masih
banyak masyarakat yang menganggap sederhana
dan sepele masalah
penentuan arah kiblat
area pekuburan. Anggapan
tersebut dapat terjadi
dari kurangnya pemahaman bahwa
menghadap kiblat ketika
menggali liang lahad
dan meletaknya mayit hanya bersifat
anjuran saja, bukan
kewajiban. Kekurang-fahaman tersebut juga
menjadi penyebab utama
banyaknya bangunan masjid
pada umumnya Lihat Abdurrachim, Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat
Menurut Syari‟at Islam, dalam materi
workshop nasioal “Mengkaji
Ulang Metode Penentuan Awal Waktu Shalat
dan Arah Kiblat Dalam Perspektif Ilmu
Syari‟ah Dan Astronomi”,
Universitas Islam Indonesia, Sabtu, 07 April 2001, hlm. 1.
tidak menghadap ke arah kiblat yang
sebenarnya. Erfan Widiantoro, lulusan fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang
mengatakan: “Masyarakat berasumsi bahwa
arah kiblat yang
mereka yakini itu sudah
benar. Bahkan dalam hal mendirikan salat, mereka lebih percaya penuh
kepada tokoh masyarakat
atau Ulama‟ yang
ada di lingkungan mereka.
Padahal ulama‟ atau
tokoh itu sendiri
kadang-kadang tidak paham betul tentang cara menentukan arah
kiblat.” Persoalan melencengnya arah
pemakaman jenazah muslim
ini juga dikarenakan
arah kiblat sebagian
masih ditentukan secara
„titen‟. Asalkan menghadap arah barat maka selesai sudah, tanpa
meneliti manakah arah kiblat yang sebenarnya.
Yang lazim dilakukan,
pemakaman hanya ditentukan
oleh penggali kubur,
padahal mereka juga
tidak begitu mahir
dalam menentukan arah yang tepat menuju kiblat. Di samping,
adanya kekhawatiran masyarakat akan
bertambahnya biaya pengurusan jenazah
apabila dilakukan pengecekan arah kiblat
terhadap pemakaman sanak
keluarganya. Bahkan, terdapat
juga sebagian umat Islam yang mengambil
sikap acuh tak acuh tentang masalah ini.
Padahal para
ulama‟ Syafi‟iyyah khususnya,
telah mewajibkan untuk menghadapkan
jenazah ke arah kiblat pada saat pemakaman.
Apabila tidak menghadap kiblat, walaupun mayat telah
ditimbun dengan tanah, maka wajib hukumnya untuk
menggali dan memindahkan
posisi mayat tersebut
ke arah yang benar.
Semisal Imam Taqiyuddin Ad-Damsyiqy, muallif kitab
Kifayat Al-Akhyar, beliau
juga meng‟embel-embeli‟ dengan
hukum wajib Erfan Widiantoro, Skripsi: Studi Analisis
Tentang Penentuan Arah Kiblat Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta, (Semarang: IAIN
Walisongo, 2008).
Muhammad Jawad Mughniyyah, loc. cit.
Al-Zumri
Al-Ghomrowi, Al-Siraj Al-Wahhab,
Al-Syarkh „Ala Matan
Al-Minhaj, (Beirut: Dar Kutub Al-„Ilmiyyah, 1996), cet. I, hlm. 111.
Lihat juga dalam kitab karangan Abdul Rahman
Al-Jaziri, op. cit, hlm. 46. Lihat juga Taqiyuddin Abi bakr Ad-Damsyiqy, loc.
cit.
menggalinya kembali apabila jenazah tidak
menghadap ke arah kiblat, dengan syarat si
mayit belum berubah
bentuk / busuk.
Para ulama‟ dari
kalangan Hanabilah juga
berpendapat sama.
Muhammad Jawad
Mughni menyebutkan bahwa
para ulama‟ Hanafiyyah
pada dasarnya juga
menghukuminya dengan wajib.
Walaupun pada kitab lain yang kami telusuri, Bada‟i As-Sana‟i‟ Fi Tartibi As-Syara‟i‟ karya Imam Alauddin Abi Bakar Al-Kasani Al-Hanafi menyebutkan wajib hanya
apabila jenazah belum
ditimbun dengan tanah.
Bila jenazah sudah ditimbun, maka
tidak perlu dibongkar.
Penggalian kembali liang
kubur menurut beliau sebenarnya
tidak diperbolehkan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi