Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT MAQBARAH BHRD KABUPATEN REMBANG

BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Dalam  kajian  ilmu  fikih,  terdapat  beberapa  hal  dan  aturan  tentang  pengebumian jenazah seorang muslim yang disusun dan dirangkai sedemikian  rupa  menurut  sunnah  dan  ajaran  yang  dilaksanakan  oleh  Nabi  Muhammad  SAW..  Aturan-aturan  tersebut  selanjutnya  dilaksanakan  oleh  orang-orang  yang mengaku sebagai pemeluk agama  Islam. Dari sekian banyak tuntunan  tersebut, di antaranya adalah memposisikan jenazah menghadap arah kiblat.
Sejauh  penelusuran  penulis,  dapat  kami  simpulkan  bahwa  para  ahli  fikih  Islam  terbagi  menjadi  dua  golongan  dalam  menghukumi  hal  di  atas.
Pertama, posisi mayat majib menghadap ke arah kiblat. Golongan ini adalah  dari kebanyakan ulama‟ Syafi‟iyyah (pengikut Imam Muhammad bin Idris AlSyafi‟i,  w.  204  H)  dan  Hanabilah  (pengikut  Imam  Ahmad  Muhammad  Ibn  Hambal, murid Ibn Abbas dan Al-Imam Al-Syafi‟i, w. 241 H).
 Dasar  landasannya  adalah  hadist  Rasulullah  saw.  yang  diriwayatkan  oleh imam Abu Daud dan At-Tirmidzi mengatakan, yang telah diartikan oleh  hafid dasuki dan kawan-kawan sebagaimana berikut: “ kiblat orang yang telah  meninggal  dunia  adalah  kiblat  orang  yang  masih  hidup  ”.

 Alasan  kedua,   Baca: Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar AlKutub Al-„Ilmiyyah, t. t.), hlm. 485-486. Lihat juga dalam kitab terkenal karangan Taqiyuddin Abi  Bakr Ad-Damsyiqy, Kifayat Al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, t. t.), juz. I, hlm. 168 -169.
 Hafidh Dasuki, dkk,  Ensiklopedia  Islam,  (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),  cet. I, hlm. 340-341. HR. Imam Abu Dawud nomor 7.875, Imam an Nasa-i Juz 2 halaman 165,  hasan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani  -  Kitab Irwa al Gholil Juz 3 halaman 154.
 adalah prosesi pemakaman Rasulullah SAW., beliau juga dihadapkan ke arah  kiblat ketika pengebumiannya. Pendapat di atas juga sesuai dengan pendapat  ulama‟ Hanafiyyah (pengikut  Imam  Abu Hanifah, w. 150 H) dan  Imamiyah  (Imam Ja‟far Ash-Shadiq guru dari Imam Abu Hanifah, w. 1488 H).
 Kedua,  para  ulama‟  Malikiyyah  (pengikut  Imam  Malik  bin  Anas,  w.
179 H) yang berpendapat bahwa tata cara tersebut hanya bersifat sunnah saja  dan  tidak  wajib.
 Imam  malik  adalah  imam  yang  terkenal  sebagai  ahl  alhadist,  pemegang  kuat  al-Quran  dan  al-Hadist.  Menurut  Malikiyyah,  hal  ini  dikarenakan  tidak  adanya  perintah  langsung  yang  secara  eksplisit  terdapat  dalam  nash,  baik  al-Qur‟an  maupun  hadist  Nabi  SAW..  Termasuk  dalam  sunnah  pula,  ketika  menaruh  jenazah  dalam  liang  lahad  agar  menumpukan  badannya di atas dada sebelah kanan (agar menghadap kiblat), mengganjalnya  dengan  batu  bata  atau  yang  sejenisnya.  Dan  bagi  yang  meletakkannnya  hendaklah membaca Artinya: “ dengan nama Allah, dan mengikuti agama (sunnah) Rasulullah. ” Hukum sunnah ini berlaku dalam berbagai situasi dan kondisi. Dalam  keadaan  darurat  pun  sunnah  menghadap  kiblat  tetap  berlaku.  Disebutkan  Penjelasan lainnya lihat juga  dalam sebuah karya seorang ulama‟ Hanafiyyah,  „Alauddin Abi bakr  Al-Kasani,  Bada‟i‟ As-Sana‟i‟ Fi Tartibi As-Syara‟i‟,  (Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, t. t.),  juz. II, hlm. 355-356.
 Walaupun  dalam  fikih  empat  madzhab  disebutkan  bahwa  ulama‟  Hanafiyyah  hanya  mensunnahkannya,  tetapi  dalam  buku  lain  disebutkan  bahwa  mereka  tidak  hanya  mensunnahkannya  tetapi  mewajibkannya,  dengan  syarat  tertentu.  Lihat  Muhammad  Jawad  Mughni, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2008), cet. XXI, hlm, 54 -55.
 Sayyid Sabiq,  Fiqih  Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004), cet. I, hlm. 180, dan hampir  semua  kitab  berbagai  madzhab  membahas  hal  yang  sama,  walaupun  terdapat  perbedaan  lafadz  dikarenakan perbedaan matan hadist antara satu dengan yang lainnya.
 bahwa  apabila  terdapat  seseorang  yang  meninggal  di  atas  kapal  dan  kapal  tersebut  tidak  menemukan  daratan  sehingga  tidak  dapat  menguburkannya,  serta  ditakutkan  akan  segera  membusuk  di  kapal,  maka  mayat  boleh  dihanyutkan.  Cara  menghanyutkan  mayat  yaitu  dengan  memiringkan  badannya  di  atas  dada  kanan  terlebih  dahulu  sehingga  diperkirakan  menghadap ke arah kiblat, lantas dilempar ke laut lepas.
 Yang  berusaha  penulis  tekankan  adalah  bahwasanya  perkara  menghadap ke arah kiblat bukanlah hal yang bisa dianggap sepele dan remeh.
Dalam  al-Qur‟an  kata  ‟kiblat‟  diulang-ulang  sebanyak  empat  kali,  dan  perintah  menghadap  ke  arahnya  sebanyak  tiga  kali.
 Kita  dapat  mengatakan  bahwa  Allah  SWT  dan  Rasul-Nya  menaruh  perhatian  khusus  terhadap  arah  kiblat. Setidaknya, kita sebagai ummat Islam juga harus memperhatikannya.
Sebagaimana dalam salat fardlu, menghadap ke arah kiblat merupakan  salah satu syarat sah salat terkecuali bagi orang-orang yang tidak mampu atau  dalam keadaan sakit.
 Menurut penulis, hal ini setidaknya juga berlaku dalam  pemakaman  jenazah  seorang  muslim.  Apalagi  mayoritas  warga  negara  Indonesia  adalah  penganut  madzhab  al-Syafi‟i  yang  mengatakan  bahwa  menghadapkan jenazah ke arah kiblat merupakan sebuah kewajiban.
 Muhammad Al-Maghribi, Mawahib Al-Jalil Li Syarkhi Mukhtasar Khalil,  (Beirut: Dar  Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, t. t.), juz. II, hlm. 77.
 Susiknan Azhari,  Ilmu Falak, Teori dan Praktek,  (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,  2004),  hlm.  49.  Buka  juga  dalam  buku  karya  Wahbah  Az-Zuhaily,  At-Tafsir  Al-Munir,  (Damaskus: Darul Fikr, 1991). Hlm. 24.
 Pendapat Jumhur ulama‟ dalam kitab Ibnu Rusyd,  Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat AlMuqtasid, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, t. t.), juz. II, hlm. 115. Dalam tafsirnya, Ali As Shabuni  mengatakan  wajib  hukumnya  menghadapkan  wajah  kita  ketika  sedang  melaksanakan  salat,  baik  dalam  keadaan  salat  safar  ataupun  salat  hadlir.  Safar  berarti  ketika  orang  sedang  melakukan salat ketika bepergian dan atau di atas kendaraan. Dan salat hadlir berarti  salat dalam  keadaan  waktu  yang  leluasa,  tidak  bepergian.  Muhammad  Ali  As-Shabuni,  Shafwat  At-Tafasir,  (Beirut: Dar Al-Qur‟an Al-Karim, 1981), hlm. 104.
 Menurut  penulis,  menghadap  ke  arah  kiblat  adalah  suatu  tuntunan  syari‟ah  (wajib  sebagai  batas  maksimalnya  dan  sunnah  sebagai  batas  minimalnya) dalam melaksanakan berbagai ibadah. Tidak  ada perselisihan di  kalangan ahli fikih (fuqaha‟). Merupakan syarat sahnya salat, wajib dilakukan  ketika  hendak  mengerjakan  salat  (menggetahui  arah  kiblat  dengan  tepat  dan  benar sebagaimana mengetahui masuk-belumnya waktu salat) dan juga ketika  menguburkan  jenazah  orang  Islam.
 Merupakan  sunnah  ketika  melakukan  azan, melantunkan doa, berdzikir, belajar, membaca Al-Qur‟an, menyembelih  binatang dan sebagainya.
Dalam firman-Nya dikatakanArtinya: “Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke  arah  Masjid  al-Haram.  dan  dimana  saja  kamu  (sekalian)  berada,  Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi  manusia  atas  kamu,  kecuali  orang-orang  yang  zalim  diantara  mereka.  Maka  janganlah  kamu  takut  kepada  mereka  dan  takutlah  kepada-Ku  (saja).  dan  agar  Ku-sempurnakan  nikmat-Ku  atasmu,  dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 150) Arah  kiblat  sendiri  telah  mengalami  perubahan.  Yang  sebelumnya  menghadap  ke  arah  Bait  al-Maqdis  yang  terletak  di  Palestina,  oleh  Allah  kemudian  dipindahkan  ke  arah  bangunan  Ka‟bah,  atas  dikabulkannya  doa   Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek  Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hlm. 17.
 Nabi SAW..
 Yaitu 16 atau 17 bulan lamanya umat Islam mengkiblat ke Bait  al-Maqdis.  Peristiwa  ini  terjadi  setelah  Nabi  Muhammad  selalu  berdoa  dan  mengharap  arah  kiblat  umat  Islam  dipindahkan  ke  Ka‟bah  yang  berada  di  Makkah al-Mukarramah.
Terdapat  perbedaan  di  antara   para  ahli  fikih  meskipun  mereka  sependapat bahwa menghadap arah kiblat adalah kewajiban, apakah kita harus  benar-benar mengarah ke bangunan Ka‟bah di Masjid Al-Haram? Umumnya  para  fuqaha‟  membaginya  menjadi  tiga  wilayah.  Dalam  buku  Ilmu  Falak  Dalam  Teori  dan  Prakek,  Muhyiddin  Khazin  mengatakan  bahwa  Ka‟bah  adalah kiblat bagi orang-orang yang melaksanakan salat di dalam Masjid AlHaram atau sekitar Ka‟bah. Masjid Al-Haram menjadi kiblat bagi orang-orang  yang  berada  di  Makkah  dan  sekitarnya.  Dan  bagi  orang-orang  yang  berada  pada  jangkauan  jauh,  di  negara-negara  yang  bersebelahan  maupun  berseberangan, cukup menghadap ke arah kota Makkah.
Di sinilah peran ilmu falak dibutuhkan, untuk menentukan arah kiblat  masjid-masjid  dan  khususnya  area  pemakaman  muslim.  Kaitannya  dengan  ibadah,  ilmu  ini  mempunyai  empat  bahasan  utama,  yaitu:  arah  kiblat  dan  bayangan  arah  kiblat,  waktu-waktu  salat,  awal  bulan  dan  waktu  gerhana.
 Dengan ilmu falak, seseorang dapat mempelajari dan mengetahui pergerakan  bumi,  bulan  dan  matahari,  kemanakah  seharusnya  menghadap  ketika  mendirikan  salat,  menghitung  arah  kiblat  area  pemakaman,  mengetahui   Muhammad  Nasib  Ar-Rifa‟i,  Ringkasan  Tafsir  Ibnu  Katsir,  (Jakarta:  Gema  Insani  Press, 1999), hlm. 241.
 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Prakek, (Yogyakarta: Buana Pustaka,  2004), cet. I, hlm. 51-54.
 Ibid, hlm. 3-6.
 waktu-waktu  salat  yang  merupakan  salah  satu  syarat  sahnya  salat,  masukbelumnya awal bulam kamariyah, kapan terjadinya gerhana, dll.
Pada  zaman  Rasulullah  SAW.,  sebelum  berhijrah  ke  Madinah  beliau  menentukan sendiri dimanakah arah kiblat berada (melakukan ijtihad sendiri).
Hal terebut dilakukan ketika kiblat kaum muslim menghadap ke arah Masjid  Al-Aqsha  di  Palestina,  sebagaimana  dilakukan  oleh  para  nabi  sebelumnya.
 Seiring  berjalannya  waktu  dan  semakin  berkembangnya  ilmu  pengetahuan,  berkembang  pula  berbagai  metode  dan  alat  bantu  yang  lebih  fleksibel  dan  akurat guna menentukan arah kiblat.
Bentuk  bumi  yang  bulat  tidak  membuat  kesulitan  dalam  menentukan  arah  kiblat.  Hal  ini  dikarenakan  posisi  /  tempat  yang  akan  diukur  kiblatnya  dan  Ka‟bah  yang  tetap,  serta  tidak  dipengaruhi  oleh  rotasi  maupun  revolusi  bumi.  Walhasil,  kita  dapat  mengaplikasikan  rumus  matematis  segitiga  bola  atau  yang  lebih  dikenal  dengan  trigonometri,  yang  ditemukan  oleh  seorang  scientist dan ahli matematik Islam bernama Al-Khawarizmi.
Walaupun  begitu,  sekarang  ini  masih  banyak  masyarakat  yang  menganggap  sederhana  dan  sepele  masalah  penentuan  arah  kiblat  area  pekuburan.  Anggapan  tersebut  dapat  terjadi  dari  kurangnya  pemahaman  bahwa  menghadap  kiblat  ketika  menggali  liang  lahad  dan  meletaknya  mayit  hanya  bersifat  anjuran  saja,  bukan  kewajiban.  Kekurang-fahaman  tersebut  juga  menjadi  penyebab  utama  banyaknya  bangunan  masjid  pada  umumnya   Lihat Abdurrachim,  Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Menurut Syari‟at  Islam, dalam  materi  workshop nasioal  “Mengkaji Ulang  Metode Penentuan Awal Waktu Shalat  dan Arah Kiblat Dalam Perspektif Ilmu Syari‟ah Dan Astronomi”,  Universitas  Islam  Indonesia,  Sabtu, 07 April 2001, hlm. 1.
 tidak menghadap ke arah kiblat yang sebenarnya. Erfan Widiantoro,  lulusan  fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang mengatakan: “Masyarakat  berasumsi  bahwa  arah  kiblat  yang  mereka  yakini  itu  sudah benar. Bahkan dalam hal mendirikan salat, mereka lebih percaya  penuh  kepada  tokoh  masyarakat  atau  Ulama‟  yang  ada  di  lingkungan  mereka.  Padahal  ulama‟  atau  tokoh  itu  sendiri  kadang-kadang  tidak  paham betul tentang cara menentukan arah kiblat.” Persoalan  melencengnya  arah  pemakaman  jenazah  muslim  ini  juga  dikarenakan  arah  kiblat  sebagian  masih  ditentukan  secara  „titen‟.  Asalkan  menghadap arah barat maka selesai sudah, tanpa meneliti manakah arah kiblat  yang  sebenarnya.  Yang  lazim  dilakukan,  pemakaman  hanya  ditentukan  oleh  penggali  kubur,  padahal  mereka  juga  tidak  begitu  mahir  dalam  menentukan  arah yang tepat menuju kiblat. Di samping, adanya kekhawatiran masyarakat  akan bertambahnya biaya pengurusan jenazah  apabila dilakukan pengecekan  arah  kiblat  terhadap  pemakaman  sanak  keluarganya.  Bahkan,  terdapat  juga  sebagian umat Islam yang mengambil sikap acuh tak acuh tentang masalah ini.
Padahal  para  ulama‟  Syafi‟iyyah  khususnya,  telah  mewajibkan  untuk  menghadapkan jenazah ke arah kiblat pada saat pemakaman.
 Apabila tidak  menghadap kiblat, walaupun mayat telah ditimbun dengan tanah, maka wajib  hukumnya  untuk  menggali  dan  memindahkan  posisi  mayat  tersebut  ke  arah  yang benar.
 Semisal Imam Taqiyuddin Ad-Damsyiqy,  muallif kitab  Kifayat  Al-Akhyar,  beliau  juga  meng‟embel-embeli‟  dengan  hukum  wajib   Erfan Widiantoro, Skripsi: Studi Analisis Tentang Penentuan Arah Kiblat Masjid Besar  Mataram Kotagede Yogyakarta, (Semarang: IAIN Walisongo, 2008).
 Muhammad Jawad Mughniyyah, loc. cit.
 Al-Zumri  Al-Ghomrowi,  Al-Siraj  Al-Wahhab,  Al-Syarkh  „Ala  Matan  Al-Minhaj, (Beirut: Dar Kutub Al-„Ilmiyyah, 1996), cet. I, hlm. 111. Lihat juga dalam kitab karangan Abdul  Rahman Al-Jaziri, op. cit, hlm. 46. Lihat juga Taqiyuddin Abi bakr Ad-Damsyiqy, loc. cit.
 menggalinya kembali apabila jenazah tidak menghadap ke arah kiblat, dengan  syarat  si  mayit  belum  berubah  bentuk  /  busuk.  Para  ulama‟  dari  kalangan  Hanabilah juga berpendapat sama.

Muhammad  Jawad  Mughni  menyebutkan  bahwa  para  ulama‟  Hanafiyyah  pada  dasarnya  juga  menghukuminya  dengan  wajib.  Walaupun  pada kitab lain  yang kami telusuri,  Bada‟i As-Sana‟i‟ Fi Tartibi As-Syara‟i‟ karya  Imam Alauddin Abi Bakar  Al-Kasani Al-Hanafi  menyebutkan wajib  hanya  apabila  jenazah  belum  ditimbun  dengan  tanah.  Bila  jenazah  sudah  ditimbun,  maka  tidak  perlu  dibongkar.  Penggalian  kembali  liang  kubur  menurut beliau sebenarnya tidak diperbolehkan.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi