Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG KEBOLEHAN WASIAT ORANG KAFIR KEPADA MUSLIM


 BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang  kepada  orang  lain  atau  kepada  beberapa  orang  sesudah  meninggalnya  orang  tersebut.  Di  sisi  lain  wasiat  juga  merupakan  tasharruf (pelepasan)  terhadap  harta  peninggalan  yang  dilaksanakan  sesudah  meninggal  dunia  seseorang.
 Pada  dasarnya  memberikan  wasiat  merupakan  tindakan  ikhtiyariyah,  yakni  suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauansendiri dalam keadaan  bagaimanapun.
Menurut  asal  hukum  wasiat  adalah  suatu  perbuatan  yang  dilakukan  dengan  kemauan  hati  dalam  keadaan  apapun  dan  tidak  ada  paksaan  dari  berbagai pihak. Karenanya tidak ada dalam syari’at  Islam suatu wasiat  yang  wajib  dilakukan  dengan  jalan  putusan  hakim.
  Dalam  pendapat  lain  mengatakan wasiat merupakan pesan terakhir dari seseorang yang mendekati  kematiannya,  dapat  berupa  pesan  tentang  apa  yang  harus  dilaksanakan  para  penerima  wasiat  terhadap  harta  peninggalannya  atau  pesan  lain  di  luar  harta  peninggalan.

Wasiat  menurut  bahasa  mengandung  beberapa  arti:  menjadikan,  menaruh  belasan  kasihan,  berpesan,  menyambung,  memerintahkan,  mewajibkan. Secara etimologi, para ahli hukum Islammengemukakan bahwa  wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat   Moh.  Muhibbin,  Hukum  Kewarisan  Islam  Sebagai  Pembaruan  Hukum  Positif  di  Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 145   Ibid, 148  2  meninggal  dunia  dengan  jalan  kebaikan  tanpa  menuntut  imbalan  atau  tabarru'.
 Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan  definisi  yang  dikemukakan  oleh  para  ahli  hukum  Islam  dikalangan  Mazhab  Hanafi  yang  mengatakan  wasiat  merupakan  tindakan  seseorang  yang  memberikan  haknya  kepada  orang  lain  untuk  memiliki  sesuatu  baik  kepada  orang  lain  untuk  memiliki  sesuatu,  baik  berupa  kebendaan  maupun  manfaat  secara  suka  rela  tanpa  imbalan  yang  pelaksanaannya  ditangguhkan  sampai  terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.
Wasiat  dalam  hukum  Islam  pada  dasarnya  hanya  ditujukan  kepada  orang  lain  di  luar  ahli  waris,  atau  terutama  kepada ahli  waris  yang  karena  alasan lain seperti  mahjub(terhalang oleh ahli waris lain) tidak mendapatkan warisan. Sedangkan wasiat terhadap ahli waris, hanya dimungkinkan bila ahli  waris yang lain menyetujui pemberian wasiat dari yang memberi wasiat.
 Sehubungan  dengan  hal  tersebut,  wasiat  mempunyai  beberapa  arti  yaitu  menjadikan,  menaruh  kasih  sayang,  menyuruh  dan  menghubungkan  sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara umum kata wasiat disebutkan dalam  Al-Qur’an sebanyak 9 kali, dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 14 kali,  dalam  bentuk  kata  benda  jadian  disebut  sebanyak  2  kali,  hal  yang  berhubungan dengan wasiat ini seluruhnya disebut dalam Al-Qur’an sebanyak  25 kali.
   Asymuni  A.  Rahman  et.  al.,  Ilmu  Fiqh  3,  Proyek  Pembinaan  Prasarana  dan  Sarana  Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta: Departemen Agama, 1986, hlm. 181    Muhammad  Amin  Summa,  Hukum  Keluarga  Islam  di  Dunia  Islam,  Jakarta:  PT  Raja  Grafindo Persada, 2004, hlm. 131   Ibid, hlm. 149  3  Menurut  ketentuan  hukum  Islam,  bahwa  bagi  seorang  yang  merasa  telah  dekat  ajalnya  dan  ia  meninggalkan  harta  yang  cukup  (apalagi  banyak)  maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat bagikedua orang tuanya  demikian juga bagi kerabat yang lainnya, terutama sekali apabila ia telah pula  dapat  memperkirakan  bahwa  harta  mereka  (kedua  orang tuanya  dan  kerabat  lainnya) tidak cukup untuk keperluan mereka.
 Wasiat  bukan  saja  dikenal  dalam  hukum  Islam,  tetapi dikenal  juga  dalam  hukum  perdata  BW.
  Wasiat  dalam  hukum  perdata  dikenal  dengan  nama  testament  yang diatur dalam buku kedua bab ketiga belas. Dalam pasal  875 BW dikemukakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah suatu akta yang  memuat  pernyataan  seseorang  tentang  apa  yang  dikehendakinya  setelah  ia  meninggal  dunia  dan  dapat  dicabut  kembali  oleh  orang  yang  menyatakan  wasiat  itu.  Pernyataan  kehendak  yang  berupa  amanat  terakhir  orang  yang  menyatakan wasiat itu dikemukakan secara lisan di hadapan notaris dan dua  orang  saksi.  Wasiat  dalam  hukum  perdata  harus  dibuat  dalam  bentuk  surat  wasiat (testamen) dan pembuatan surat wasiat itu merupakan perbuatan hukum  yang sangat pribadi.
Baik  hukum  Islam  maupun  hukum  barat,  keduanya  tidak membenarkan atau melarang wasiat seorang yang merugikan ahli waris yang  sudah  seharusnya  mendapatkan  warisan.  Burgerlijk  Wetboek  (BW)  menegaskan bahwa segala harta peninggalan seseorangyang meninggal dunia,   Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam Edisi Kedua, Jakarta:  Sinar Grafika, 2008, hlm. 44   Abdul Manan,  Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,  2008, hlm. 150  4  adalah  kepunyaan  sekalian  ahli  warisnya  menurut  undang-undang,  sekadar  terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang  ada.
Ada  beberapa  perbedaan  antara  wasiat  dengan  hibah.
  Pada  hibah,  pemilikan  dari  pemberian  itu  terjadi  setelah  selesai  pernyataan  hibah  diucapkan atau dinyatakan oleh  yang menghibahkan, sedangkan pada wasiat  pemilikan  itu  baru  terjadi  setelah  meninggal  dunia  orang  yang  berwasiat,  bahkan jika orang  yang menerima wasiat lebih dahulumeninggal dari orang  yang berwasiat, maka wasiat itu menjadi batal, kecuali ada perjanjian bahwa  ahli  waris  orang  yang  menerima  wasiat  boleh  menerima  wasiat  itu.  Hibah  hanya berupa pemberian harta hak milik, sedang wasiat bentuk pemberiannya  lebih luas dari itu, boleh berupa harta milik, pembebasan hutang, manfaat dan  sebagainya. Hibah tidak dapat dibatalkan, sedangkanwasiat dapat dibatalkan  bila  orang  yang  menerima  wasiat  lebih  dahulu  meninggal  dari  orang  yang  berwasiat.
Sedangkan  perbedaan  wakaf  dengan  wasiat,  pada  masalah  wakaf  pokok  harta  ditahan  dan  menyerahkan  manfaatnya  saja.  Namun  dalam  hal  wasiat  kepemilikan  diserahkan  sepenuhnya  setelah  kematian  dengan  cara  memberikan  (tabarru’)  bendanya  maupun  manfaatnya.
  Mengenai  batas  maksimal untuk wakaf tidak ada batasnya, sementara dalam wasiat tidak boleh  lebih  dari  sepertiga  kecuali  atas  izin  ahli  waris.  Di  sisi  lain  wakaf  boleh   Asymuni A. Rahman et. al., op. cit., hlm. 181   Shalih bin Ghanim As-Sadlan,  Intisari Fiqh Islam, Surabaya: Pustaka La Raiba Bima  Amanta (eLBA), 2007, hlm. 171  5  diberikan  kepada  ahli  waris,  sedangkan  wasiat  tidak boleh  diberikan  kepada  ahli waris kecuali dengan izin ahli waris yang lain.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi